Apa yang sudah Sang Mahkota (Corona) ajarkan pada manusia?


JABARBICARA.COM--Solidarity to fight Covid-19”, atau diterjemahkan sebagai solidaritas melawan Covid19. Demikian tajuk pameran poster internasional yang digagas oleh Asean Digital Art Society (ASEDAS), yang pada awal Juni 2020 lalu memulai pameran virtualnya bersama-sama para dosen dan mahasiswa dengan beragam latar belakang keilmuan, perupa dan desainer digital segala usia dari 34 negara partisipan. Rasa-rasanya sudah tidak perlu lagi dikenalkan apa itu Covid19, dengan telah mendunianya wabah pandemik yang disebar olehnya. Yang mungkin luput dari perhatian kita adalah bahwa nama virus ini memang istimewa,  Corona berarti ‘Mahkota’ sebuah pancaran sinar di sekeliling matahari . Kalau kita ingat lukisan fenomenal dari Jaques Louis David, pelukis Neo-klasik dari Perancis, yang berjudul ‘The Coronation of Napoleon’ (1804-1807), atau ‘the coronation day’ pada kisah animasi  Frozen (2013) yang bermakna peletakan ‘mahkota’ , suatu upacara pengangkatan,  ke atas kepala calon Ratu karakter Elsa di kerajaan Arendelle. Dan, apa yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa kita seakan-akan virus corona ini sedang mengangkat dirinya sebagai Raja diraja penyakit yang menyerang secara global.

Tampaknya kita masih belum sepenuhnya mengenali diri kita sendiri, hingga datanglah wabah pandemik ini. Bermunculanlah dengan sangat jelas watak-watak manusia yang cenderung ignorant, masa bodoh, selagi dirinya sehat tidak peduli kalau orang lain bisa fatal tertular sakit karena dirinya. Disisi lain muncul pula tipe manusia yang mudah panik, berpikir pendek, dan merasa selalu dalam ancaman. Malangnya, jikalau selama ini manusia secara dahsyat melakukan perusakan lingkungan alam, yang notabene secara metaforis merupakan paru-parunya bumi, maka virus ini secara literal melakukan perusakan balik ke pernafasan manusia. Seolah-olah mau memberi ganjaran dan peringatan terhadap sikap superioritas manusia dalam menguasai alam dan isinya.

Keistimewaan virus ini selain fisik atomistiknya sangat kecil menurut ukuran makhluk sejenisnya, ia pun laksana pendekar pilih tanding. Ia seakan-akan melakukan seleksi alam dengan angkuhnya memunahkan manusia yang kurang unggul secara imunitas, dan memunyai kelemahan penyakit bawaan. Meskipun mudah hancur oleh sabun cuci tangan, akan tetapi kemampuannya menggandakan diri itu ibarat kesaktian Candabirawa Begawan Bagaspati, makhluk raksasa bajang yang melipat-ganda dengan cepat. Dalam kisah pewayangan, Candabirawa dapat dikalahkan oleh Drestarata dengan ajian Kumbalageni, dan oleh welas asihnya Yudhistira. Kalau kita cermati dari tidak kurang partisipasi yang datang dari 34 negara Asia, Eropa, Amerika dan  Afrika, sejumlah 354 perupa, desainer, dosen serta mahasiswa memberi kontribusi lebih dari 500 karya , maka terlihat dari kreativitas para peserta yang mencerminkan dua pendekatan kontradiktif, di satu sisi mengandalkan pesan visual yang keras, laksana Drestarata, dan di sisi lain banyak pula mendekati dengan pesan visual yang lunak dan persuasif bak Yudhistira.

Dunia digital tampaknya memberikan nafas kehidupan baru bagi seni poster. Poster menjadi media utama di dunia periklanan dan komunikasi visual di awal abad ke 19 dengan tiga eksponennya Jules Cheret, Toulouse-Lautrec dan Alphonse Mucha. Berkembang pesat di era modernisme abad 20 diantara dua perang dunia dengan pengaruh langsung dari seni dekoratif, futurisme, dadaisme, dan ekspresionisme hingga konstruktivisme Rusia. Pengaruh kuat dari pesan yang disampaikan melalui visual berupa ilustrasi, fotografi dan pentingnya peran tipografi, halmana tampak pada tokoh-tokoh desain poster seperti Joseph Muller-Brockman, Paul Rand dan Milton Glaser hingga olah teknologi cetak di tangan Wolfgang Wingart. Ramai perupa dan desainer menjadikan media poster sebagai seni tersendiri. Seni menyampaikan pesan visual secara temporer, namun tampaknya di abad milenial kini seni poster mengalami penitisan kembali di dunia digital. Media sosial menjadi ajang poster berbagai hal, terbit setiap waktu dan oleh hampir siapa saja yang dapat membuatnya dengan menggunakan template dari situs penyedia jasa desain yang tersebar di internet. Demokratisasi media digital ini pun memunculkan dilema artistik dan estetik tersendiri. Hilangnya ukuran baik dan buruk, bagus dan jelek, bermutu maupun tidak, segala rupa poster di era digitalisasi ini secara banal menyeruak dan memunyai hak untuk menempati layar piksel komputer, android, atau gawai kita.

Akhirul kata, pameran virtual ASEDAS 2020  ini, sebagaimana muncul pula pameran-pameran virtual sejenis, memperlihatkan bahwa wabah pandemik ini telah pun mengajarkan kepada kita sebagai manusia harus bersatu-padu. Manusia harus menjaga satu sama lain, bersamaan dengan menjaga pula keharmonisan dengan alam lingkungan yang telah menyokong ribuan tahun hidup manusia di bumi yang indah ini. Bersama-sama dengan gerakan pameran sejenis lainnya, kita berharap pameran ini dapat menyebarkan kesadaran bahwasannya manusia dan alam adalah entitas yang menyatu tak terpisahkan. Keberadaan wabah pandemik ini memaksa kita mempercepat langkah memasuki dunia virtual, namun pada saat yang sama mengembalikan kesadaran kita pada hubungan dan komunikasi yang hilang karena percepatan tersebut. Hubungan yang menampakkan diri sekaligus menyembunyikan keberadaannya sendiri, antara yang personal dan yang sosial, menyeberangkan antara kesendirian dan kebersamaan.

Penulis:

Karna Mustaqim, S.Sn., MA., Ph.D.

Dekan Fakultas Desain & Industri Kreatif - Universitas Esa Unggul Jakarta

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.