Basmi Korupsi dengan Islam


Oleh: Nurul Latifah

Setidaknya dalam 10 tahun terakhir, korupsi di negeri ini tampak makin menjadi-jadi. Yang paling mutakhir adalah korupsi dalam tata kelola timah selama 2015-2022. Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus ini. Menurut hasil penghitungan ahli lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, dalam kasus ini negara mengalami kerugian fantastis: sekitar Rp 271 triliun (Kompas, 1/4/2024). Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada peningkatan kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2022. Menurut ICW juga, korupsi terjadi hampir di seluruh sektor pemerintahan, baik lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif (Cnbcindonesia, 24/03/2023).

Tidak bisa dipungkiri, masyarakat hari ini yang berkiblat ke arah barat telah mengadopsi nilai-nilai mereka, seperti nilai kebebasan dan gaya hidup hedonisme. Gaya hidup inilah yang mendorong para koruptor untuk melacarkan aksinya, karena gaya hidup seperti ini memerlukan modal yang besar.

Pada dasarnya, gaya hidup ini adalah effek dari diterapkannya ideologi kapitalisme. Ideologi kapitalisme yang mengagungkan kebebasan dan menjadikan kebahagiaan juga kepuasan duniawi sebagai tujuan hidup manusia. Menjadikan manusia bersifat tamak yang selalu haus akan dunia. 

Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi kapitalis. Dalam pandangan syariah Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khâ`in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu menggelapkan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya.

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna mililiki langkah preventif dan kuratif untuk mencegah terjadinya korupsi. Setidaknya ada 6 langkah preventif ;

Pertama: Rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Tentang sikap amanah, Allah SWT telah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27).

Di antara sekian banyak amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaan. Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari). Lalu terkait profesionalitas dan integritas, Rasulullah antara lain pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR Bukhari). 

Kedua: Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘âmil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, "Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu" (TQS Ali Imran [3]: 161). "Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu” (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).

Ketiga: Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi saw. bersabda, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah dia menikah. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). 

Keempat: Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul saw. bersabda: 

Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl (HR Abu Dawud dan al-Hakim).

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).

Berdasarkan ini harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb), merupakan harta ghulûl dan hukumnya haram.

Kelima: Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau 'âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-‘Ash.

Keenam: Pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama. 

Adapun secara kuratif maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Dalam Islam hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman ta’zîr ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Jelas, pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali bahkan mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekuler seperti sekarang ini. Alhasil, upaya penerapan dan penegakan syariah Islam di negeri ini secara menyeluruh dan total harus segera diwujudkan. 

Waullahu'alam.***


0 Komentar :

    Belum ada komentar.