Berkarya Bersama, Tumbuh Bersama di Komunitas Perupa 22 Ibu


Oleh : Bayyinah Nurrul Haq, S.Sn., M.Pd,

Dosen Desain Produk, Trilogin University, Creative Industry and Telematic Faculty, Product Design

Komunitas 22 Ibu dalam peringatan yang digelar pada tahun ke tujuh mengusung konsep persembahan 7 tahun berkarya komunitas 22 ibu. Event yang digelar dalam suasana pandemi menuju era new normal ini, tidak menghentikan keaktifan berkegiatan. Suasana yang berbeda dan istimewa tampak dengan digelarnya 25 galeri virtual yang memuat karya-karya dari komunitas 22 ibu baik dari komunitas 22 ibu yang berbasis di Bandung ataupun di Jakarta. Event yang diselenggarakan ini berlangsung secara virtual dari tanggal 22 Agustus 2020 hingga 22 Desember 2020 dan dapat diakses melalui chanel you tube. Kegiatan ini selaras dengan tagline dari Bandung Art Month 2020 yaitu Edankeuun.

Dalam pameran virtual ini, Lima perempuan dari lingkaran yang sama bertemu di ruang profesi dan dipertautkan oleh Komunitas 22 ibu. Ratih Mahardika, Vidya Kharishma, Bayyinah Nurrul Haq, Ulfa Septiana, dan Yunita Fitra Andriana. Lima perempuan ini adalah dosen di Universitas Trilogi pada fakultas yang sama. Fakultas Industri Kreatif dan Telematika. Ratih dan Vidya berada di Program studi DKV sedangkan Bayyinah, Ulfa, dan Yunita di Program Studi Desain Produk.

Komunitas 22 Ibu tempat kelima nya tergabung adalah komunitas perupa perempuan dengan anggota tersebar di kota Bandung, Jakarta, Bali, dan kota lainnya di Indonesia. Bergabung bersama di tahun 2017 dan 2018, kelimanya aktif mengikuti berbagai kegiatan seni rupa, mulai dari pameran karya dalam dan luar negeri hingga melaksanakan berbagai pelatihan.

Pameran yang diikuti bisa 5 sampai 6 kali dalam satu tahun. Rata – rata memiliki tema yang berbeda satu dengan lainnya. Jenis tema pun beragam, mulai dari visualisasi cerita rakyat berupa legenda atau mitos (27/07/2018), cerita binatang/fabel (22/12/2019), keindahan Indonesia dalam tema Mooi Indie (26/04/2019), hingga menyentuh isu -isu sosial seperti perempuan dan ketubuhan (21/04/2018 dan 17/08/2019), buku dan perjuangan intelektualitas (17/08/2020 -virtual), hingga keprihatinan akan kondisi pandemik Covid-19 (06/06/2020- virtual).
Tergabung dalam komunitas, berarti mengikuti kegiatan pameran bersama dengan tema dan medium yang ditentukan sejak awal. Karakter lukisan kelimanya dapat diketahui dengan mengamati cara memanfaatkan karakter medium berkarya dan merespon tema pameran.

Sebagai sebuah komunitas perupa, Komunitas 22 Ibu memiliki ciri khas pada medium berkarya yaitu gutha tamarind di atas kain. Teknik melukis gutha tamarind merupakan teknik melukis dengan menggunakan pasta sebagai penghalang rembesan warna pada kain. Pasta gutha tamarind berperan seperti lelehan wax pada batik. Berbeda dengan wax pada batik yang digunakan saat masih meleleh alias masih panas, pasta gutha tamarind dipakai dalam kondisi dingin atau suhu ruangan. Bahan pasta gutha tamarin terdiri dari tepung biji asem jawa (tamarind indica sp.) yang dicampur dengan mentega dan air panas. Pasta yang dihasilkan agak encer mirip seperti vla untuk puding atau isian kue Soes. Bila wax untuk batik menggunakan canting sebagai alat gambarnya maka gutha dimasukan ke dalam plastik segitiga yang digunting ujungnya. Cara gambarnya seperti sedang menghias kue. Proses selanjutnya seperti pengerjaan batik pada umumnya. Pewarnaan dengan kuas, menunggu kering, lalu fiksasi warna lewat penyetrikaan dan pengukusan. Seperti pada batik, proses selanjutnya adalah pelorotan gutha tamarin dengan air dingin. Terakhir dikeringkan dengan cara dijemur di tempat teduh.

Proses “Batik Gutha Tamarind” : gutha – pewarnaan – pelorotan
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=RkDbKQkKT2A

Proses berkarya yang mirip membatik ternyata dieksplorasi secara berbeda oleh kelima perupa ini. Perbedaan latar belakang dan pengalaman kerja mempengaruhi cara bertutur, eksplorasi dan teknik menguasai rana. Dua perupa yaitu Ulfa dan Yunita, memiliki latar belakang pendidikan kriya tekstil, keduanya melanjutkan pendidikan magister desain di kampus yang sama. Sedangkan dua lainnya, Ratih dan Bayyinah berlatar pendidikan sarjana desain produk. Ratih melanjutkan pendidikan magister desain di kampus yang sama dengan Yunita dan Ulfa. Bayyinah melanjutkan pendidikan magisternya di jurusan Pendidikan Seni. Terakhir, Vidya Kharishma berlatar pendidikan teknik arsitektur melanjutkan pendidikan magister desain di kampus yang sama dengan keempat rekannya tadi.

Yunita dengan latar belakang pendidikan kriya tekstil memiliki kekhasan dalam mengeksplorasi warna yang manis, riang cenderung girly. Pilihan warna berada pada rentang biru – ungu – merah muda – merah menguatkan karakter feminin. Ulfa dengan latar belakang yang sama justru menggunakan rentang warna yang lebih luas, kadang cenderung memilih warna yang sesuai dengan warna pada objek aslinya. Rumput diwarnai hijau, langit diwarnai biru dan seterusnya. Karakter rapi, detail, dan teratur mengingatkan pada kedisiplinan dalam membatik. Hasilnya gambar terasa flat naratif cenderung unik dan naif. Objek gambar yang muncul selalu rapi dan outline yang tegas membentuk objek dengan tambahan detail yang menjadi ciri khasnya, sulaman benang atau crochet yang dijadikan aplikasi.

Gunung Salak “– Pameran “Mooi Indie” April 2018, Gutha tamarind
Sumber : Portofolio Ulfa Septiana , https://www.youtube.com/watch?v=EpEEx9iV6TE

Hal berbeda muncul pada karakter objek karya-karya Yunita. Permainan teknik gradasi dan menyisakan bidang berwarna pucat mendekati putih, mengingatkan pada teknik melukis dengan cat air. Hasil gambarnya yang halus kadang – kadang membawa kesan perempuan dewasa. Kesan yang akan mengingatkan pada karya – karya Vidya, bukan suatu kebetulan bila keduanya mengampu mata kuliah gambar.

“The Ant and The Butterfly “– Pameran “Fabel Nusantara”(2019)
"Bunga Nusantara” – Mooi Indie (2019) Gutha tamarind
Sumber : Portofolio Yunita Fitra A., https://www.youtube.com/watch?v=-mpFeh2lsco

Dua rekan yang berlatar pendidikan sama lainnya yaitu Ratih dan Bayyinah memunculkan karakter berbeda pula. Pilihan warna keduanya memiliki rentang yang luas namun cara pengaplikasian yang berbeda. Ratih mengaplikasikan warna secara dekoratif, dan selalu menambahkan detail outline di luar garis pembentuk objek. Sekilas mirip detail ornamen pada motif batik namun pengaruh gaya doodle terlihat sangat kuat, sehingga karya terlihat festive, “muda” dan kekinian. Hasilnya adalah gambar yang flat dan dekoratif. Bayyinah cenderung memanfaatkan outline dari gutha tamarin sebagai pembatas objek namun selalu menyisakan bidang yang lebih luas agar bisa membangun ruang dengan cara gradasi.

“Kancil dan Siput“ (2019), “Timun Emas” (2019), Gutha tamarind
Sumber : Portofolio Ratih Mahardika, https://www.youtube.com/watch?v=uRSnyLj7TEc
“Mooi Indie di Benakku“- Pameran Mooi Indie(2019),
“Loro Djonggrang #4”- Mitos dan Legenda (2018), Gutha tamarind
Sumber : Portofolio Bayyinah N.H. , https://www.youtube.com/watch?v=RkDbKQkKT2A

Latar belakang Pendidikan arsitektur memperkuat gaya lukis Vidya untuk selalu menciptakan ruang berdimensi yang kadang berlapis – lapis. Memiliki teknik mewarnai gradasi mirip dengan Yunita. Pengaruh dari teknik digital painting yang digelutinya sejak lama, menghasilkan teknik blending yang halus, sangat mengingatkan pada lukisan digital painting. Blending dengan permainan highlight digunakan untuk menguatkan bentuk dari objek gambar. Peran outline yang dihasilkan dari gutha kadang terlihat sebagai detail isian dari objek. Sementara bentuk objeknya sudah diciptakan oleh teknik blending nya. Kesan yang ditimbulkan adalah landscape yang luas, terasa epic.

“Loro Djonggrang #3 “ - Mitos dan Legenda (2018) , “Rusa yang Sakit dan Temannya” – Fabel Nusantara (2019) Gutha tamarind
Sumber : Portofolio Vidya K., https://www.youtube.com/watch?v=qx7Kk1aHXdE

Selain mengamati teknik dan medium berkarya, respon terhadap tema pameran, dan teknis penyelenggaraan dapat dijadikan dasar menguak cara bertutur kelimanya. Kelima perupa merupakan perempuan bekerja memiliki ritme kehidupan sehari – hari berbeda, spesialisasi mata kuliah yang diampu pun berbeda. Saat tema pameran membahas tentang perempuan, ketubuhan, dan lingkungan terlihat karakter yang berbeda. Ibarat pancingan, tema ini membawa pengamat untuk menelusuri bagaimana kelima nya bercerita tentang siapa bagaimana dan apa yang diinginkan oleh dirinya.
Seperti hal nya Ulfa memilih bercerita tentang ibu dan anak – anak balita nya. Setiap pagi meninggalkan mereka dari Bogor ke Jakarta. Sosok anak – anaknya di rumah adalah ‘tempat nyaman’ yang muncul dalam karyanya. Menunjukkan rasa cemas sekaligus tempat aman baginya. Cerita yang diangkat khas perempuan dewasa, kegelisahan dan kerinduan seorang ibu justru ditampilkan dengan naif namun membawa rasa nyaman, “ngangeni”, yang mengingatkan masa kanak – kanak.

“Inside My Treasure Box” – Pameran Sang Subjek (2018), Embroidery-crochet etc.
Sumber : Portofolio Ulfa Septiana , https://www.youtube.com/watch?v=EpEEx9iV6TE&t=4s

Vidya saat diajak bercerita tentang perempuan, cenderung memilih sebuah gambar perempuan yang ditampilkan tidak utuh dengan latar landscape yang indah atau sebuah ruang imajiner yang luas. Objek tersebut digambarkan dalam bidang berlapis – lapis. Pengalamannya di industri ilustrasi digital menjadikannya sangat efisien dalam bercerita diwujudkan dengan rana yang dikuasai dengan baik, seimbang dan harmonis.

“I Want to Sleep “ – Pameran Sharira (2019), Digital Painting & AR
Sumber : Portofolio Vidya K., https://www.youtube.com/watch?v=qx7Kk1aHXdE

Seperti Vidya, pilihan objek di luar gambar perempuan pun dipilih oleh Yunita saat bercerita dalam merespon tema perempuan dan ketubuhan. Aneka bunga menjadi pilihan Yunita untuk membahas isu perempuan dan ketubuhan. Bunga dianggap pilihan universal untuk menceritakan tentang perempuan. Uniknya di waktu yang berbeda saat tema pameran membahas tentang buku dan perjuangan justru menampilkan objek perempuan. Objek ini muncul sebagai penggambarannya dirinya seorang ibu yang berjibaku di masa pandemi Covid-19. Saat mendapatkan tantangan tema isu perempuan yang cenderung isu global, yunita memiilih objek yang kerap dijadikan simbol perempuan. Namun saat tema yang terkait dengan dirinya, yunita menampilkannya dengan naratif dengan gaya chibby.

"Mythical Blossom”- Pameran “Sang Subjek” (2018), Cat Air
“Motherhood Journal “– Pameran “Buku Sejagat”(2020) ,Cat Air
Sumber : Portofolio Yunita Fitra A., https://www.youtube.com/watch?v=-mpFeh2lsco

Bayyinah selalu berusaha bercerita tentang apa yang dipikirkan saat merespon tema pameran. Hal ini selain diwujudkan dengan objek yang dianggapnya relevan kadang dilengkapi dengan tulisan kata – kata dari objek tersebut. Baginya, tema pameran adalah soal yang harus ada jawabannya. Pengaruh cara berfikir desainer yang mencari solusi atas hadirnya kebutuhan. Saat merespon tema perempuan maka jawabannya berupa objek simbolis atau secara harafiah dalam bentuk gambar tubuh perempuan.

“Cangkang” – Pameran” Sang Subjek” (2018) Akrilik, “The Jar” – Pameran Sharira (2019)
Sumber : Portofolio Bayyinah Nurrul Haq , https://www.youtube.com/watch?v=RkDbKQkKT2A

Pilihan objek pada lukisan dengan tema pameran perempuan ditanggapi Ratih bertutur dengan gaya dekoratif dan doodle . Gambar jantung – dengan tulisan yang diambil dari potongan ayat suci al Qur’an (QS Al Hajj 46) berbicara tentang hati -perasaan”. Cara bertutur dengan menempatkan objek yang disertai ‘kata – kata’ yang dianggap relevan dengan tema, mengingatkan pada karya Bayyinah. Keduanya menampilkan potongan kata, kalimat yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari komposisi objek lukisan secara keseluruhan.

“Heart“ - Pameran “Sharira” (2019)
Sumber : Portofolio Ratih Mahardika, https://www.youtube.com/watch?v=uRSnyLj7TEc

Setelah berkarya bersama selama 3 tahun di komunitas 22 ibu maka terlihat dinamika perubahan karakter, cara bertutur hingga keputusan dalam memilih objek untuk menjawab tema pameran bersama. Kelima perupa itu akan terus tumbuh, berkembang seiring dengan tantangan pameran yang makin luas.
Apalagi pandemic Covid-19 turut mengubah konstelasi dunia eksebisi. Pameran virtual, komunitas perupa yang makin guyub dan mengglobal sejak munculnya budaya konferensi berbasis web. Bersama komunitas 22 ibu optimis menyongsong tantangan dengan semangat berkarya dan terus membuka jaringan. Maka ketika pembatasan jarak sosial terjadi tidak menghalangi komunitas 22 ibu untuk berkarya bersama memeriahkan Bandung Art Connect 2020 …mari…Kita Edankeun !!! (26/08/2020), (Id/Jb)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.