Buruknya Rencana dan Distribusi Insentif Tenaga Kesehatan di Kabupaten Garut Dalam Penanganan COVID-19


INDRA KURNIAWAN
Pengamat Politik Hukum & Ketatanegaraan

JABARBICARA.COM-- Covid-19 yang sampai saat ini masih menjadi perhatian khusus dari Negara baik dari sisi mengatur kepatuhan sistem sosial terkait kesadaran Prokes Masyarakat, tidak bisa terlepas dari Perencanaan Pemerintah baik di pusat atau daerah untuk memastikan kecukupan pelayanan baik ketersedian peralatan penunjang penanganan Covid-19 atau ketersedian anggaran bagi pembiayaan Tenaga Kesehatan (Nakes) yang langsung terlibat dalam penanganan Covid-19 yang tentunya memiliki resiko paparan paling tinggi dan memerlukan stimulus khusus agar ketersedian SDM pada tenaga kesehatan dapat berlangsung dengan seimbang.

Pilar-pilar kelembagaan negara dalam optimalisasi penanganan Covid-19 tidak hanya memastikan bagaimana parameter kesadaran warga negara untuk taat terhadap regulasi yang dibuat, akan tetapi pilar-pilar utama yang lain dalam hal ini kepastian dan keadilan bagi para tenaga kesehatan sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus juga agar keberlangsungan penanganan Covid-19 berjalan seimbang dan tepat sasaran ketika semua variablenya dikelola secara akuntabel.

Kabupaten Garut yang secara Suspect penyebaran berada di status Zona Merah serta dikualifikasikan kedalam Level 4 serta Level 3 pada saat ini adalah sebuah keadaan yang memerlukan penanganan Exstraordinary (luar biasa) untuk memastikan seluruh parameter-parameter Covid-19 ini mengalami penurunan dalam Positivity rate, jumlah Suspect diseluruh gejala, serta penurunan angka kematian dan Hunian Faskes melalui program PPKM yang cukup menuai keadaan sosial terutama dari sisi income masyarakat Garut imbas dari pembatasan aktivitas Sosial.

Dimensi lain dari sistem social income yang mengalami polemik dan konflik adalah tentang pembayaran insentif Tenaga Kesehatan yang baru diterima oleh para Nakes ini pada minggu Ketiga bulan Juli 2021 dengan periode pembayaran dari Januari sampai Juni 2021, keterlambatan pembayaran insentif juga di perparah dengan jumlah besaran yang diterima oleh rekan-rekan Nakes yang sampai saat ini dalam pandangan hukum keuangan negara, menurut penulis masih berada di kisaran angka 40% yang di representasikan pada pembayaran Insentif Nakes di RSUD Dr. Slamet Garut.

Dari informasi dan diskusi yang dilakukan oleh Penulis dan rekan-rekan Nakes RSUD serta informasi dari SEKDA Garut Pak Nurdin Yana dapat ditemukan sebuah keadaan membingungkan, terutama dari sandaran legalistik serta proses adminstrasi pengajuan anggaran Insentif Covid-19 yang penulis anggap mengalami cacat formil dan cacat materil. Jika merujuk pada pertimbangan Hukum pembayaran Insentif Nakes Covid-19 maka sandaran hukum formil dan hukum materil termaktub dalam “Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/447/2020 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/392/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan Yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)”.
dalam KMK (Keputusan Menteri Kesehatan ) diatas sangat detail dan cukup solid tentang besaran, tata cara serta sumber anggaran Insentif ini diatur lengkap sehingga seharusnya perencanaan penganggaran Insentif ini khusus bagi Pemkab Garut dapat terencanakan pada anggaran tahun sebelumnya melalui Predictable Concept dimana Probabilitas medis terhadap anggaran Insentif ini telah menentukan bahwa sampai di Qaurter ketiga tahun 2021 angka Covid di Indonesia akan mengalami kenaikan dan pada kenyataannya memang terjadi Fix load dalam angka Covid sampai dengan saat ini.

Due Procces of Law pada mata anggaran Covid-19 terinci dalam KMK Nomor Hk.01.07/Menkes/447/2020 pada Lampiran di BAB III Huruf A, dimana pada masing-masing Lembaga Kesehatan telah diatur tentang tata cara pengajuan budget Insentif dengan menggunakan pola Bottom Up dimana disetiap lembaga dalam hal ini Faskes terkhusus di RSUD Dr. Slamet Garut mewajibkan dibentuknya team verifikator meliputi :

  1. Satuan Pengawas Internal (SPI);
  2. Unsur pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan; dan
  3. Unsur manajemen fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan.

Seluruh proses verifikasi ini untuk selanjutnya diberikan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Garut untuk di putuskan Notifikasi pembayaran berdasarkan hasil validasi dan verifikasi yang dalam pembuatnnya dilimitasi oleh cut of date per tanggal 10 setiap bulannya.
Dalam proses hukum administrasi negara proses diatas sudah jelas bersifat Purpose to Pay From Bottom to Top auxiliary State Organ, dimana kaidah administrasi seperti ini adalah pembayaran mewajibkan pemenuhan syarat proporsi yang ditentukan secara tehnis oleh faskes masing-masing yang akan menentukan besaran pembayaran secara Fair.
Akan tetapi meskipun pola pembayaran berasal dari hasil pemenuhan prestasi berdasarkan syarat pembayaran yang verified dari masing-masing Faskes. Kementerian Kesehatan telah menetapkan besaran Insentif yang menjadi rujukan awal untuk perencanaan penganggaran, sebagaimana tercantum dalam kualifikasi besaran Insentif di angka :

  1. Dokter Spesialis Rp 15.000.000/OB
  2. Dokter Umum dan Gigi Rp 10.000.000/OB
  3. Bidan dan Perawat Rp 7.500.000/OB
  4. Tenaga Medis Lainnya Rp 5.000.000/OB

Limitasi ini sebetulnya memudahkan Pemkab Garut dalam menentukan asumsi penganggaran Insentif ini secara kuantifikasi berdasarkan jumlah Nakes yang ada di Kabupaten Garut baik menggunakan fokus Anggaran Sentralistis ataupun melalui refocusing anggaran desentralistis pada DAU dan DBH sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/Pmk.07/2021 Tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2021 Dalam Rangka Mendukung Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan dampaknya.

Dalam Permenkeu 17 Tahun 2021 ini yang digunakan sebagai alasan hukum Pemkab Garut yang menyatakan bahwa jumlah Insentif yang dibayarkan berdasar pada kemampuan anggaran Pemkab adalah sebuah pertimbangan yuridis yang Absurb (bias). Hal ini dikarenakan Permenkeu ini tidak mengubah besaran Insentif dan proses teknis, Permenkeu ini hanya fokus pada tata cara Refocusing pada seluruh mata anggaran dan mendorong percepatan pembayaran penanganan Covid pada kinerja 2020 jika masih terjadi kurang bayar.
Jadi menurut kacamata hukum adminstrasi hubungan antara Keputusan Menteri Kesehatan mengenai jumlah besaran Insentif dan tata cara tehnis masih menjadi satu-satunya rujukan hukum bagi para tenaga Kesehatan yang ada di Kabupaten Garut ataupun yang ada di Indonesia. Sedangkan Permenkeu 17 Tahun 2021 adalah perubahan anggaran untuk fokus pada penanganan Covid secara umum yang sama sekali tidak bisa digunakan sebagai pertimbangan Hukum bagi Pemkab Garut untuk mengubah nilai Insentif ataupun tata cara pengajuan Insentif itu sendiri.

Dalam pertimbangan hukum penulis diatas menjadikan rasio legis yang Pruden bahwa demi menjaga objektivitas, keadilan dan kepastian hukum Insentif tenaga kesehatan di Kabupaten Garut maka penulis menuntut Pemkab Garut, RSUD Dr Slamet, Dinas Kesehatan, BPKAD dan deluruh Faskes lainnya untuk :

  • Membayarkan selisih Insentif Nakes ke angka 100% dan atau berdasarkan verifikasi masing-masing Faskek sebagaimana diatur dalam peraturan tehnis pada lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/447/2020
  • Melakukan anggaran perubahan pada quartal ketiga Tahun 2021 dan memasukan asumsi angka Insentif berdasarkan kualifikasi yang diatur dalam KMK tentang pemberian Insentif.
  • Mendorong seluruh Faskes dan atau lembaga kesehatan sebagaimana diatur didalam Juknis KMK Hk.01.07/Menkes/447/2020 melakukan standarisasi terkait variable yang menentukan jumlah besaran Insentif berdasarkan beban kerja pada penanganan Covid-19 dengan budget purpose sebesar maksimum yang diatur dalam KMK
  • Meminta secara khusus kepada manajemen RSUD Dr. Slamet Garut untuk me-reinventarisir dan segera mengajukan pembayaran selisih terhadap Pemkab Garut sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kaidah hukum adminstrasi tentang keuangan dan tata cara pembayaran kompensasi atau benefit tertentu seharusnya tidak bersifat absurb, karena sepanjang ada legalistik yang mengatur tentang jumlah besaran dan tata cara teknis maka segala anggaran seharusnya tidak menjadi kendala untuk dibayarkan setiap bulannya kepada rekan-rekan NAKES demi menjaga keadilan dan tentunya sebagai upaya optimalisasi penanganan medis pada Covid-19 yang memiliki resiko yang sangat berbahaya baik terhadap pelayanan bagi para pasien ataupun keselamatan para Nakes itu sendiri dengan berbagai resiko kesehatan dan fatigue.
Anailisa ini adalah sebuah bentuk control sosial untuk selalu menjaga keseimbangan antara pelayanan publik pada Covid dengan stimulus yang didapatkan untuk selalu bersama-sama menurunkan tensi Covid-19 di Kabupaten Garut yang salah satunya adalah kepastian dan keadilan bagi seluruh tenaga kesehatan yang ada di Kabupaten Garut.

Terima Kasih

(Redaksi jabarbicara.com)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.