Dari Sekolah dan Perengkingan ke Sekolah yang Memberdayakan


Iwan Ardhie Priyana
Penggerak Komunitas Guru Belajar Kab. Bandung

Setiap manusia dilahirkan memliki potensi kecerdasan. Artinya kecerdasan itu merupakan anugerah, berupa default factory. Di sekolah, potensi kecerdasan itu digali, dikembangkan dan diberdayakan. Sehinhga kecerdasan itu fungsional tidak hanya untuk kehidupan anak itu, namun juga untuk perkembangan peraban manusia pada umumnya.

Pertanyaannya, benarkah pendidikan di sekolah telah mengembangkan fungsi untuk mengembangkan potensi manusia tersebut?
Jujur saja, praktik pendidikan di sekolah belum memiliki strategi ampuh untuk menggali potensi kecerdasan peserta didik. Praktik praktik pembelajaran masih berfokus pada hafalan, cara cepat mengerjakan soal, latihan soal, dan ujian pilihan ganda, dari mulai tingkat SD sampai dengan SMA.

Lebih menyedihkan lagi, alih alih mengembangkan potensi peserta didik, pendidikan di sekolah malah membuat kategori sasi dengan cara perengkingan. Siswa yang cerdas adalah siswa dengan peringkat tertinggi, sisanya adalah siswa dengan peringkat terendah yang dianggap kurang cerdas , untuk tidak menyebut bodoh. Pintar dan bodoh dengan peringkat inilah yang kemudian dilabelkan pada siswa dalam proses pendidikan.

Dan ini justru yang menjauhkan hakikat pendidikan di sekolah sebagai ajang mengembangkan potensi kecerdasan peserta didik.
Siswa yang pintar, karena memiliki kemampuan akademik tinggi; yang diukur dengan cara menjawab soal piliha ganda; di akhir pembelajaran dirayakan. Diberi tepuk tangan, hadiah dan penghargaan, jadi kebanggaan guru dan orang tua.

Sementara siswa yang lain, hanya jadi penonton. Anak-anak yang malang yang tidak mustahil mendapat tekanan di rumah karena rengkingnya rendah, juga tekanan pada dirinya sendiri yang merasa tak bisa bersaing dengan teman yang lain, akan menjadi sejarah kelam sepanjang hidupnya.

Lalu, apa upaya sekolah ? Sekolah berupaya mengakat siswa seperti ini, dengan memberi sebanyak mungkin latihan soal, diberi tugas yang banyak, untuk ujian yang tetap sama denga cara yang sama, pilihan ganda. Hasilnya?

Mengharap hasil yang berbeda dengan cara yang sama adalah sebuah kemustahilan.

Syukurlah, kesadaran untuk melakukan kategorisasi pintar dan tidak pintar dengan cara peringkat ini, sudah dihapus dalan kolom rapot. Meskipun masih ada sebagian sekolah yang masih memaksa untuk membuat peringkat, bisa karena alasan orang tua, atau karena mindset guru dan sekolah memang belum berubah.

Sekarang ini, guru guru yang tergabung dalam Komunitas Guru Belajar (KGB) yang terserak di hampir 140 kota kabupaten di Indonesia, telah mengembangkan prinsip pembelajaran 5 M.
Prinsip pembejaran 5M terdiri dari :

  1. Memanusiakan hubungan
    Memanusiakan hubungan memiliki arti sebagai praktik pembelajaran yang berorientasi dalam membangun relasi positif satu sama lain, mulai dari orang tua, siswa dan guru.
  2. Memahami konsep
    Memahami konsep merupakan pembelajaran yang lebih dari sekadar menguasai konten. Memahami konsep memiliki arti mendalam dan bisa diterapkan dalam berbagai konteks.
  3. Membangun keberlanjutan
    adalah praktik pembelajaran yang memandu siswa memahami rute belajar yang terarah dan berkelanjutan melalui umpan balik

4 .Memilih tantangan 
Memilih adalah praktik pembelajaran yang memandu siswa memahami keahlian melalui proses yang berjenjang dan bermakna.

  1. Memberdayakan konteks adalah praktik pembelajaran yang memandu siswa melibatkan sumber daya dan kesempatan di komunitas sebagai sumber belajar dan berkontribusi terhadap perubahan.

Di samping pembelajaran yang menerapkan strategi 5 M tadi, sekarang juga dikembangkan sistem penilaian yang lebih komprehensif melalui berbagai macam asesmen. Dimulai dari asesmen diagnostik kognitif, asesmen diagostik non kognitif, asesmen formatif dan asesmen formatif. Berbagai macam asesmen itu yang memungkinkan siswa dinilai tidak hanya melaui pilihann ganda, namun beragam penilaian yang berangkat dari potensi dan profil siswa.

Jadi, sekaranglah saatnya pendidikan menuju upaya mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan komprehensif, bukan sekedar dididik untuk mengerjakan pilihan ganda dan dirayakan dengan selembar ijazah.

(Redaksi Jabi)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.