Di Balik RUU HIP ada Proyek Besar, Kata Djafar Badjeber


JABARBICARA.COM-- Wakil Ketua Umum Partai Hanura Djafar Badjeber mengatakan dalam satu pekan terakhir masalah penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menjadi perbincangan menarik di tengah masyarakat.

Belum banyak yang tahu asal usul RUU ini dari mana, tapi yang jelas berasal dari anggota DPR. "Tidak perlu dijelaskan siapa orangnya, dan dari fraksi mana. Masyarakat sudah mafhum." ujar Djafar kepada BeritaSatu.com, Senin (15/6/2020) sore.

Menurut Djafar, kebanyakan RUU yang akan dibahas DPR berasal dari pemerintah, tapi khusus RUU HIP ini usul iniasiatif dari DPR. Untuk mengesahkan RUU iniasiatif DPR ada mekanisme yang harus dilalui, termasuk persetujuan dari pemerintah atau utusannya.

Usulan RUU HIP agak menggemparkan di saat masyarakat lagi menghadapi new normal akibat Covid-19. Meskipun demikian perhatian masyarakat tetap peka atas RUU ini .

Mantan anggota MPR ini menegaskan sesungguhnya ada yang dirasakan tidak pas. Dari soal konsideran TAP MPR Nomor XXV Tahun 1966, dan TAP MPR RI Nomor 1 Tahun 2003, dan persoalan pasal-pasal yang dianggap mendistorsi dan melemahkan butir Pancasila, terutama butir 1, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Juga terkait dengan isi pasal yang dianggap berbahaya serta istilah trisila dan ekasila. Seperti apa bentuk Ketuhanan yang berkebudayaan? Kok masalah Ketuhanan yang sakral dipadankan dengan kebudayaan. Hal-hal seperti itu lanjut Djafar yang dianggap mengerdilkan agama maupun Pancasila itu sendiri.

Menurutnya sampai saat ini Pancasila belum pernah dijabarkan oleh siapapun, yang diketahui isi Pancasila ada dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945.

“Kita semua harus berterima kasih kepada proklamator dan penggali Pancasila, Ir Soekarno. Jangan sampai ada pihak yang ingin menafsirkan Pancasila menurut selera dan penafsirannya. Pancasila tidak butuh penafsiran. Yang penting bagaimana butir-butir Pancasila dijalankan secara konsisten dan konsekuen di seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.

Dikatakan Pancasila butuh tindakan dan perbuatan. Seperti semangat gotong royong sudah hidup tinggal diinternalisakan terus- menerus di tengah masyarakat, terutama generasi penerus.

Dia khawatir lahirnya RUU HIP akan dijadikan justifikasi untuk mendoktrin para pejabat, masyarakat, ormas dan generasi muda, layaknya P4 seperti di masa Orba. “P4 di era Soeharto tidak sedikitpun doktrinnya mengecilkan arti Ketuhanan. Sekalipun demikian masih ada kelompok yang tidak bisa menerima,” ujarnya.

Penolakan kepada RUU ini menjadi ukuran siapa kelompok yang konsisten dengan Pancasila dan anti komunis sebagaimana Ketetapan MPR RI No. XXV/1966.

Bila RUU mau dilanjutkan bicarakan dengan ahlinya. Dengarkan , tampung, akomodir aspirasi rakyat.

Menurutnya sesungguhnya dibalik RUU HIP ini ada proyek besar di dalamnya. Sebab BPIP akan minta anggaran dari APBN untuk melaksanakan tugas-tugas sosialisasi dan pendidikan kepada elemen bangsa. Para narasumber akan direkrut dari para pejabat dan orang sekitar yang berkuasa.

Kalau Undang-undang itu aspiratif bisa dilanjutkan penguasa berikutnya. Tapi, andai tidak aspiratif pasti akan direvisi atau dihapus oleh rezim berikutnya. Akibatnya sia-sialah sebuah undang-undang yang bertentangan dengan aspirasi rakyat. Sumber: BeritaSatu.com

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.