Inilah Konsep Penataan Wilayah Dalam Islam, Berorientasi Pada Kesejahteraan Rakyat


Oleh : Liis Suryani

Jawa barat merupakan salah satu wilayah yang mengalami kemajuan pembangunan infrastruktur yang cukup tinggi. Hal ini tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan saja melainkan terjadi hingga ke desa-desa. Pesatnya pembangunan di wilayah pedesaan yang selama ini terjadi, sayangnya tidak diiringi dengan konsep penataan ruang yang benar. Akibatnya, pembangunan yang terjadi berakibat buruk pada keseimbangan alam karena menyalahi ketentuan terutama pada fungsi lahan.

Berkaitan dengan hal itu, Pemprov Jabar akan meminta agar setiap desa memiliki grand design penataan ruang di kawasan pedesaan. Sebagaimana dilansir laman media Tribunjabar.id, bahwa menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Provinsi Jawa Barat, Bambang Tirto Yuliono, saat ini masih sangat sedikit desa yang telah memiliki perencanaan tata ruang. Akibatnya, kata dia, pembangunan yang dilakukan cenderung tidak tertata sehingga tidak memiliki kesesuaian dengan peruntukan lahan serta potensi yang ada.

Pembangunan di wilayah pedesaan yang saat ini marak terjadi memang berdampak signifikan pada kerusakan alam. Timbulnya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang banyak terjadi di wilayah pedesaan di duga kuat akibat dari kesalahan pemanfaatan ruang yang akhirnya mengganggu keseimbangan alam. Melalui grand design penataan desa Pemprov Jabar berharap sejumlah aspek penting seperti penentuan batas desa berbasis spasial, inventarisasi potensi, dan permasalahan desa, serta tata kelola pemerintahan dapat lebih diperhatikan.

Padahal, jika kita cermati maraknya pembangunan di pedesaan saat ini tidak terlepas dari kepentingan para pemilik modal atau korporasi. Terbukti banyaknya alih fungsi lahan untuk pembangunan dan pariwisata adalah miliki korporasi yang dikelola dan didanai oleh mereka. Pembangunan infrastruktur ala sistem ekonomi neoliberal yang selama ini dilakukan, nyatanya hanya menjadi lahan bancakan bagi korporasi dan lembaga-lembaga keuangan kelas kakap bahkan internasional.

Faktanya, meskipun Jawa barat merupakan wilayah yang memiliki sumberdaya alam potensial, namun kekayaan milik warga itu tak ada dalam kekuasaan dan genggaman Pemda. Sehingga Pemda tak memiliki modal besar untuk membiayai pembangunan, sekalipun telah memiliki grand desain untuk menata wilayah. Walhasil, penataan wilayah di Jabar akan sesuai dengan keinginan para pengusaha.

Ketidakmampuan pemerintah dalam penyediaan modal inilah yang akhirnya memaksa pemerintah melibatkan pihak korporasi, terutama asing dalam sebagian besar proyek-proyek strategis dan berjangka panjang, termasuk didalamnya pembangunan di wilayah pedesaan. Berbagai kerjasama ini akhirnya memberikan peran besar kepada swasta untuk menata wilayah pedesaan sesuai dengan keinginan mereka sementara posisi dan peran pemerintah hanya sebagai penjamin dan regulator semata. Para korporasi tentu tidak akan memperhatikan peruntukan fungsi lahan, apakah itu potensial untuk pertanian ataukah daerah resapan air. Karena yang mereka cari adalah keuntungan semata.

Pembangunan kapitalistik yang menonjol dan berdampak pada deforestasi dan alih fungsi lahan, di antaranya adalah liberalisasi sumber daya alam kehutanan dan pertambangan; liberalisasi hutan dan lahan untuk pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan dan bandara yang begitu pesat selama dua dekade terakhir; liberalisasi lahan untuk perumahan dan pemukiman, serta liberalisasi hutan.

Khusus untuk Jabodetabek, dimuat pada laman mongabay.com, bahwa Guru Besar Manajemen Lanskap Departemen Institut Pertanian Bogor, Hadi Susilo Arifin, lima tahun yang lalu sudah mengingatkan tentang penurunan kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Biru (RTB) di kawasan ini, yang akan menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor maupun kekeringan.

Padahal, telah banyak riset dan kajian tentang bahaya alih fungsi lahan yang terjadi secara masif di berbagai wilayah Jabar. Namun, sebagaimana umumnya, dominasi korporasi yang begitu kuat dalam keputusan politik pemerintah berujung pada lahirnya peraturan perundang-undangan yang justru melegalkan pelanggaran itu hingga terus berlangsung

Dan pada akhirnya, tetap saja korporasi yang akan mendapatkan keuntungan. Sedangkan warga hanya akan menjadi objek komersial para pemilik modal, serta akan semakin menambah kesusahan warga karena dampak yang ditimbulkannya. Itulah dampak dari penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sistem yang lahir dari rahim sekularisme ini telah nyata menimbulkan kerusakan permanen bagi negeri ini jika tetap terus diterapkan. Maka dari itu, sudah sepantasnya kita memilih Islam sebagai sistem aturan bagi kehidupan kita. Karena sungguh Islam adalah agama yang sempurna, artinya Islam mampu menyelesaikan seluruh problematika kehidupan manusia., termasuk dalam hal penataan wilayah.

Di dalam pandangan Islam, air, hutan, dan lahan adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, diciptakan-Nya untuk kesejahteraan manusia, bukan komoditas. “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk mu…” (TQS Al Baqarah [2]: 29).

Negara di dalam konsep Islam berfungsi sebagai pelaksana syariat kaffah, dengan ini negara secara praktis akan menerapkan sejumlah paradigma sahih Islam, di antaranya adalah :

Memperhatikan ukuran dan keseimbangan alam, sehingga tata ruang wilayah tidak boleh merusak keseimbangan ini. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (TQS Al Qamar: 49). Sehingga, berada dalam keseimbangan dan keserasian satu sama lain, “…Dan Dia menciptakan keseimbangan.” (TQS Ar Rahman: 7). Diperintahkan memelihara keseimbangan itu, “Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (TQS Ar Rahman: 8).

Selanjutnya, negara menjaga harta milik umum seperti hutan misalnya yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Karena itu negara tidak boleh memberikan hak pemanfaatan istimewa seperti pembukaan tambang, perkebunan sawit atau pembangunan infrastruktur. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalaam, yang artinya, “Tidak ada hima (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Daud).

Selain itu, Pemerintah adalah pihak yang berwenang dan bertanggung jawab langsung lagi sepenuhnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga negara mengetahui betul wilayah yang mana yang potensial atau justru harus diperbaharui. Serta pemerintah benar-benar harus memperhatikan pandangan para ahli sehingga terhindar dari perbuatan yang merusakan alam. Seperti daerah mana yang memang daerah resapan air, daerah yang potensial untuk pertanian, hingga daerah yang memang aman dan sesuai untuk pembangunan Infrastruktur. Hal ini sesuai dengan hadits, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Terakhir, mengadakan anggaran berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat. Sehingga negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya. Seperti untuk mendanai pembangunan Insfratruktur di seluruh wilayah, tidak mengenal kota atau desa karena semua rakyat harus merasakan kesejahteraan yang sama. Begitupun dengan penataan wilayahnya yang didanai secara mandiri.

Begitulah syariat Islam dengan kesempurnaan nya mengatur spasial yang tersedia, sehingga dapat bermanfaat sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat. Begitupun dengan keagungan petunjuk dari Allah SWT yang sudah selayaknya menjadi pilihan untuk diterapkan di negeri tercinta ini.

Wallahua'lam bishowab

Isi diluar tanggung jawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.