Kemuliaan Perempuan yang Terampas


Oleh Ummu Munib
Ibu Rumah Tangga

JABARBICARA.COM-- Viva.co.id (31/10/2021) melansir Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya ketika menghadiri KTT G20 di Roma, Italia mengungkapkan bahwa G20 harus mendorong penguatan peran UMKM dan perempuan dengan aksi nyata. Salah satunya meningkatkan inklusi keuangan UMKM dan perempuan. Ia juga mengungkapkan bahwa perempuan dan UMKM merupakan sendi utama perekonomian. Sebanyak 64% pelaku UMKM di negeri ini adalah perempuan, maka ketika memberdayakan UMKM sesungguhnya sedang memberdayakan perempuan. Dengan harapan ekonomi bangkit dari keterpurukan, mencapai kenaikan hingga angka 7%.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam rangka menumbuhkan ekonomi. UMKM dan pemberdayaan perempuan adalah sasaran utamanya. Dengan memperkuat pembiayaan yang ramah dan akses pendanaan bagi UMKM, pemerintah mengalokasikan dana sebesar 17,8 miliar dolar AS untuk kredit usaha rakyat (KUR), lebih dari 2,4 juta pengusaha perempuan telah menerima bantuan tersebut. Selain itu, pemerintah juga membuat program Produktif Usaha Mikro dengan mengucurkan dana 1,1 miliar dolar AS. Lagi-lagi 63,5% pengusaha perempuan telah menerima bantuan dimaksud.
Adapun program Mekar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera), dibuat untuk pengusaha perempuan mikro dan ultra-mikro, dengan mengembangkan skema pemodalan khusus. (Antaranews.com, 31/11/21)

Betapa miris, ketika menjadikan kebijakan sentral dalam upaya percepatan pencapaian SDGs dengan memberdayakan UMKM dan perempuan. Perempuan dianggap bak pahlawan ekonomi bahkan seolah penyelamat ekonomi bangsa. Apakah karena populasi kaum Hawa lebih tinggi dari kaum Adam sehingga menjadi pihak yang diandalkan dan diberdayakan? Hal ini dianggap sebuah ide cemerlang ketika perempuan terjun selaku pelaku usaha.
Begitulah watak kapitalisme sekularisme, memandang segala sesuatu atas asas manfaat semata. Perempuan diberdayakan dengan iming-iming setara dengan laki-laki, tidak bergantung kepada pasangannya dalam hal materi. Sayangnya banyak perempuan yang tidak menyadari hal ini. Mereka bangga ketika mampu mandiri secara ekonomi. Mereka bahkan lebih bangga lagi ketika diposisikan menjadi penyelamat ekonomi negeri ini.

Kapitalisme telah menghantarkan kaum perempuan mengalihkan tugas utamanya. Peran mulia sebagai madrasah (pendidik) pertama bagi anak-anaknya dan pengatur rumah tangga, akan musnah secara perlahan. Para perempuan justru disibukkan dengan kegiatan usaha perekonomian mengejar pundi-pundi keuntungan. Akibatnya tak sedikit anak mereka menjadi korban, sehingga pengasuhan dialihkan kepada asisten rumah tangga.

Kodrat perempuan terlahir sebagai mahluk yang lemah dari sisi fisik jika dibanding laki-laki. Hal ini membuat para perempuan tak mampu menjalani peran ganda. Di satu sisi sebagai ibu, di sisi lain sebagai pengusaha. Tak jarang para perempuan terpaksa lebih memilih menjadi pengusaha, sebab tergiur dengan harapan bisa membantu ekonomi keluarga. Memang bagi negara pertumbuhan ekonomi akan terbantu menjadi naik, namun ironis bagi perempuan, peran utamanya akan lambat laun menghilang.
Semestinya menaikkan kondisi ekonomi sebuah negara adalah menjadi tugas dan tanggung jawab negara itu sendiri. Bukan terletak pada komunitas dalam masyarakat terlebih kaum perempuan. Negara mempunyai modal sumber daya alam dan sumber daya manusia, selayaknya mampu mendongkrak ekonomi bahkan memenuhi kebutuhan rakyatnya termasuk para perempuan.

Sebuah kebijakan yang patut dipertanyakan ketika menempatkan perempuan sebagai penopang utama ekonomi. Sebuah kemuliaan yang terampas oleh sistem yang rusak. Bukankah masih banyak cara lain? Tengoklah kekayaan negeri ini, mulai dari tanah, laut, hutan, barang tambang yang begitu berlimpah. Andai pengurusannya benar, maka tak dapat diragukan lagi sumber daya alam yang berlimpah ini menjadi sumber pendapatan negara yang besar.
Sayangnya kini berbagai sumber daya alam seperti tambang minyak Blok Cepu, tambang emas Freeport di Papua, batu bara di Kalimantan, dan tambang lainnya dikelola oleh swasta dan asing. Akibatnya rakyat sebagai pemilik hakiki sumber daya alam tersebut tidak bisa menikmati hasilnya, melainkan hanya segelintir masyarakat yakni kaum kapital para pemilik modal.
Itulah sejatinya penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Betapa miris di tengah melimpahnya sumber daya alam negeri ini, namun tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya. Rakyat seolah cukup jadi penonton saja. Andai saja sumber daya alam itu tidak salah urus, yakni tidak dikelola para kapitalis asing, aseng, dan asong. Sungguh negara tidak perlu memberdayakan perempuan untuk menaikkan status ekonomi negara.

Sangat berbeda dengan sistem Islam. Selain sebagai agama yang shahih, Islam dengan tegas mengatur seluruh permasalahan, termasuk urusan perempuan, ekonomi, dan sumber daya alam.
Dalam Islam, perempuan posisinya sangat mulia. Mereka bukanlah motor penggerak ekonomi negara, melainkan agen perubahan terhadap peradaban yang agung yakni peradaban Islam. Mereka melahirkan generasi yang kuat, tangguh, cerdas, bertakwa, dan memiliki kepribadian yang luhur. Tanggung jawab ekonomi bukan pada pundak perempuan. Melainkan tugas negara sebagai penyelenggara utama yang berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok dan mewujudkan kesejahteraan hidup rakyatnya.

Adapun tentang sumber daya alam merupakan milik rakyat. Sedangkan pengelolaannya tanggung jawab negara. Hasil pengelolaan tersebut harus kembali ke rakyat dalam berbagai bentuk, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, fasilitas umum, dan lain-lain. Negara diharamkan menjual atau menyerahkannya kepada pihak swasta atau asing. Sabda Nabi saw.
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Islam dengan sempurna mengatur tentang ekonomi negara. Pendapatan negara tidak bersandar kepada pajak dan utang sebagaimana kapitalisme, melainkan dari pengelolaan sumber daya alam, ghanimah, jizyah, kharaj, fai, harta orang murtad, dan lain-lain. Pendapatan ini dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan negara sehingga tidak akan memberdayakan perempuan sebagai pengusaha.

Adapun terkait perempuan bekerja sesungguhnya dibolehkan dalam Islam dan tetap dalam kebolehannya tidak akan bergeser menjadi kewajiban.
Alhasil jika Islam diterapkan secara kafah, maka kemuliaan perempuan bisa diwujudkan secara hakiki sesuai fitrahnya. Kemuliaannya tidak akan terampas atas nama ekonomi. Begitu juga dengan sumber daya alam akan terkelola dengan baik untuk pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat tanpa pandang bulu.

Wallahu’ a'lam bi ash-shawab. (Red.Jabi)

Isi Artikel/opini di luar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.