Kemusyrikan Dilestarikan dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme


Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi

JABARBICARA.COM -- Baru-baru ini, masyarakat digemparkan dengan pemberitaan terkait Presiden Joko Widodo beserta gubernur se-Indonesia melaksanakan ‘ritual kendi nusantara’. Presiden tengah berada di titik nol Ibu Kota Negara (IKN), Kalimantan Timur. Para gubernur diminta membawa tanah dan air dari daerah masing-masing. Seperti yang disampaikan Juru Bicara Gubernur Kalimantan Timur, H.M. Syafranuddin, “Air satu liter dan tanah 2 kilogram akan disatukan dalam kendi, yang kemudian akan disimpan di titik nol IKN Nusantara”. (Kumparan.com, 14 Maret 2022)

Menurut Ubedillah Badrun selaku pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, praktik mengisi kendi Nusantara dengan membawa tanah dan air dari seluruh provinsi, adalah sesuatu yang menunjukkan kemunduran peradaban. Sebab praktik ini bertentangan dengan rasionalitas masyarakat modern. (Kompas.com, 14 Maret 2022)

Sungguh miris apa yang dipertontonkan para pemangku kekuasaan. Secara terang-terangan mereka melakukan politik klenik di tengah gempuran penolakan kelanjutan proyek IKN. Secara nyata praktik kemusyrikan ditunjukkan dengan alasan sebagai prosesi untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt.. Hal tersebut dikerjakan konon agar program yang besar ini, bisa berjalan dengan baik. Astaghfirullah al-adhim.

Bagaimana mungkin kebaikan akan terwujud, jika apa yang dilakukan penguasa adalah hal yang melanggar aturan agama. Bukannya kebaikan yang akan diperoleh, justru praktik kemusyrikan. Ini tentu akan mengundang azab Allah. Na’uzubillah. Sudah jelas praktik klenik ini dapat merusak akidah seseorang, karena hal ini bermuara pada kesyirikan. Dimana perkara tersebut terkategori aktivitas menyekutukan Allah Swt. sebagai pencipta alam semesta. Tak diragukan lagi, kesyikiran merupakan dosa yang besar yang dapat merusak amalan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (TQS An-Nisa: 48)

Kerusakan perilaku yang jelas dilakukan penguasa saat ini, tentu tak lepas dari sistem rusak yang menjadi pijakan. Para penguasa menihilkan aturan agama dalam setiap aktivitas kehidupan. Sungguh, inilah gambaran nyata sistem Demokrasi Kapitalisme Sekuler yang melanggengkan kesyirikan. Bahkan cara seperti ini justru dijadikan jalan untuk meredam gejolak penolakan publik. Asalkan tujuan tercapai, hal apapun bisa dilakukan. Tak peduli apakah bertentangan dengan aturan agama sekalipun, proyek besar yang jadi incaran terus berjalan.

Begitu juga dengan suara penolakan dari rakyat, mereka dengan sigap menutup rapat telinga, mata, dan hati. Asalkan senang dan keinginannya terwujud, maka suara jerit rakyat dianggap angin lalu.

Mirisnya hidup dalam sistem rusak dan merusak, yakni Demokrasi Kapitalisme Sekuler yang menjauhkan peran agama dalam kehidupan. Akidah masyarakat tidak dijaga oleh negara, yang ada justru negara melestarikan praktik kemusyrikan tanpa rasa malu dan takut pada Sang Pencipta. Sebab negara tak memiliki aturan yang jelas dalam penjagaan akidah umat. Dengan melestarikan praktik kesyirikan ini, maka hal yang wajar jika banyak masyarakat yang mencampuradukkan antara yang benar dan salah. Ibadah jalan terus, akan tetapi pelanggaran aturan agama pun dijalankan. Sungguh teramat disayangkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pemimpin adalah pengurus rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR Bukhari)

Berbeda dengan sistem Islam, yang memiliki aturan paripurna. Islam menjadikan syariat sebagai pijakan dasar dalam melakukan suatu perbuatan. Negara pun berkewajiban penuh dalam menjaga akidah umat. Negara wajib memelihara keimanan rakyatnya. Karena negara berperan dalam kepengurusan kebutuhan dan kemaslahatan warganya. Negara senantiasa mengajak dan memastikan kondisi keimanan rakyat terpelihara dengan baik. Hal tersebut dikerjakan dengan pembinaan dan pendidikan agama. Penjagaan negara dalam Islam, dapat dilakukan baik melalui media, pendidikan, kebudayaan dan lainnya. Negara akan benar-benar memilah mana yang baik dan tidak bagi warganya. Sebab semua disandarkan pada syariat Islam.

Jika ada warganya yang keluar dari agama Islam (murtad), maka negara memiliki sanksi tegas. Sebelum sanksi ini diberlakukan, negara berupaya mengajak agar kembali kepada Islam. Jika upaya telah dilakukan secara maksimal, dan masih tetap murtad. Maka hukum berlaku dengan cara dibunuh atau diusir dari wilayah daulah (negara dalam Islam yang berkuasa dan dipimpin oleh seorang khalifah)

Tentu saja penjagaan akidah dan memiliki pemimpin yang saleh hanya akan terwujud dan terlaksana jika Islam dan syariatnya dijadikan sandaran dalam semua sistem kehidupan. Dengan demikian, baik individu, masyarakat, dan negara akan saling bahu-membahu menjaga kesalehan bersama. Sehingga sebaik-baik umat akan tercipta dan suasana keimanan yang kuat akan terus terjaga.

Wallahua’lam bish shawab.

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi Jabarbicara. com

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.