Khilafah Bukan Imajinasi Negara


Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter dan Member WCWH Majalengka)

Topik pembicaraan mengenai Khilafah masih ramai mengemuka dalam berbagai media. Salah satu pemicunya adalah tayangan film Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN). Film yang ditayangkan secara virtual pada 20 Agustus 2020 lalu bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1442 Hijriah.

Dikatakan, bahwa film Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) adalah imajinasi belaka. Bersatunya umat Islam dalam satu kekuasaan di masa Khilafah merupakan delusi. Cita-cita politik Islam bukan sekadar menegakkan negara tetapi yang lebih penting adalah substansi (nilai-nilai moral) dan Rasulullah SAW tak pernah memerintahkan untuk menegakkan pemerintahan dalam bentuk tertentu. (Opini JawaPos, 14/9/2020)

Menyikapi pernyataan di atas, alangkah lebih baiknya kita mengkaji secara mendalam. Patut dicatat bahwa sistem Khilafah itu tidak sama dengan sistem federasi. Islam juga tidak mengajarkan pembentukan Pan-Arab atau yang semisalnya, termasuk pembentukan lembaga dan organisasi internasional seperti halnya Liga arab atau OKI.

Dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah (Struktur Negara Khilafah) telah menjelaskan secara rinci bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu Khalifah. Secara syar‘i, umat Islam di seluruh dunia haram memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang Khalifah.

Begitu pula wajib hukumnya menjadikan sistem pemerintahan di negara Khilafah sebagai sistem kesatuan dan haram menjadikannya sebagai sistem federasi. Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

"Siapa saja yang telah membaiat seorang Imam/Khalifah, lalu ia telah memberinya genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu. (HR Muslim)

Imam Muslim juga telah menuturkan riwayat dari Abu Said al-Khudi, dari Rasulullah SAW, bahwa Beliau pernah bersabda: Jika dibaiat dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

Imam Muslim juga menuturkan riwayat dari Abu Hazim yang mengatakan: Aku mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun dan aku pernah mendengarnya menyampaikan hadis dari Nabi SAW. bahwa Beliau pernah bersabda:

“Dulu Bani Israel diurusi oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi SAW bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).

Hadis pertama menjelaskan bahwa dalam kondisi Imamah atau Khilafah diberikan kepada satu orang maka mentaatinya adalah wajib. Maka jika datang orang lain yang ingin merebut jabatan Kekhilafahannya maka orang itu wajib diperangi jika ia tidak menarik diri dari keinginannya untuk merebut jabatan Kekhilafahan itu.

Hadis ini juga menunjukkan larangan untuk membagi-bagi negara, dan mendorong untuk tidak membiarkan adanya pembagian negara, sekaligus larangan untuk memisahkan diri dari negara (Khilafah); meskipun untuk itu harus digunakan kekuatan senjata.

Hadis kedua menunjukkan bahwa ketika negara tidak memiliki Khalifah—baik karena meninggal, dicopot, atau berhenti secara otomatis—sementara ada dua orang yang dibaiat untuk menduduki jabatan Khilafah, maka umat Islam wajib memerangi yang paling akhir di antara keduanya. Dengan kata lain, yang menjadi Khalifah adalah pihak yang paling awal dibaiat dengan baiat yang sah. Orang yang dibaiat setelah itu harus diperangi jika ia tidak mengumumkan diri untuk meninggalkan jabatan Kekhilafahannya. Apalagi jika baiat itu diberikan kepada lebih dari dua orang.

Ini merupakan kinâyah (kiasan) terhadap larangan untuk membagi-bagi negara. Artinya, haram hukumnya membagi negara Khilafah menjadi banyak negara, bahkan wajib hukumnya untuk menjadikan negara Khilafah tetap sebagai satu negara saja.

Hadis ketiga menunjukkan bahwa setelah Rasulullah SAW akan terdapat banyak Khalifah. Para Sahabat bertanya kepada Beliau mengenai apa yang Beliau perintahkan kepada mereka jika terdapat banyak Khalifah. Jawaban Rasulullah SAW. bahwa mereka wajib untuk memenuhi baiat kepada Khalifah yang dibaiat paling awal, karena dialah Khalifah yang sah secara syar‘i, dan hanya dialah yang wajib ditaati. Adapun pihak lain, maka tidak wajib untuk ditaati, karena baiat kepada mereka adalah batil dan tidak sesuai dengan syariah. Sebab, tidak boleh seseorang dibaiat sebagai Khalifah, sementara Khalifah yang sah bagi umat Islam sudah ada.

Hadis ini juga menunjukkan wajibnya mentaati hanya seorang Khalifah saja. Dengan begitu, hadis ini juga menunjukkan ketidakbolehan adanya lebih dari seorang Khalifah bagi umat Islam dan ketidakbolehan adanya lebih dari satu negara bagi umat Islam.

Jika di masa lalu terlihat seperti kekuasaan yang terpisah-pisah itu dikarenakan adanya kewenangan umum yang diberikan kepada wali di satu wilayah. Padahal sejatinya, wilayah tersebut masih berada dalam kekuasaan Khilafah Islam. Kita bisa melihat dalam kasus wilayah di Andalusia.

Andalus sebenarnya tidak terpisah dari tubuh Negara Islam dan kaum Muslimin yang tinggal di Andalus juga tidak terpisah dari kaum Muslimin lainnya yang tinggal di wilayah Daulah ‘Abbasi kala itu dan mereka tetap menjadi bagian dari kesatuan umat Islam, akan tetapi mereka terpisah secara administratif (aturan pemerintahan).

Fakta inilah yang menyebabkan kelemahan terserap ke dalam tubuh daulah. Kelemahan itulah yang menjadikan kaum kafir mudah menguasai Andalus. Padahal Negara Islam (Bagdad) pada waktu itu berada di puncak keluhuran dan kekuatan. Bagdad tidak mampu menolak serangan musuh yang melemahkan kondisi Andalus.

Ini kondisi yang terjadi di wilayah Barat (Daulah Andalus disebut wilayah Negara Islam bagian Barat). Adapun di wilayah Timur (pusat pemerintahan Negara Islam: Bagdad), pemerintah-pemerintah daerah (propinsi) diberikan kepada para gubernur secara umum. Tiap-tiap daerah diberi keleluasaan (otonomi) mengatur secara luas. Otonomi ini memberi kesempatan para penguasa daerah untuk menggerakkan perasaan-perasaan kepemimpinan yang membuat mereka berambisi. Mereka memiliki kekuasaan yang otonom dalam administrasi (mengatur pemerintah daerah), sementara Khalifah merelakannya.

Pengakuan atas legalitas kekuasaan Khalifah cukup dilakukan di mimbar-mimbar, pengeluaran surat-surat keputusan yang diambil dari lembaga Khilafah, pembuatan uang dengan namanya, dan penyetoran pajak. Wilayah-wilayah propinsi yang memiliki kekuasaan otonom menjadikannya seperti negara-negara federal, sebagaimana yang terjadi antara penguasa bani Saljuq dan Hamdani. Hal ini juga menyebabkan Negara Islam melemah.

Semua persoalan di atas menjadi sebab yang mengantarkan pada lemahnya Negara Islam. Kondisi ini terus berlangsung hingga Daulah ‘Utsmani datang dan menguasai Kekhilafahan. Mereka kemudian menyatukan hampir seluruh wilayah Negara Islam di bawah kekuasaan mereka, kemudian mengemban dakwah ke Eropa dan memulai penaklukan-penaklukan.

Akan tetapi sayang, kekuasaannya tidak bersandar pada dasar kekuatan iman para Khalifah pertama bani ‘Utsman. Khalifah-khalifah sesudahnya justru hanya bersandar pada kekuatan militer. Pemerintahannya tidak bersandar pada asas pemahaman Islam yang benar dan penerapan yang sempurna. Oleh karena itu, penaklukan-penaklukan yang diraihnya tidak memperoleh hasil sebagaimana penaklukan-penaklukan yang pertama.

Di samping itu, dalam tubuh umat tidak ada kekuatan yang mendasar. Karena itu, kondisi yang mendominasi ini juga ikut berperan memperlemah daulah, kemudian memudar, dan akhirnya Negara Islam hilang. Lenyapnya Negara Islam dari permukaan bumi tidak lain karena pengaruh faktor-faktor di atas, di samping karena macam-macam tipudaya yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam.

Negara Islam berdiri di atas ideologi (mabda’) Islam. Di dalam ideologi Islam terdapat kekuatannya. Dengannya semata, kekokohan Negara Islam menjadi kenyataan dan ketinggiannya dapat tercapai. Berarti, ideologi Islam adalah penopang utama wujudnya Negara Islam. Karena itu, Negara Islam berdiri dengan kuat karena kuatnya Islam.

Negara Islam berhasil menaklukkan negeri-negeri di dunia yang sangat luas hanya dalam masa kurang dari seabad, padahal sarananya hanya kuda dan unta. Semua bangsa dan umat yang ditaklukkan Islam tunduk dalam waktu yang ringkas, padahal alat-alat dan sarana penyebarannya tidak meluas. Tidak ada alat selain lidah dan pena. Semuanya ini terwujud dengan sangat cepat tidak lain karena faktor Islam. Islam-lah yang menjadikan negara kuat.

Musuh-musuh Islam mengetahui hal itu. Mereka sadar bahwa Negara Islam tidak dapat dilemahkan selama Islam kuat mengakar dalam jiwa para pemeluknya, dalam pemahaman, dan penerapannya. Dengan sadar, mereka berusaha menciptakan sarana-sarana yang akan memperlemah pemahaman kaum Muslimin dan penerapan hukum-hukumnya.

Faktor-faktor yang memperlemah daulah yang akhirnya menyebabkan lenyapnya Negara Islam secara ringkas dapat dikelompokkan menjadi dua faktor: Pertama, lemahnya pemahaman Islam. Kedua, buruknya penerapan Islam. Karena itu, yang dapat mengembalikan Negara Islam adalah pemahaman Islam yang benar, dan yang dapat menjaga kekuatan negara adalah kelangsungan negara yang terus-menerus memahami Islam yang benar, memperbaiki penerapannya dalam negeri, dan mengemban dakwahnya ke luar wilayah.

Jikalah benar Nabi SAW mengajarkan Islam sekadar substansi, maka beliau akan mencukupkan dakwah di Mekah, tak perlu hijrah ke Madinah untuk membangun kekuatan politik umat. Jikalah fakta sejarah menunjukkan kelemahan penerapan syariat Islam, namun bersatunya umat Islam secara universal dan politis dalam naungan Khilafah tetaplah sebuah keniscayaan, bukan imajinasi. Semua itu tak berarti menggugurkan kewajiban untuk memperjuangkan penegakkan kembali sistem Khilafah yang agung yang benar-benar mengikuti tuntunan syariat dan contoh Nabi SAW.

Wallahu a'lam bishshawab.

Isi/tulisan diluar tanggungjawab Redaks

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.