Marak Kenakalan Remaja, Butuh Evaluasi Sistem Pendidikan


Oleh: N. Vera Khairunnisa

JABARBICARA.COM -- Miris! Seorang ibu hamil di Jalan Nagarawangi, kota Tasikmalaya menjadi korban kebrutalan geng motor, Minggu (15/5/2022). Korban dipepet dan ditendang hingga terjatuh saat dibonceng suaminya. (inewsjabar.id)

Di hari yang sama, media sosial dihebohkan dengan video berdurasi 17 detik yang menampilkan seorang bocah SMP tengah ditinju dan dipukul sekelompok remaja lainnya.

Penyebab pengeroyokan tersebut hanya masalah sepele, yakni karena korban merespon status pacar salah satu tersangka dengan ejekan. Kasus ini terjadi di kota Cimahi, Jawa Barat. (detik.com,16/05/22)

Mengikuti perkembangan remaja hari ini memang membuat para orang tua geleng-geleng kepala. Disekolahkan bukannya jadi anak yang baik, malah tawuran atau keroyokan.

Istilah sundanya, "disakolakeun teh teu nyakola". Sebuah peribahasa diperuntukan bagi mereka yang sekolah, namun melakukan hal-hal tidak baik. Mengapa bisa demikian?

Kasus kenakalan remaja bukan hanya terjadi kali ini saja, bukan pula hanya terjadi di Jawa Barat. Setiap tahunnya, senantiasa ada saja kenakalan remaja terjadi hampir di setiap wilayah.

Realitas ini menunjukkan bahwa problem kenakalan remaja bukanlah problem individu semata, namun problem sistemik. Mengapa banyak anak sekolah tawuran dan melakukan tindak anarkis?

Ini menjadi sebuah indikasi kuat akan kegagalan sistem pendidikan hari ini dalam membentuk kepribadian yang baik. Sekulerisme yang menjadi asas pendidikan hari ini menyebabkan para siswa kering dari nilai-nilai ruhiyah.

Tengoklah pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri, hanya mendapatkan porsi yang sedikit, itu pun sekadar sesuatu yang bersifat teoritis. Tidak dikondisikan agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan.

Belum lagi lingkungan masyarakat hari ini yang cenderung bebas. Misalnya saja, media yang ada kebanyakan tidak memberikan tontonan yang mendidik.

Baik di televisi maupun di layar lebar, beragam tontonan yang memperlihatkan adegan pornografi, pornoaksi hingga kekerasan, dibiarkan. Padahal, dari sanalah salah satu sumber inspirasi para remaja untuk melakukan kekerasan.

Begitulah, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan luar sekolah, tidak mampu mengkondisikan para remaja agar senantiasa ada dalam ketaatan. Sebaliknya, lingkungan tersebut justru kerap merangsang para remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Maka wajar jika para orang tua banyak yang berlomba-lomba memasukkan anak-anaknya ke pesantren atau ke sekolah-sekolah yang berbasis Islam. Meski harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, mereka rela. Karena pendidikan agama merupakan hal yang paling penting.

Itu untuk mereka yang mempunyai biaya. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki biaya untuk memasukkan anak ke pesantren atau sekolah Islam yang relatif mahal?

Maka, semestinya memang masalah pendidikan ini betul-betul menjadi tanggung jawab negara. Dari sisi kualitas, artinya pendidikan yang memiliki kurikulum terbaik, tentu yang berasas akidah Islam. Disertai sarana prasarana penunjang yang mampu melejitkan potensi para pelajar.

Dari sisi kuantitas, harus tersebar di setiap tempat, sehingga memudahkan siapa saja untuk mendapatkan pendidikan. Dari sisi biaya, harus diberikan secara murah bahkan gratis alias cuma-cuma.

Mungkinkah semua itu diwujudkan dalam negara hari ini? Rasanya agak sulit, kalau tidak mau dikatakan mustahil. Sistem pendidikan terbaik hanya bisa diterapkan oleh negara yang menjadikan Islam sebagai asas dalam berbagai aspek kehidupan.

Pendidikan dalam Paradigma Islam

Sebelumnya telah disebutkan bahwa sistem pendidikan Islam merupakan sistem yang terbaik. Hal ini dikarenakan Islam memiliki konsep yang sangat jelas untuk mengatur masalah pendidikan. Sebuah konsep yang sudah terbukti mampu melahirkan generasi terbaik pada masanya.

Hal ini dikarenakan sebagai berikut:

Pertama, Negara Sebagai Penyelenggara

Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.

Rasulullah saw. bersabda,

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kedua, Tujuan Pendidikan dalam Islam

Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.

Ketiga, Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, mendapat porsi yang besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya.

Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islami); (2) penguasaan tsaqâfah Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (PITEK, keahlian, dan keterampilan).

Keempat, Guru dan Evaluasi Pendidikan Islam

Dalam proses pendidikan, keberadaan peranan guru menjadi sangat penting; bukan saja sebagai penyampai materi pelajaran (transfer of knowledge), tetapi sebagai pembimbing dalam memberikan keteladanan (uswah) yang baik (transfer of values).

Guru harus memiliki kekuatan akhlak yang baik agar menjadi panutan sekaligus profesional. Agar profesional, guru harus mendapatkan: (a) pengayaan guru dari sisi metodologi; (b) sarana dan prasarana yang memadai; (c) jaminan kesejahteraan sebagai tenaga profesional.

Kelima, Dana, Sarana, dan Prasarana

Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan.

Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar-audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya. (muslimahnews)

Dari pemaparan di atas, jelas bahwa sistem pendidikan Islam akan sangat mampu mencetak generasi unggul. Sebab Islam mewajibkan negara bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan.

Para pemuda dan remaja output dari sistem pendidikan Islam, tidak mungkin berlaku kasar kepada temannya hanya karena masalah sepele. Tidak mungkin juga berani melakukan kekerasan terhadap seorang perempuan.

Gambaran output sistem pendidikan dalam Islam bisa kita lihat pada masa Rasulullah, para sahabat, dan generasi setelahnya. Semisal Usamah bin Zaid, di usianya yang masih belia, beliau sudah begitu mantap untuk turut berjihad. Bahkan Rasulullah SAW menunjuknya sebagai panglima perang.

Siapa yang tak kenal Muhammad al Fatih, di usianya yang baru menginjak 20an, ia sudah menjadi pemimpin negara adidaya. Ia disegani lawan dikarenakan kematangannya dalam menentukan strategi politik dan perang, serta penguasaan beliau terhadap 7 bahasa.

Karena itu, ia mampu menaklukkan Konstantinopel, sebuah kekuasaan yang memiliki benteng terkuat, yang tidak pernah bisa diruntuhkan selama berabad-abad lamanya.

Oleh karena itu, sudah semestinya kita mengevaluasi sistem pendidikan hari ini secara komprehensif. Agar tidak ada lagi generasi yang minim nilai ruhiyah, atau generasi yang tidak merasa takut dengan ancaman siksa dari Allah. Sehingga ia berani melakukan kejahatan sebagaimana yang terjadi hari ini.

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi JabarBicara.com


0 Komentar :

    Belum ada komentar.