Membangun Negara di Atas Utang, Sungguh Berbahaya


Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi

JABARBICARA.COM-- Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kondisi saat ini tengah mengalami kritis ekonomi akibat utang yang menggunung, ditambah masih dalam masa penanganan wabah Covid-19 yang belum tuntas. Namun pemerintah berdalih meskipun utang membengkak, akan tetapi keadaan dianggap akan membaik dan tidak mengkhawatirkan. Sungguh mengerikan.

Tercatat di Bank Indonesia (BI), posisi utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 423,1 milliar setara dengan Rp6.008 triliun atau meningkat 3,7 persen secara tahunan (year on year) pada akhir kuartal III 2021.

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono mengatakan, utang tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 2 persen. Hal ini dipicu oleh peningkatan ULN (utang luar negeri) di sektor publik senilai US$ 205,5 milliar dan sektor swasta US$ 208,5 milliar.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economicas and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, kenaikan 0,2 persen secara tahunan didorong oleh geliat ekonomi sektor swasta dari dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19. Artinya swasta mulai menyerap sumber pendanaan dari luar. Dengan alasan tingkat bunganya lebih rendah daripada di dalam negeri. Selain itu, risiko nilai tukar atau perbedaan kenaikan suku bunga menjadi satu alasan bagi swasta dalam menggunakan utang luar negeri untuk pembiayaan. (Tempo.co, 17 November 2021)

Utang luar negeri yang menembus angka lebih dari Rp6.000 triliun, merupakan peringatan akan bahaya yang mengancam Indonesia. Setiap tahunnya pemerintah harus membayar bunga utang dengan utang baru untuk menutupinya. Tentu hal ini akan membawa dampak besar pada APBN untuk membayarnya sekaligus mengorbankan sektor lain. Seperti anggaran pendidikan dan kesehatan, anggarannya semakin turun. Tentu saja jika anggaran ini turun, berdampak besar kepada rakyat. Pendidikan dan kesehatan yang sejatinya kewajiban negara untuk menyediakan sepenuhnya bagi masyarakat, justru diserahkan pengelolaannya pada pihak swasta. Akibatnya, pendidikan dan kesehatan yang diperoleh tidak maksimal. Rakyat tidak semua mampu mengenyam pendidikan secara layak disebabkan biaya yang harus dikeluarkan sangatlah besar. Begitu juga dengan kesehatan, tak semua diberi fasilitas secara optimal dan tidak sedikit yang terabaikan.

Sebanyak 50 persen, utang pemerintah berupa obligasi dan dipegang oleh asing. Tentu saja sangat rawan, sebab hal ini bisa membuat kedaulatan ekonominya menjadi lemah. Juga dapat terpengaruh dengan kondisi ekonomi global. Menurut analis senior Asia, Kaho Yu di Verisk Maplecroft, utang dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Bahkan bisa merampas aset negara, serta memperpanjang kontrak mereka. Fenomena inilah yang disebut diplomasi perangkap utang. Seperti yang terjadi pada negara Sri Lanka, harus menyerahkan pelabuhan strategis ke Beijing pada 2017. Hal ini terjadi ketika Sri Lanka tak mampu melunasi utangnya kepada perusahaan-perusahaan Cina.

Membangun negara dengan utang dampaknya satu per satu aset milik rakyat akan berpeluang lepas kepada lembaga kreditur. Tidak menutup kemungkinan, fundamental ekonomi berbasis utang berpengaruh besar pada kedaulatan negara. Karena setiap lembaga yang memberi bantuan utang, mensyaratkan kebijakan yang harus diambil debitur.

Selain itu, secara politik peminjaman utang merupakan jalan untuk mendikte keputusan yang diambil penguasa. Juga secara ekonomi dan politik, akan dikendalikan oleh negara atau lembaga peminjam utang. Parahnya, negara seperti ini akan terus terpasung dan tergadaikannya kedaulatan negaranya.

Negara-negara kreditur akan terus melanggengkan penjajahannya lewat berbagai kebijakannya. Salah satunya, kebijakan dalam ekonomi yang berbasis utang ribawi untuk membangun negeri. Namun nyatanya, meskipun hal ini menyengsarakan rakyat dan menggadaikan kedaulatan negara, seolah tak ada jalan keluar. Pemerintah terus berdalih bahwa dengan membengkaknya utang kondisi akan segera membaik.

Tentu saja hal ini terjadi karena negeri ini berpegang pada sistem kapitalisme, sekuler, neoliberalisme yang mengusung kebebasan kepemilikan individu dengan cara privatisasi. Akibatnya, penguasaan sumber daya alam dan energi milik rakyat terus terjadi. Semua ini dikuasai pihak swasta, bahkan pihak swasta asing. Keberadaan pemerintah hanya sebagai regulator saja yang menjembatani kepentingan swasta yang bermodal besar.

Pada akhirnya, negeri yang kaya raya ini hanya memperoleh sekian persennya dari sumber daya alam dan energi yang dikelola swasta. Akibatnya pemerintah tak sanggup menutupi berbagai pengeluaran dan justru mencari jalan pintas melalui utang yang mengandung bunga ribawi demi menutupinya. Untuk membayar utang, pemerintah pun demikian sadis dengan mencekik rakyat melalui pajak. Tentu hal ini semakin menambah penderitaan rakyat.

Sungguh, selama negeri ini memegang teguh sistem kapitalis dan menerapkan ekonomi kapitalis, jangan harap perbaikan kondisi ekonomi akan tercapai. Seharusnya jika ingin terwujud ekonomi yang sehat, pemerintah harus membebaskan diri dari bergantung pada negara lain, dan mengelola sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat diatur secara mandiri. Sehingga, negeri ini akan mandiri dan terbebas dari utang ribawi.

Sangat berbeda dengan Islam. Islam memiliki aturan syariat yang sempurna dan paripurna. Mengatur segala urusan manusia dari segala aspek. Baik ekonomi, politik, sosial, pendidikan, keamanan dan lainnya. Dalam upaya menjaga kedaulatan negara, Islam membangun negara berbasis ekonomi yang berpihak pada rakyat. Bukan pada pemilik modal atau pada kepentingan politik penguasa. Juga mewujudkan pembangunan ekonomi berbasis ideologi Islam kafah.

Membangun negeri yang bebas dari utang bukanlah hal yang mustahil. Selama menerapkan sistem ekonomi Islam, dan konsep keuangan negara menggunakan Baitul mal, maka hal ini akan terwujud nyata. Konsep Baitul mal terdiri dari tiga pos besar pemasukan negara. Yakni, pengelolaan aset milik umum, pengelolaan aset negara, dan zakat mal.

Sejumlah pos ini memiliki pemasukan yang besar dan berkelanjutan. Tentu tak akan membebani rakyat dengan pajak. Juga negara tak perlu berutang. Oleh karena itu, dengan menerapkan sistem ekonomi Islam akan membawa kemaslahatan dan keberkahan. Sebab, khalifah (pemimpin dalam negara Islam) di bawah naungan negara Islam menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Khalifah bertanggung jawab mengurus rakyat dan memenuhi seluruh kebutuhannya dan memastikan kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Sumber daya alam dikelola sebaik-baiknya oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Sehingga negara tidak akan mengambil jalan pintas berupa utang ribawi yang justru akan menjerat dan menghancurkan kedaulatan negara.

Islam berpandangan, negara boleh berutang apabila seluruh instrumen pemulihan ekonomi telah dijalankan, namun tidak dalam kondisi sehat. Tapi khalifah tidak akan tunduk dengan syarat utang yang berbasis ribawi. Juga tidak akan mengambil utang dengan pemberian klausal syarat dari negara pendonor. Sehingga tidak akan menjadi negara yang mudah didikte. Sebab, negara hanya akan membayar utang pokoknya saja. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (TQS Al-Baqarah: 279)

Maka dari itu, membangun negara di atas utang, terlebih bersifat ribawi sebagaimana mafhum terjadi di negara berasaskan kapitalisme merupakan suatu kebahayaan. Akibatnya bukan hanya negeri yang tergadai, sumber kekayaan anugerah Allah akan habis terkuras dan dikuasai, juga kesengsaraan rakyat tak akan pernah ada habisnya.

Wallahu a’lam bish shawab. (**)

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi jabarbicara.com

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.