Memberantas Mafia Tanah Tak Cukup dengan Permen


Oleh Ruri Retianty

Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah

Persengketaan lahan yang kerap terjadi hingga saat ini, belum dapat ditangani secara tuntas oleh pemerintah. Banyaknya mafia tanah yang melenggang bebas menguasai dan memanipulasi lahan masyarakat disebabkan aturan yang tidak jelas dan tegas sehingga praktik mafia kerap berulang.

Mirisnya, pelaku mafia tanah tersebut melibatkan beberapa deretan pejabat daerah, seperti kasus Desa Mandalawangi pada tahun lalu. Diberitakan bahwa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar telah menetapkan seorang Kepala Desa (Kades) Mandalawangi Kabupaten Bandung berinisial D sebagai tersangka. D diduga menjual aset milik desa berupa tanah seluas 11.000 meter persegi senilai Rp3,3 miliar.

Tersangka D beserta dua rekannya yang berinisial F dan Y telah berhasil memanipulasi sertifikat tanah warga Desa Mandalawangi dengan cara menukar objek tanah dari tiga buah Akte Jual Beli (AJB) yang berasal dari lokasi tanah persil 16 menjadi tiga buah objek tanah yang berada di lokasi tanah carik persil 12. (Merdeka.com, 29/21/2021)

Kepala Kantor ART/BPN Kabupaten Bandung Julianto melalui Kepala Seksi Pemetaan dan Pengukuran Nurul Huda mengatakan, pemberantasan mafia tanah itu berpedoman pada Peraturan Menteri (Permen) Agraria Nomor 16/2021. Menurutnya, Permen Agraria Nomor 16/2021 tentang Pengendalian dan Pengaturan Pertanahan telah diberlakukan di berbagai kota besar. Salah satu tujuannya agar kantor ATR/BPN Kabupaten Bandung tidak kecolongan ulah para mafia tanah. 

Julianto menambahkan pula bahwa dalam Permen tersebut mengharuskan ada tanda tangan tetangga yang berbatasan sebagai syarat tambahan dalam hal pembuatan sertifikat tanah. Hal ini bisa mempercepat proses penerbitan sertifikat tanah sehingga memudahkan masyarakat. (Inilahkoran.com, 30/08/2022)

Untuk mengatasi terjadinya praktik serupa, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa  pembebasan lahan hingga pemberian sertifikat secara gratis. Namun sampai saat ini kebijakan tersebut belum terealisasi secara riil dan komprehensif, ada dugaan pemerintah kurang serius dalam menanganinya. Selain itu rumitnya administrasi dalam pembuatan sertifikat tanah yang membuat masyarakat kebingungan. 

Di samping faktor di atas, penyebab munculnya mafia tanah karena lemahnya pengaturan dan pengawasan dari instansi terkait. Juga ketidaktegasan aparat penegak hukum dalam menindak kejahatan yang dilakukan para mafia tanah yakni sanksi tegas terhadap para mafia tanah yang membuat mereka jera. 

Faktor lainnya yaitu mengenai regulasi pertanahan terperangkap dalam UU Omnibus law/Ciptaker yang kontroversial, sehingga kasus mafia tanah tidak akan terselesaikan tanpa hukum yang pasti mengenai kepemilikan tanah dan penggunaanya. Ini terjadi akibat RUU pertanahan yang tertunda dari tahun 2019 karena adanya pasal yang dianggap bermasalah, di antaranya RUU tersebut dinilai lebih membela kepentingan para investor  dan membuat posisi rakyat semakin melemah dalam kasus ini. 

Rumitnya persengketaan tanah sampai terjadi disebabkan oleh penerapan sistem di negeri ini. Sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan membuat semua permasalahan muncul dari semua bidang termasuk lahirnya kecurangan dalam kapemilikan lahan/tanah. Negara yang berasaskan kapitalisme sekuler membebaskan kepada siapa saja yang memiliki modal besar untuk mendapatkan apa yang diinginkan meski harus merampas hak publik dan menjadikannya milik pribadi atau swasta.

Lain halnya dengan Islam. 

Dalam Islam tanah hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Sebagai pemilik hakiki Allah Swt. memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelolanya sesuai hukum-hukum-Nya. Adapun hukum pertanahan dalam Islam meliputi hak kepemilikan, pengelolaan, dan pendistribusian tanah. Rasulullah saw. bersabda:

"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air, dan api. " (HR Abu Dawud dan Ahmad) 

Menurut aturan Islam tanah dapat dimiliki dengan enam cara, yaitu melalui: jual beli, waris, hibah, ihya'ul, mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), iqtha (pemberian negara kepada tanah mati). 

Adapun kepemilikan tanah adalah untuk produksi bukan semata kepemilikan, apalagi untuk konsumsi. Kepemilikan tanah tetap ada jika produksi ada, atau hak kepemilikan tanah akan hilang jika produksi tidak terealisasi, ini karena tanah memiliki sifat tetap berproduksi meski tidak ada campur tangan siapapun. 

Dengan demikian kemampuan produksinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan tanah tersebut. Apabila tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut maka negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya. 

Selain itu juga, negara akan mengatur personil pejabat yang layak untuk menjalankan pemerintahan dan administrasi. Adapun jika sampai terjadi kejahatan lahan maka negara akan memberikan hukuman sesuai syari'at yang bisa membuat efek jera para pelakunya, sehingga kasus ini tidak akan terjadi terus menerus. Rasulullah saw. bersabda:

"Barang siapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi." (HR Bukhari) 

Demikianlah Islam memberikan aturan yang komprehensif dalam hal kepemilikan. Aturan yang sempurna yang datang dari yang Maha Sempurna ini tentu berefek pada kemaslahatan umat, dan institusi Islamlah yang akan merealisasikan aturan ini berasaskan akidah Islam bukan asas sekuler dengan UU kufurnya sebagaimana saat ini. Dengan diterapkannya syari'at Islam secara kaffah tentu akan memberikan rasa keadilan dan akan menjamin kesejahteraan seluruh umat manusia. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi Jabarbicara.com


0 Komentar :

    Belum ada komentar.