Mendamba Partai Politik Idealis dan Ideologis


Oleh: Ummu Munib
Ibu Rumah Tangga

Dunia kepartaian kembali kisruh. Berita gonjang-ganjing kekisuhrahannya begitu hangat di media elektronik maupun media sosial. Kasus ini menyeruak ke permukaan setelah digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (05/03/2021). Kongres ini dihadiri sejumlah tokoh Demokrat di antaranya, Marzuki Alie, Hencky Luntungan, Max Sopacua, Darmizal dan Jhoni Allen Marbun. Kongres ini menetapkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat versi KLB. Sontak hal ini membuat DPP Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Ketum Partai Demokrat mengirimkan surat permohonan perlindungan hukum dan pencegahan tindakan inkonstitusional kepada Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, serta Menko Polhukam. Mereka menganggap bahwa KLB Sumut adalah illegal. (news.detik, 7/3/2021)

Masih dari laman yang sama, diberitakan bahwa pemerintah tidak bisa ikut campur melarang atau mendorong adanya kegiatan yang diklaim sebagai KLB PD di Deli Serdang. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. "Sesuai UU 9/98 pemerintah tak bisa melarang atau mendorong kegiatan yang mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deliserdang," kata Mahfud melalui akun Twitter resminya, @mohmahfudmd, seperti dilihat detikcom, Sabtu (06/03/2021).

Dalam alam demokrasi, kekisruhan yang terjadi pada tubuh partai politik adalah hal yang biasa. Kemelut yang dialami Partai Demokrat bukanlah kali pertama. Sebelumnya pernah menimpa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tahun 2000, saat era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Terjadi perebutan PKB oleh Matori Abdul Jalil dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan akhirnya Matori kalah di pengadilan (2003). Begitu juga pada masa SBY (2008) saat ada PKB versi Parung (Gus Dur) dan versi Ancol (Cak Imin). Pemerintah tidak melakukan pelarangan, sebab hal ini dianggap urusan internal parpol.

Betapa miris melihat keberadaan partai politik dalam sistem kapitalisme sekularisme. Mereka terjebak dalam sahwat kekuasaan dan materi. Mantra demokrasi berinti pada kekuasaan dan kedaulatan milik rakyat. Secara otomatis partai akan mengandalkan suara rakyat untuk menang dalam kompetisi pemilu. Tak heran jika musim pemilihan suara tiba, mereka akan berbondong-bondong mendekati rakyat. Hal ini membuat parpol tak jarang demi meraih simpati masyarakat, menggencarkan berbagai aksi pencitraan. Dari mulai mengadakan bantuan sosial hingga panggung hiburan. Bahkan berbagai janji manis diumbar dalam rangka meraup suara rakyat. Padahal setelah berkuasa, mereka lebih memprioritaskan urusan kelompok partainya, khususnya individu kader partai daripada kemaslahatan rakyat.

Selain itu partai politik sekuler berbasis atas ikatan kepentingan. Sebuah ikatan yang sangat rapuh. Mereka akan berserikat jika ada kepentingan. Mereka akan pergi jika kepentingannya telah selesai atau tidak tercapai. Tak heran jika aktivis parpol bergabung memiliki kepentingan menguntungkan dirinya sendiri. Atas ikatan kepentingan inilah maka risiko perpecahan pun tak akan terelakkan. Sebagaimana kisruh yang terjadi pada parpol saat ini. Rasa tidak puas terhadap pemimpin menyebabkan sebuah kubu di dalamnya mengkudeta dan mengangkat pemimpin lainnya.

Demikianlah sistem politik demokrasi. Alih-alih partai politik melaksanakan tugasnya sebagai wakil masyarakat, mengontrol jalannya kekuasaan, fokus melakukan fungsi nasihat dan kritik. Justru mereka malah sibuk dengan kepetingannya masing-masing. Kursi kekuasaan lebih penting dari urusan rakyat. Diperparah dengan konflik pertikaian yang terjadi di dalam tubuh partai itu sendiri. Itulah sejatinya partai politik yang dibangun atas asas manfaat dan memisahkan agama dari aktivitasnya. Hanya menimbulkan kekisruhan di tengah karut marutnya kondisi kehidupan yang kian sulit.

Dalam Islam, keberadaan partai politik bertugas melakukan kontrol dan muhasabah terhadap negara, terutama di dalam negeri, serta kebijakan-kebijakan luar negeri. Ketika kepala negara melakukan penyimpangan-penyimpangan, maka partai politik akan melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa.  Selain itu partai politik Islam bertugas mendidik kesadaran politik umat Islam. Dimana makna politik dalam Islam adalah mengurusi urusan umat bukan kekuasaan semata. Untuk itu, parpol tidak berpihak kepada kepentingan penguasa atau kepentingan rakyat, tetapi ia berdiri untuk melakukan amar makruf nahi mungkar . Jika penguasanya salah, ia akan mengoreksi penguasa, jika rakyat yang salah, maka ia akan mengoreksi rakyatnya.

Selain itu parpol dalam Islam akan berdiri kokoh karena ikatan yang mengikatnya adalah akidah Islam. Tujuan pembentukannya tiada lain dalam rangka ibadah. Allah Swt berfirman:
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (TQS. adz-Dzariat:56)
Dari ayat ini kita yakini bahwa semua makhluk Allah, baik jin dan manusia diciptakan oleh Allah Swt. agar mau mengabdikan diri, taat, tunduk, serta menyembah hanya kepada Allah Swt.  Artinya partai politik Islam juga dalam segala tindakan yang dilakukannya adalah dalam upaya untuk beribadah kepada Allah saja.

Oleh karena itu tidak dapat dinafikan bahwa rakyat butuh partai yang idealis dan ideologis. Partai yang siap melakukan tugasnya sesuai syariat beramar makruf nahi mungkar. Partai yang ikhlas berjuang untuk memperbaiki kondisi dengan Islam. Sesungguhnya hanya Islam saja yang mampu mengatasi semua persoalan termasuk kisruhnya dunia perpolitikan yang terjadi. Dimana Islam lahir dari Sang Khalik bukan sekadar mengatur ibadah ritual semata, melainkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Isi naskah diluar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.