Menggagas Fiqih Ekologi


JABARBICARA.COM--Salah satu "kejumudan intelektual" di dunia Islam kontemporer adalah minimnya elaborasi, miskinnya pisau analisa serta ketiadaan eksplorasi-kreatif atas teks-teks suci (Quran dan Hadits) saat dihadapkan dengan fenomena nyata kehidupan. Alih-alih menjadi solusi, (pengamalan) agama justeru kerap terasing bahkan antiklimaks. Terkadang justeru menjadi kontributor dan bagian dari persoalan-persoalan kemenyejarahan. Jikapun terkait, lebih bersifat "pen-stempel-an" ayat. Justifikasi apologetik.

Sedikit contoh, kaitannya dengan masalah sumber hajat utama manusia: air, pepohonan dan gunung. Di wilayah ini, agama nyaris absen. Kerusakan alam makin menjadi seiring makin ramainya "penjualan" ayat-ayat suci. Lokus-fokus perhatian para pembesar agama, semisal MUI hanya berkutat di urusan perut (sertifikasi halal konsumsi) dan bawah perut (fatwa prilaku seksual) serta diatas perut (keyakinan dan aliran-aliran keagamaan). Nyaris tak menyentuh persoalan hajat universal manusia yang jika berdampak, tentunya bersifat universal pula. Jika selokan mampet, kemudian berkembang nyamuk malaria, saat ia akan menggigit apakah melihat agama apa, suku mana. Tentu tidak.

Ada banyak teks-teks keagamaan yang mensinyalir keharusan berserikat-universal tersebut. Bahkan Al Quran dan Hadits, menyebut langsung, seperti:
"wal jibaala autaada, wa kholaqnaakum azwaajaa" yang artinya, "dan gunung-gunung adalah pasak-pasak, dan Aku jadikan kalian berpasang-pasangan". (Al Quran).

"Annaasu syurokaa_u fi-l maai, wa-n Naari wa-l kalaa_i", yang artinya " manusia (lintas suku agama dan ras) adalah berserikat (saling topang-menopang, bahu-membahu, kuat-menguatkan) dalam (konservasi dan tata kelola) air, api (sumber daya energi gas, minyak, bio energi dll), dan rumput". (Hadits).

Kedua teks suci di atas, sepatutnya menjadi dasar epistemologi dan aksiologi sains kehidupan. Terderivasi mewujud; teori-teori ortho-praxis, pisau analisa, dan jurisprudensi. Dalam istilah agama apa yang disebut dengan "fikih". Maka kemudian, semestinya fikih tak lagi melulu berkutat pada urusan peribadatan (mahdloh) belaka, melainkan meluas meliputi segenap hajat nyata orang banyak. Pada level inilah, "fikih ekologi", "fikih geologi", "fikih agraria", "fikih perburuhan", menemukan konteksnya.

Kedepan, diharapkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI bisa menyentuh pula urusan ekologi dan pertanian. Ada aturan jelas, mana tanah (garapan) yang haram (kawasan larangan), makruh (beresiko cukup besar), dan halal (aman digarap) entah itu untuk pemukiman, pertanian dan atau industri.

Secara historis, leluhur Sunda, dahulu telah melampauinya. Adalah apa yg disebut "patanjala" beserta segenap perangkat sistem dan mekanismenya yang komprehensif-integral, yaitu sistem tata kelola sumber daya air dalam tradisi lama leluhur orang Sunda. Restorasi alam berbasis kebudayaan. Gerakan revolusioner ke-patanjala-an ini, kini telah dan tengah dilakukan dan digalakan oleh anak-anak muda yang peduli lingkungan berbasis kebudayaan (sunda) secara gradual-fasetual-integratif-berkelanjutan berbasis pangauban-pangauban (Daerah Aliran Sungai/DAS). Dan pastinya (tradisi ini) tak akan ditemukan di timur tengah, mengingat kondisi geografis, geolologis dan topografisnya yang nyata berbeda. Jelas, tak akan ditemukan contoh tradisi seren taun di sana, yang umumnya adalah gurun pasir. Lantas, dalam konteks keberagamaan, apakah yang menjadi dasarnya?. Tak lain adalah spirit universalitas dan pesan moral teks-teks suci keagamaan tersebut. Nilai-nilai seperti syukur (akan kudrat pasti tanpa bisa memilih dijadikan sebagai orang Sunda, qonaah (menerima "apa yang ada" serta terhindar dari kerakusan) dan seterusnya yang semestinya menjadi sumber dan dasar laku serta ekspresi keberagamaan kita.

Li kullli ummatin rosuulun. Bagi setiap (komunitas) ummat ada rosulnya. Diutusnya Nabi Muhammad adalah li-t tashdiq. Mengukuhkan keimanan monoteistik (tauhid) yang telah eksis sebelumnya, kemudian dilengkapi dengan syariat (syara) sebagai simbol ketundukan. 'Buhun disuhun syara dibawa', demikian pepatah bijak orang Sunda, yang artinya, mempertahankan tradisi/peninggalan leluhur yang baik dan tidak bertentangan dengan syara. Hal itu selaras dengan kaidah "al muhafadzotu 'ala qodiimi-s shoolih, wa-l akhdzu bi-l jadiidi-l aslakh". Artinya mengkonservasi/mempertahankan hal-hal/nilai-nilai lama yang masih baik, mengadopsi yang baru yang lebih baik.

*Sumber tulisan, Taofiq Alrakhman, pemerhati/aktivis lingkungan berbasis budaya, tinggal di Sukabumi. (Editor : Tisna)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.