MENGHARGAI PROSES PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK


oleh Rizal Trismawan

E-mail : [email protected]

Abstrak

Secara normal anak harus melewati fase khusus dalam pemerolehan bahasa. Fase-fase tersebut dikenal dengan fase tangisan, fase dengkutan, fase celotehan, fase ambiguitas, dan fase periode kreatif. Namun demikian, tidak sedikit para orangtua yang berupaya keras agar anaknya sesegera mungkin menguasai bahasa. Lebih jauh lagi sebagian orangtua ada yang mengkursuskan anaknya sejak dini untuk belajar bahasa asing. Bukankah itu hal yang keliru?

Pendahuluan

Sejak lahir anak diberikan potensi untuk merespon keadaan di sekitarnya. Suara, gerakan, dan sentuhan yang dirasakan akan memberikan stimulus tertentu bagi perkembangan anak. Dalam pemerolehan bahasa, potensi lahiriah yang telah dimiliki anak sesegera mungkin harus diaktifkan melalui proses komunikasi verbal alamiah yang dilakukan langsung oleh orang dewasa disekelilingnya. Permasalahan yang sering muncul dalam pemerolehan bahasa anak yakni adanya ketergesa-gesaan para orangtua supaya buah hatinya cepat bicara dan mampu memaknai maksud bahasa yang diucapkan oleh orang dewasa. Bahkan tidak jarang orangtua yang ‘memaksa’ anaknya menguasai bahasa asing.

Pembahasan

Dalam pemerolehan bahasa secara normal, anak akan melewati beberapa fase. Hal tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Scovel (1998). Menurutnya, ada empat tahapan yang harus dilalui anak dalam proses pemerolehan bahasa. Fase pertama yang harus dilewati seorang anak yakni fase tangisan, terutama anak yang baru lahir. Selain melatih paru-paru bayi, fase ini merupakan fase penting yang akan menentukan perkembangan kemampuan pemerolehan bahasa selanjutnya.

Fase kedua merupakan fase dengkutan dan celotehan. Pada usia 2-8 bulan anak akan mulai menguasai bunyi /a/, /p/, /b/. Kemudian berkembang ketahap pengucapan bunyi suku kata, seperti ‘pa-pa’, ‘ma-ma’. Fase ketiga merupakan pemindahan bahasa anak dari menangis, berkata, menyebrang ke pembentukan frase, anak kalimat dan kalimat, sehingga kata-kata yang diungkapkan cenderung ambigu. Seperti ketika dia menyebutkan kata ‘susu’ yang artinya ‘saya ingin minum susu’. Adapun fase keempat adalah proses kreatifitas berbahasa yang dialami oleh anak usia tiga tahun keatas. Dalam fase ini, anak mulai belajar menggabungkan kalimat untuk mengungkapkan sebuah gagasan.

Tahapan-tahapan tersebut secara alamiah akan dilewati oleh anak normal pada umumnya. Dengan memerhatikan perkembangan pemerolehan bahasa anak seperti dikemukakan diatas, orangtua sebenarnya hanya perlu membekali anak dengan membiasakan berbahasa yang baik, yakni pemakaian kosakata yang sesuai dengan usia anak dan selaras dengan lingkungan sekitar, sehingga kemampuan penguasaan bahasa ibu sebagai bahasa pertama dapat dikuasainya dengan benar.

Secara kodrati mereka sebenarnya sedang memfungsikan otak bagian kiri untuk menerima aneka kosakata baru. Kemudian secara perlahan mereka mulai menguasai dan memaknai aneka kosakata tersebut. Kosakata-kosakata yang mereka simpan dalam memori otaknya, akan menjadi sebuah kompetensi bagi mereka, sehingga pada akhirnya mereka mampu menunjukan performasi (baca: mengucap ulang) untuk menyampaikan gagasanya kepada lawan bicara.

Dengan demikian, memberikan pembelajaran bahasa kedua sejak kecil hanya akan menambah beban kognitif pada jaringan-jaringan bahasa di otak. Disamping mereka harus menerima bahasa dilingkungan sekitarnya, merekapun diberi beban mengenal bahasa asing yang sebenarnya jarang mereka gunakan untuk berkomunikasi. Tentu dirasa sia-sia bukan? Hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan masalah intektual yang berbeda dari anak-anak yang hanya belajar bahasa ibunya. 

Penutup

Proses pembelajaran berbahasa yang dilewati oleh anak tidaklah mudah. Sejak lahir anak telah menjadi pembelajar untuk memperoleh bahasa secara alamiah. Kini saatnya orangtua mulai menghargai proses pemerolehan bahasa pada anak. Kurangilah beban mereka dengan tidak memaksakannya menguasai bahasa asing sejak dini. Tunggulah buah hati kita sampai dikatakan memiliki mental yang matang, yakni usia 12-13 tahun untuk mulai belajar bahasa asing. Wallohu’alam.

(Rizal Trismawan/Budi Firdaus)

Daftar Pustaka

Dardjowidjojo, Soejono. (2005). Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia . Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat. (Tanpa Tahun). Efek Negatif Belajar Bahasa Asing Diusia Dini.  (Daring). Tersedia : dp3akb.jabar.prov.go.id. (1 Agustus 2019)

Juliana, Siti. (2013, Juli) . Artikel : Pemerolehan Bahasa Pada Anak. Kompasiana Beyond Bloging. (Daring). Tersedia : https://www.kompasiana.com. (31 Juli 2019)

Pusat Pendidikan Bahasa Inggris. EF. English First. (2019). Mulai Usia Berapa Terbaik untuk Belajar Bahasa Inggris. (Daring). Tersedia : https://www.ef.co.id. (31 Juli 2019)

Scovel, Thomas. (1998). Psycholinguistics. New York : Oxford University Press.

Profil Penulis

Rizal Trismawan, S.Pd.

1. Kepala SMP Plus Nuruul Mutaqien Cisurupan

2. Mahasiswa Magister PBSI IPI Garut

3. Sekretaris KPPSG (Komunitas Penulis Puisi Sonian Garut) bersama Budi Firdaus.

(JabarBicara/Tg)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.