Mengungkap Kesiapan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Pada Era Revolusi Industri 4.0


(Sebuah Resume Workshop)

Sinta Melani Lusianti

(Guru SMP Plus Nuurul Muttaqiin/ Peserta Workshop)

JABARBICARA.COM:---Tulisan ini terinspirasi setelah saya mengikuti workshop  yang hebat. Tepatnya  hari Kamis (11 / 6 / 2019 ) di SMPN 2 Cikajang bertema ”Pemutakhiran Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada Era Revolusi Industri 4.0”. Diprakarsai oleh para mahasiswa yang sedang melaksanakan program pengalaman lapangan (PPL). Mereka mengemas acara dengan luar biasa! Empat orang pemandu yang hebat-hebat sebagai narasumber. Seorang narasumber seorang profesor, secara akademisi dan keilmuannya sangat membumi yaitu Prof., Dr., Drs., Maman Djauhari, DEA asli asal Garut. Beliau profesor statistik internasional terbaik sekaligus direktur sekolah pascasarjana Institut Pendidikan Indonesia (IPI Garut). Tiga orang narasumber lainnya berasal dari Mahasiswa S-2 IPI Garut yaitu Baren Barnabas, S.Pd. mengusung topik “memaknai literasi dan menggalakkannya di sekolah”,  Lilis Ernawati, S.Pd .,memaparkan “Musikalisasi Puisi”, dan  Budi Firdaus, A,Ma,, S.Pd., tentang “Strategi guru menulis pada era digital”.

Program PPL IPI Garut ini mengusung tema aktual karena era revolusi industri 4.0 sudah di depan mata kita. Hal ini  dikaitkan dengan kesiapan para guru Garut khususnya guru bahasa pada era 4.0 ini. Informasi ini mungkin sangat ditunggu-tunggu oleh para guru.  Hal lain yang mengemuka bertemali workshop tersebut ada dua hal,  yaitu tantangan dan peluang ketika pembelajaran bahasa berhadapan dengan  era informasi ini. Tantangannya berkaitan dengan, sudah siapkah para guru berinovasi dalam dunia internet, atau dunia digital? akankah posisi guru tergantikan dengan derasnya arus informasi? Tidak mungkin! Justru guru yang harus bisa mengendalikan posisi era ini di dalamnya dan terus berinovasi dengan mengedepankan nilai-nilai humanis, karakter serta marwah  nilai leluhur yang mesti kita junjung tinggi sebagai bagian dari “ngamumule” budaya bangsa sendiri. Artinya peran pendidik (guru) pada era digital 4.0 ini harus saling mendukung sebagai pencapaian pendidikan sumber daya manusia yang sesungguhnya.

Sejak pagi hingga sore itu kegiatan tersebut diikuti oleh 90 peserta, enam panitia mahasiswa S-2 yang sedang PPL, seorang guru besar, dosen pembimbing dan kepala  sekolah dan guru SMPN 2 Cikajang selaku tuan rumah. Mereka enerjik dan sangat ramah dalam menyampaikan materinya. Para peserta mengikuti antusias diselingi tampilan musikalisasi puisi siswa SMAN 16 Garut yang kolaborasi dengan mahasiswa S-2 IPI  Garut. Tak sampai disitu, aktivitas peserta workhop mereka apresiasi dengan memberi reward  doorpress menarik yang diberikan. Satu point terpenting dalam workshop tersebut adalah suatu kegiatan yang terbilang sukses.

Di sela-sela workshop seorang dosen pembimbing PPL, Dr. Agus Hamdani, M.Pd. mengemukan Wokshop PPL yang diselenggakan mahasiswanya terbilang sukses karena mereka mempersiapkan acara dengan cukup matang, jumlah peserta cukup banyak karena biasanya hanya diikuti oleh 15-30 orang saja. ” PPL Kelompok 1 Cikajang ini cukup sukses, mereka dapat menghadirkan peserta lebih dari 75 orang. Ini suatu kebanggaan tersendiri bagi kami IPI Garut dan mudah-mudahan bapak, ibu guru peserta yang hadir di sini dapat memetik hikmah dari kegiatan ini”, paparnya. Selain itu, Dr. Agus Hamdani, M.Pd. yang selaku ketua Prodi S-2 PBSI membandingkan  bahwa keberadaan PPL yang diselenggarakan mahasiswa S-1 dengan mahasiswa S-2 sangat berbeda. PPL mahasiswa S-1 mereka akan menimba ilmu dengan melakukan praktik mengajar  pada siswa tetapi PPL yang dilakukan mahasiswa S-2 mereka melakukan pengabdian dan presentasi kepada masyarakat dalam hal ini bapak, ibu guru selaku masyarakat pendidik.

Kunci Sukses di Era 4IR : Nilai Luhur Kultur Leluhur

Topik ini disampaikan oleh guru besar  IPI Garut, Prof., Dr.,Drs., Maman A. Djauhari, DEA. Lulusan ITB dan perguruan tinggi luar negeri. Beliau selaku direktur Sekolah Pascasarjana IPI Garut. Bagi saya, baru pertama kali dapat bertemu dengan beliau. Banyak pelajaran didapatkan baik secara tersurat dari materi yang beliau berikan dan  secara tersirat dari cara beliau menyampaikan. Beliau satu-satunya narasumber yang paling tua diantara peserta dan narasumber lainnya tetapi dari segi penyampaiannya sangat enerjik dan materi yang disampaikannya sarat makna humanis dan nilai leluhur bangsa.

Setelah moderator membacakan curricullum vitea berupa prestasi dan pengalaman prestasi tingkat internasional, maka gilaran pak Profesor menjelaskan topik tersebut. Saat ucapan pertama yang saya dengan dengar. Beliau mengucapkan dalam bahasa Sunda “jadi guru mah tong loba diuk!”  yan berarti ’menjadi guru hindari duduk’, ujar guru besar yang fasih berbahasa Inggris dan Perancis ini sambil keluar dari tempat duduknya. Hati dan perhatian saya langsung tertarik terpusat pada beliau, dengan usia yang mungkin sudah tidak muda lagi jika dibanding dengan narasumber yang lainnya tetapi melihat semangat beliau begitu sangat energic saat bercerita, seolah saya mendapatkan virus kebaikan dan saya cukup antusias dalam mengikutinya setiap detil materi yang dianjurkannya.  

Prof. Maman menyoal kaitan kunci sukses di era 4IR dengan mengharapkan semua guru tetap eksis dan menjaga nilai luhur kultur para leluhur. Prof Maman yang asli putra Garut ini mengemukakan nilai luhur leluluhur itu misalnya leluhur ki Sunda asli berupa empat lima karekter Sunda dengan istilah “cageur”, “bageur”, “bener”, “singer”, “pinter”, yang dalam Bahasa Indonesia secara berurutan memiliki arti “sehat”, “baik”, “benar”, “mawas diri”, “pandai/cerdas”. Lima kata sifat tersebut dari yang pernah diceritakan sejak dulu sampai sekarang termasuk karakter utama bangsa Sunda. Diceritakan oleh beliau bahwa masyarakat Sunda ialah teladan utama bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, walaupun zaman sudah berubah, sudah memasuki era 4.0 bahkan menghadapi era 5.0 tetapi kita jangan melupakan sejarah kultur dan karakter bangsa yang sudah dimilikinya karena dengan mengenal sejarah kita akan mengenal jati diri bangsa juga nilai-nilai leluhur tersebut akan dibawa sampai kapanpun walaupun sosial masyarakat berubah. Benar apa yang dikatakan Bung Karno, “Jasmerah, jangan melupakan sejarah”. Prof. Menyarankan kepada semua para guru, “Tolong  lima menit sebelum mengajar infakkan ilmumu kepada muridmu untuk bercerita sejarah, kenalkan kepada muridmu tentang sejarah!”, sarannya. Teknisnya misalnya sejarah bangsa, bercerita, berkawih yang sarat makna kebaikan, karakter para leluhur yang sudah dimiliki ki Sunda sejak dulu jauh sebelum program pendidikan penguatan karakter digulirkan Ki Sunda sudah melaksanakan karakter itu. Makanya hendaknya kita “ngamumule”nya.   

Paparan selanjutnya Prof., mengenalkan perkembangan revolusi industri mulai 1.0 hingga 4.0 bahkan 5.0.  Revolusi industri 1.0 berlangsung pada : 1750 – 1850. ditandai dengan tenaga manusia digantikan oleh kehadiran mesin uap.  Revolusi Industri ini melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan digantikan oleh kehadiran mesin. Pada revolusi Industri 2.0, berlangsung pada akhir abad ke-19  hingga awal abad ke-20 yang ditandai berkembangnya industrialisasi dan ilmu pengetahuan, pembagian kerja, produksi massal. dikenal sebagai Revolusi Teknologi yang merupakan suatu fase berkembang pesatnya industrialisasi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kemudian Revolusi 3.0 berlangsung pada akhir abad 20 yang ditandai kemunculan internet dan teknologi digital. Sedangkan pada revolusi industri 4.0 menanamkan teknologi cerdas yang dapat terhubung dengan berbagai bidang kehidupan manusia. Internet dan sistem informasi yang ditandai dengan Internet of Things, Big Data, Artificial Intelligence, Human Machine Interface, Robotic and Sensor Technology, 3D Printing Technology. Nah, inilah namanya perubahan zaman.

Lalu beliau bertanya, Apabila sistem pendidikan kita sudah siap menjawab perubahan tantangan industri ke-4 dan menghadapi industri 5.0? Jawabannya sektor pendidikanlah harus membangun masyarakat humanis. Membangun humanis manusia salah satunya ada pada nilai leluhur yang dimiliki pada masayarakat kita karena nilai humanis membangun pikirannya, tubuhnya, emosionalnya, serta jiwa atau spiritnya. “cageur”, “bageur”, “bener”, “singer”, “pinter”. Semua itu dapat dilalui melalui pelajaran ilmu pengetahuan dan bahasa.  Misalnya pada pikiran, kita didik pikirannya melalui kegiatan ilmu pengetahuan melalui pelajaran matematika, olahraga, seni, dan etika. Begitupun pikiran peserta didik kita bangun dengan membangun keterampilan berbahasanya.

Paparan terakhir beliau mengungkapkan apa yang terjadi di negara kita dengan negara-negara tetangga kita. Beliau selama ini negara kita ada istilah “kemacetan intelektual”. Dari paparan tersebut tersirat negara kita kalah dengan negara-negara maju termasuk negara tetangga kita sebut saja Malaysia dan Singapura. Khusus mengenai paparan ini, saya tertarik untuk mengungkap perihal “kemacetan intelektual” yang dimaksud. Kalau boleh bertanya saya ajukan tiga pertanyaan mengenai hal tersebut yaitu; Pertama, apa yang membuat negara kita mengalami kemacetan intelektual? Kedua, bagaimana supaya negara kita tidak terpuruk dengan kemacetan intelektual? Dan ketiga, upaya apa yang harus digalakan supaya kita mau bisa bangkit dari kemacetan intelektual?  Nah, tiga pertanyaan tentunya Insya Alloh akan kita ungkap pada tulisan berikutnya.

Memaknai Literasi dan Menggalakkannya di Sekolah

Topik ini dipaparkan oleh Baren Barnabas, S.Pd. Beliau seorang guru SMPN 2 Cikajang. Beliau termasuk guru yang sarat dengan berbagai prestasi sebagai guru. Diantaranya pernah menjadi guru SMP berprestasi, unggul dalam kegiatan Olimpiade Guru Nasional (OGN) untuk mapel Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang beliau tercatat sebagai mahasiswa S-2 IPI Garut yang mengetuai acara workshop tersebut.

Fokus terpenting yang diungkapkan oleh Baren adalah konsep literasi dan teknik menggalakkan atau menerapkan literasi di sekolah-sekolah. Beliau mengutip program liteasi bahwa literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa. Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah adalah sebuah gerakan dalam upaya menumbuhkan budi pekerti siswa yang bertujuan agar siswa memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat.

Dalam paparannya ada point penting yang harus digalakkan literasi di sekolah pada tiga tahap literasi di sekolah. Tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap pembelajaran.

Tahap pertama, tahap pembiasaan, dengan kegiatan membaca lima belas menit dilakukan setiap hari. Tujuan pokok tahap pertama ini penumbuhan minat baca peserta didik.Kegiatan bertanya tentang isi buku bisa dilakukan sesekali, misalnya: 2–3 minggu sekali. Selain itu, sifatnya opsional dan tanpa paksaan. Meskipun begitu, guru bisa memberikan apresiasi bila peserta didik mau menjawab pertanyaan guru.

Tahap kedua, tahap pengembangan, guru bisa menggunakan tabel atau peta cerita sebagai kegiatan tindak lanjut. Semua peserta didik didorong untuk menuliskan ringkasan cerita/buku dan respon mereka di dalam peta cerita/buku. Dalam tahap ini, Mari Bertanya tentang Buku adalah tanpa penilaian akademik tetapi tetap memberikan apresiasi misalnya buku atau cerita yang sudah diisi bisa ditempelkan di dinding kelas dihargai atau peserta didik untuk dapat bercerita di depan kelas terhadap apa yang telah dibacanya. Peserta didik harus menerima apresiasi verbal terhadap apa yang telah dilakukannya, misalnya bagus, baik, super, kamu hebat!.

Selanjut tahap ketiga, yaitu tahap pembelajaran, peserta didik mulai terbiasa dengan rutinitas kegiatan membaca lima belas menit selama kurun waktu tertentu. Diskusi tentang isi buku juga sudah sering dilakukan di kelas. Dengan kata lain, peserta didik sudah memiliki persepsi membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan.Dengan demikian, daftar pertanyaan dan peta cerita/buku bisa dikembangkan menjadi bagian pembelajaran bahasa dan menjadi tagihan akademik yang dimasukkan ke dalam daftar nilai peserta didik.

Musikalisasi Puisi

Topik musikalisasi puisi ini dipandu oleh Narasumber seorang mahasiswa S-2 IPI Garut yaitu Lilis Ernawati, S.Pd. Beliau guru MA pada salah satu SLTA di Bayongbong. Dengan sigap bersahaja ramah beliau memaparkanya tentang musikalisasi puisi yang merupakan salah satu alternatif bahan ajar apresiasi sastra di sekolah. Musikalisasi Puisi merupakan teknik pembacaan puisi dengan iringan musik atau pemberian titinada atau tangga nada pada baris-baris puisi sehingga puisi tersebut dapat dinyanyikan. Dua teknis dalam musikalisasi puisi pertama syair puisi dibacakan lalu diiringi latar musik yang sesuai dengan tempo variasi pembacaannya. Yang kedua, syair puisi tersebut diberi nada lalu dilagukan dengan iringan musik tertentu atau melalui mendendangkannya berirama naskahnya sarat dengan makna puisi.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam musikalisasi puisi antara lain: pertama. Penghayatan, yaitu pemahaman isi puisi yang akan dimusikalisas, kedua, Vokal yang meliputi kejelasan ucapan, jeda, kelancaran, ketahanan. Dan ketiga tentang Penampilan yakni dengan gerakan-gerakan yang wajar, tidak dibuatbuat, sesuai dengan penghayatan isi puisi yang dibawakan. metode musikalisasi puisi.

Lilis menampilkan praktik musikalisasi puisi tentang kecintaan terhadap sang ibu dengan latar musik “Bunda” karya Melly Goeslow serta puisi Aku Chairil Anwar. Penampilan tersebut kolaborasi mahasiswa dengan peserta didik SMAN 16 Garut yang merupakan salah satu peserta didik asuhan Isoh Solihah, S.Pd. (ibu guru sekaligus mahasiswa PPL tesebut). 

Strategi Guru Menulis pada Era Digital.

Topik ini mengungkap bagaimana guru menulis dipandu narasumber dari mahasiswa S-2 IPI Garut  yaitu Budi Firdaus, A.Ma.,S.Pd. Narasumber yang satu ini, saya kenal ini adalah seorang kepala sekolah sekolah di Kec. Cisurupan. Beliau termasuk aktivis organisasi guru (PGRI) dan aktivitas tambahannya penulis di beberapa majalah pendidikan. Rasanya sangat cocok beliau memandu topik tersebut.

Pada paparan awalnya beliau mengungkapkan pentingnya guru menulis pada era digital karena menurutnya kecakapan abad 21 ini menuntut untuk menulis berbagai hal sesuai tupoksinya apalagi guru. Sebenarnya guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia merupakan “garda terdepan” dalam program literasi karena secara keilmuan mereka sudah dibekali teori menulis sebagai bagian mata kuliah yang diampunya. ”Tinggal ada kemauan yang tinggi dari diri para guru untuk memulainya, jangan takut salah, menulislah dari sekarang!” tegasnya.

Budi Firdaus membidik kecakapan abad 21 yang dikemas menjadi tiga pokok yang mesti diketahui semua pihak meliputi (1) kualitas karakter, (2) kemampuan dasar berbahasa, dan (3) kemampuan abad 21 (21 st Century Skills).

Tiga domain  abad 21 tersebut yang mesti ditumbuhminatkan pada diri peserta didik oleh guru sesuai mapel yang diampunya. Pertama masalah kualitas karakter, dewasa ini karakter anak bangsa mulai merosot misalnya tercorengnya generasi muda dengan karakter mencontek, mencuri, narkoba, tidak taat, kenakalan remaja dan sebagainya. Maka melalui program pemerintah mencanangkan Pendidikan Penguatan Karakter (PPK) meliputi karakter yang akan dibangun diantaranya dengan istilah re-na-man-go-in (religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas). Kedua, masalah kemampuan dasar berbahasa (literasi) diarahkan pada literasi baca tulis, sains, digital, finansial, budaya. Ketiga, kemampuan abad 21 yaitu dengan istilah 4K (berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan komunikasi)

Itulah kemampuan-kemampuan dewasa ini yang sedang digalakkan pada berbagai sektor termasuk pendidikan. Guru sudah saatnya ikut andil dalam menulis. Tidak bisa dipungkiri bahwa aktivitas menulis merupakan bentuk manifestasi kompetensi berbahasa paling akhir dikuasai pembelajar bahasa setelah kompetensi menyimak, berbicara dan membaca. Dibandingkan ketiga kompetensi bahasa tersebut, kompetensi menulis dapat dikatakan lebih sulit untuk dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun.

Hal ini disebabkan karena kompetensi menulis menghendaki penguasaaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi dari tulisan. Baik unsur bahasa maupun unsur isi pesan harus terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan tulisan yang runtut, padu dan berisi.

Dalam paparan tersebut, beliau menginspirasi kepada semua guru dengan teknis-teknis mendatangkan topik untuk menulis lalu membangun dan memelihara ide topik tersebut menjadi sebuah tulisan yang berharga bagi dirinya maupun bagi orang lain. Satu hal yang membuat saya terinspirasi beliau mengenalkan peluang guru menulis pada berbagai media baik cetak maupun online. Beliau mengajak guru mencoba untuk menulis di media cetak atau online. Dari paparan narasumber tersebut kami termotivasi untuk memberanikan diri mengirim tulisan ini ke media ini dan ini bagian dari tugas atau karya nyata hasil workshop guru yang  luar biasa tersebut.

Melalui tulisan ini saya ucapkan terima kasih, semoga bapak ibu narasumber dan seluruh panitia diberi pahala oleh Alloh subhanawataala atas ilmunya dan kebaikannya. Terkhusus saya apresiasi dan penghargaan setinggi-tinggi kepada yang terhormat seluruh panitia:  Budi Firdaus, Baren Barnabas, Lilis Ernawati, Misbah Muhibudi, Dina Risvika (kelompok PPL  Cikajang), civitas akademika Institut Pendidikan Indonesia (IPI Garut) termasuk tuan rumah warga SMPN 2 Cikajang.  Jazakallah khairan!

(Sinta Melani Lusianti/ Budi Firdaus)

IDENTITAS PENULIS

Nama     : SINTA MELANI LUSIANTI

TTL        : Garut, 20 Mei 1993

Alamat  : Kp. Desakolot Ds. Cigedug Kec Cigedug

Tugas     : SMP Plus Nuurul Muttaqiin

            : SMP IT Almuawanah Cigedug

Motto    : Melakukan Perjalanan Menuju Alloh

                 (Semangat ikhtiar, kerja terus kerja dan pasrah)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.