Menteri Muda: Bahaya dan Harapan


Oleh : Yandi Hermawandi

Direktur Nation State Institute Indonesia (NASI Indonesia)

JABARBICARA.COM:--- Tulisan ini akan menganalisis layak tidaknya kaum muda menjadi menteri di kabinet Jokowi Jilid 2. Jika mengamati pernyataan di media massa, memang tidak secara spesifik presiden Jokowi mengatakan batasan usia muda yang akan dipilihnya menjadi menteri kelak. Akan tetapi, dia sudah menyatakan dengan tegas bahwa di kabinet pemerintahannya yang kedua akan menempatkan menteri dari kalangan muda. Sayangnya Jokowi tidak berbicara secara spesifik rentang usia muda yang dimaksudnya.

Tulisan ini akan menganalisis usia muda antara 20-40 tahun. Apakah anak muda di rentang usia seperti ini sudah layak memimpin sebuah lembaga kementerian?

Indonesia sendiri sebenarnya memiliki kultur yang khas mengenai pemimpin muda. Di Indonesia, sejak awal banyak anak muda yang menjadi pemimpin negara sekelas menteri. Bahkan di atas level menteri pun pernah terjadi dan seolah telah menjadi kultur khas bangsa ini. Sejak era pergerakan kemerdekaan (zaman bergerak) hingga era reformasi, mesin lokomotif bangsa ini adalah anak-anak muda.

Di era pergerakan kemerdekaan, bangsa Indonesia familiar dengan peristiwa dan keorganisasian pemuda yang penting. Sebutlah diantaranya: Sumpah Pemuda 1928, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Islamiten Bond, yang kesemuanya ini terafiliasi denga perhimpunan anak-anak muda pada masanya.

Pada era paska kemerdekaan awal pun demikian, hanya menyebut beberapa saja mereka adalah para pejabat tinggi negara yang berada di usia 30-an dan 40-an seperti Perdana Menteri Pertama Soetan Sjahrir (38), Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (34), dan menteri penerangan (menkominfo) Mohammad Natsir (38).

Demikian menariknya peran kepemimpinan muda bangsa ini bahkan salah satu majalah dari Amerika Serikat, LIFE, edisi tahun 1950-an pernah mengulas kepemimpinan anak muda bangsa Indonesia, dan salah satu tulisannya diberi judul: “Young Men Are Both the Peril and The Hope” “Orang Muda: Bahaya dan Harapan”. Pada kali ini saya sedikit mengubah judul tersebut menjadi “Menteri Muda: Bahaya dan Harapan”.

Bahaya Menteri Muda

Apa bahayanya para menteri muda ini jika Jokowi benar menunjuk mereka?

Pertama, menteri muda akan dinilai kurang kompeten karena kurangnya pengalaman. Jangan sampai cita-cita besar dan visi untuk menjadi pemimpin yang bersih dan efektif kemudian terhalang para oknum yang ada di birokrasi. Sebenarnya tantangan kurangnya pengalaman ini tidak hanya berlaku bagi para menteri muda usia, bagi menteri lain pun sebenarnya ini terjadi. Sebab seorang menteri tidak disyaratkan harus dari pejabat eselon I yang berkarier dari birokrasi yang dipimpinnya. Mengenai hal ini, perlu diyakinkan bahwa menteri adalah jabatan politis yang bisa dipelajari oleh siapapun.

Celoteh presiden Gus Dur kepada Mahfud MD bisa dijadikan renungan. Gus Dur yang meminta Mahfud untuk mengisi jabatan menteri pertahanan ketika itu ternyata awalnya ditolak oleh Mahfud. Sebab menurut Mahfud dirinya lebih cocok di jabatan yang lain seperti menteri sekretaris negara atau menteri hukum dan HAM. Mahfud merasa tidak memiliki pengalaman jika harus mengisi jabatan menteri pertahanan. Gus Dur lalu merespons Mahfud dengan pernyataan seperti ini kurang lebih: Saya saja menjadi presiden tidak ada pengalaman jadi presiden, anda menjadi menteri pertahanan pun tidak usah memiliki pengalaman terkait dengan jabatan itu.

Kedua, Menghadapi dominasi kelompok koruptor yang berpengalaman di pemerintahan (birokrasi) adalah tantangan utama para pemimpin muda ini. Lagi-lagi sebenarnya inipun bukan hanya tantangan para menteri muda. Para menteri yang berasal dari para elite partai politik pun tidak mudah menghadapi persoalan korupsi  birokrasi ini. Sekedar mengingatkan saja (jika tulisan ini dibaca oleh para calon menteri muda), para menteri yanng terjerat kasus korupsi adalah mereka para pemimpin puncak partai politik.

Dengan melihat persoalan-persoalan di atas, maka para menteri muda ini tetap membutuhkan penasihat-penasihat politik dan birokrasi berpengalaman dalam tim kerjanya kelak. Penting disadari disini bahwa kerja menteri bukan kerja single fighter atau one man show. Para menteri muda harusnya sadar bahwa kerja menteri adalah kerja teamwork.

Ikon Perubahan dan Regenerasi Elite

Apa harapan-harapan yang dapat diberikan kaum muda sebagai menteri? Pertama, sebagai ikon kesiapan pemerintah dalam menghadapi perubahan cepat dunia akibat revolusi industri 4.0. Dalam debat capres lalu Jokowi sangat antusias menyampaikan visi misi pemerintahan yang terkait dengan revolusi industri 4.0.

Diantara visi misinya terkait revolusi tersebut, Pemerintahan Digital dan Melayani (Pemerintahan Dilan) adalah satu konsep yang diusung Jokowi jika terpilih jadi presiden kedua kalinya. Saya pikir untuk menjalankan visi misinya terkait dengan reolusi industri 4.0 ini Jokowi butuh ikon dari kaum muda. Alasannya sederhana, kalangan muda (milenial) adalah kalangan yang paling dekat dengan dunia digital. Sebagai salah satu konsumen internet terbesar di dunia, para pengguna internet utama di Indonesia adalah kaum muda.

Kedua, simbol regenerasi elite politik bangsa dan negara. Kepemimpinan butuh kontinuitas. Seperti lari panjang marathon, kaum muda ini harus diberikan amanat untuk memegang tongkat-tongkat marathon kepemimpinan. Simbol regenerasi elite politik ini juga bisa menghindari kejenuhan pemimpin (leader saturation) dalam pemilihan umum. Di masa mendatang, para konstituen tentu saja jenuh  karena hanya bisa memilih calon-calon pemimpin yang itu-itu saja atau lu lagi-lu lagi.

Baiklah untuk menutup tulisan ini, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah presiden Jokowi benar akan memilih menteri dari kalangan muda usia? Semuanya hak prerogatif presiden.

(Yandi Hermawandi/JB)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.