Menyoal Petani Milenial dan Wacana Ketahanan Pangan


Oleh: N. Vera Khairunnisa

Kalau anak-anak ditanya sudah besar mau jadi apa, maka jawaban beragam pun muncul. Ada yang ingin menjadi dokter, insinyur, guru, dan sederet profesi lain yang mungkin dianggap lebih menjanjikan kesejahteraan. Bahkan hari ini, tidak sedikit anak yang bercita-cita jadi youtuber.

Namun, adakah di antara anak-anak yang bercita-cita jadi petani? Kalau saya sendiri belum pernah mendengar. Mengapa menjadi petani tidak diminati? Mungkin saja, hal ini disebabkan karena selama ini profesi sebagai petani dianggap tidak bergengsi dan identik dengan kemiskinan.

Ketika menjadi petani tak lagi diminati, maka proses regenerasi menjadi tantangan tersendiri. Anak-anak muda di pedesaan pun lebih memilih ke kota, mencari profesi yang lebih memberikan keuntungan.

Itulah barangkali yang menjadi latar belakang Pemerintah Jabar mengeluarkan sebuah program Petani Milenial. Program ini akan membantu lahirnya regenerasi petani. Gubernur Jawa Barat menargetkan sebanyak 100 ribu orang mengikuti program Petani Milenial hingga akhir jabatannya pada 2023.

"Target saya sebetulnya di atas 100 ribu petani baru. Sekarang baru 8.600-an petani yang daftar program Petani Milenial," kata Emil di sela peresmian kick off program Petani Milenial di Desa Suntenjaya, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (26/3).

Melalui program ini, ia berharap pengangguran dapat berkurang, dapat memperkuat ketahanan pangan di Jabar dan untuk menekan urbanisasi. (cnnindonesia. com, 27/03/21)

Untuk merealisasikan program Petani Milenial, ada tiga hal yang sudah disiapkan Pemda. Pertama, lahan garapan yang bakal digunakan. Kedua, dalam akses permodalan pihak pemda sudah bekerja sama dengan BUMD perbankan milik Jawa Barat. Ketiga, difasilitasi kemudahan pemasaran produk usaha taninya melalui Tani Hub.

Sekilas tawaran tersebut menggiurkan dan memberi harapan baru bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan modal. Bahkan Gubernur Jabar menggencarkan kampanye 'Tinggal di Desa, Rezeki Kota, Bisnis Mendunia' untuk manggaet para milenial agar tertarik ikut program tersebut.

Hanya saja, yang menjadi pertanyaan krusial adalah, benarkah program tersebut akan menjadi solusi bagi "ketahanan pangan"?

Sebelum menjawab itu, ada baiknya kita memahami apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan. Menurut Prof. Fahmi Amhar, ketahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tetapi juga berbagai hal lainnya. Maka muncullah istilah “ketahanan pangan”, “ketahanan energi”, “ketahanan sarana kesehatan dan obat-obatan”, dll.

Masih menurutnya, sebuah perang lambat atau cepat akan menggoyang ketahanan suatu negara. Namun untuk membuat sebuah negara tenggelam, tidak harus ada perang. Kalau semisal ketahanan pangan hancur, di negara itu pangan langka, muncul bencana kelaparan yang meluas dan berkepanjangan, maka negara itu bisa ditinggalkan penduduknya mengungsi, atau ada kematian massal, atau negara itu akhirnya terpaksa mengemis bantuan kepada negara lain dengan segenap konsekuensinya.

Di sisi lain, suatu negara dengan keunggulan militer adidaya, belum tentu akan memenangkan peperangan tatkala ketahanan pangan di sana sudah menipis. Bagi seorang prajurit yang kelaparan, sepucuk senjata canggih tidak ada gunanya. Bahkan bisa jadi senjata itu justru akan ditukar dengan sebungkus nasi. (mercusuar, mediaumat. com)

Maka untuk membangun sebuah negara yang kuat, di antara faktor penting yang harus mendapat perhatian dari para pemilik kebijakan adalah mewujudkan ketahanan pangan. Namun pada kenyataannya, ketahanan pangan di negeri agraris ini kerap kali berada dalam kondisi tidak aman. Mengapa demikian?

  1. Masalah Penurunan Produktivitas Tanah

Tentu saja, problem ini muncul bukan hanya karena masyarakat enggan bertani. Namun akibat dari akumulasi kebijakan yang cenderung merugikan para petani.

Sebagai gambaran, dengan dalih mendongkrak investasi, ada pihak yang memberi izin alih fungsi tanah pertanian menjadi pemukiman, pembangunan jalan, kawasan industri, dan lain-lain. Padahal, alih fungsi lahan tersebut dilakukan di area lahan produktif.

Proses itu pun tidak dibarengi pembukaan lahan pertanian baru, sehingga lahan pertanian produktif mengalami penyusutan. Wakil Gubernur Jawa Barat (Jabar) menilai, lahan pertanian di wilayahnya mengalami penyempitan dari tahun ke tahun. Bahkan, ia menyebut ada sekitar 10 persen lahan pertanian yang hilang per tahunnya dalam beberapa tahun terakhir. (republika. co. id, 2019)

Di sisi lain, biaya produksi yang mahal sedangkan penjualan hasil produksi murah menyebabkan para petani pasrah, jika ada pemborong yang membeli lahan garapannya.

  1. Adanya Kebijakan Impor Pangan

Kebijakan impor pangan yang senantiasa dilakukan setiap tahun, jelas akan merugikan petani lokal. Seperti yang terjadi baru-baru ini, munculnya rencana kebijakan impor beras di saat stok beras dalam negeri melimpah. Meski akhirnya rencana itu ditunda, namun kegiatan impor rutin tahun-tahun sebelumnya jelas merugikan.

Termasuk impor kedelai yang sudah dilakukan puluhan tahun, ini pun menjadi problem tersendiri. Terbukti ketika harga kedelai global naik, maka tahu tempe yang sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Indonesia pun turut naik.

  1. Distribusi yang Buruk

Selama ini, yang menjadi perhatian sebagian pihak selalu fokus pada ketersediaan atau stok. Sementara itu, masalah distribusi pangan cenderung diabaikan. Sehingga sebanyak apapun stok beras yang tersedia, tidak mampu menjamin adanya ketahanan pangan.

Hal ini terjadi karena harga menjadi satu-satunya unsur pengendali distribusi. Artinya, siapa pun yang ingin mendapat bahan makanan, maka tidak ada mekanisme lain selain harus membeli. Kalau dia tidak mampu membeli, maka dia tidak berhak mendapatkan bahan pangan tersebut.

Itulah yang terjadi dalam negara yang cenderung kapitalistik. Dalam pandangan kapitalis, pemerintah hanya sekadar regulator yang memfasilitasi para pemilik modal untuk mencapai kepentingan mereka, yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dengan berbagai faktor penyebab di atas, maka masalah ketahanan pangan ini menjadi hal yang sulit diwujudkan. Karena itu selama masalah tadi belum diselesaikan maka program apapun tidak akan bisa mewujudkan ketahanan pangan, termasuk progam petani millenial yang bersifat solusi parsial.

Solusi Islam Menjaga Ketahanan Pangan

Sebagai sebuah agama yang diturunkan Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, maka Islam punya solusi semua permasalahan dalam kehidupan. Sejak Rasulullah Saw. membangun negara di Madinah diteruskan oleh para sahabat Rasulullah Saw. dan umat Islam setelahnya, Islam mampu merealisasikan ketahanan pangan yang tidak ada bandingannya dengan negara mana pun. Hingga akhirnya bangunan itu roboh pada tahun 1924 M.

Sejak itu, berbagai problem tak berkesudahan terus melanda kaum Muslim, termasuk problem pangan. Umat Islam menjadi sulit maju ketika setiap harinya hanya berpikir, "besok makan sama apa?" Atau yang lebih parah, "adakah makanan untuk besok"?

Para ibu yang seharusnya fokus mendidik anak-anak, banyak terkuras pikirannya hanya untuk mengatur keuangan agar semua anggota keluarga tidak kelaparan. Maka, sudah semestinya kita mengembalikan solusi masalah pangan ini sesuai dengan aturan Islam.

Lantas apa solusi yang diberikan Islam untuk menjaga ketahanan pangan ini?

Pertama, kebijakan meningkatkan produksi pertanian. Petani akan diberikan berbagai bantuan dan fasilitas dalam berbagai bentuk, mulai dari pemberian modal, mensubsidi saprodi, memberi fasilitas riset, teknik budi daya, dll.

Selain itu, pemerintah akan meningkatkan luas lahan pertanian yang diolah. Di antaranya negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yanh diperoleh dengan jalan menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat) dan pemagaran (tahjir).

Rasulullah Saw, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin Khaththab telah bersabda (artinya), “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya”. [HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud].

Kedua, menghentikan segala bentuk impor pangan. Tidak seperti hari ini, dimana menjadikan impor pangan sebagai agenda tahunan, sehingga kerapkali menimbulkan kegaduhan. Menggantungkan kebutuhan pangan pada negara lain merupakan bentuk kelemahan sebuah negara.

Dalam Islam, impor pangan tidak akan terjadi sebab ketergantungan impor, terlebih lagi impor pangan akan mengancam kemandirian suatu negara.

Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan itu, stabilitas harga pangan akan terjaga. Selain itu, negara akan memastikan tidak adanya kelangkaan barang, sebab mengharamkan penimbunan.

Kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan melihat setiap kebutuhan pangan per kepala. Dengan begitu, akan diketahui berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara untuk setiap keluarga.

Dengan serangkaian mekanisne yang ditawarkan di atas, kemandirian pangan akan terwujud. Namun, jika kita tetap mengambil ideologi kapitalisme sebagai kebijakan pangan negara, kemandirian pangan kiranya hanya sebuah angan-angan.

Wallahua'lam (***/Jb)

Isi tulisan diluar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.