Menyoal RUU HIP, 'Dalam UUD '45 tidak dikenal sila ketiga ‘Ketuhanan Yang Berkebudayaan’, Menurut Mulyanto; GP Ansor Menyebut , ada Beberapa Kejanggalan


JABARBICARA.COM-- DPR diminta untuk melakukan kajian mendalam dan tidak terburu-buru terkait pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). RUU yang kini menjadi polemik di publik ini dinilai banyak kejanggalan oleh beberapa pihak.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR bersikukuh untuk memasukkan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, menjadi landasan RUU HIP.

“Fraksi PKS tidak ingin jadi bagian dari lahirnya undang-undang haluan ideologi negara yang menyempitkan Pancasila menjadi Trisila, atau bahkan Ekasila,” ujar anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PKS Mulyanto saat dihubungi, Rabu (10/6).

RUU HIP tersebut telah disahkan menjadi RUU usulan dari DPR dalam rapat paripurna pertengahan Mei 2020. Serta masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024.

Menurut Mulyanto, hal tersebut tidak sesuai dengan Pancasila yang sah. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam UUD tahun 1945 tidak dikenal sila ketiga ‘Ketuhanan Yang Berkebudayaan’. Tetapi, sila pertama yang merupakan ruh dari sila-sila lainnya dari Pancasila, yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

“Secara prinsip PKS berupaya agar TAP MPRS XXV/1966 itu dimasukan kedalam konsideran mengingat dalam RUU HIP,” ujar Mulyanto.

Mulyanto menyebut, saat ini Fraksi PKS sedang menjalin komunikasi dengan fraksi partai lain di DPR untuk memasukkan TAP MPRS XXV/1966 sebagai konsideran mengingat dalam RUU HIP. Khususnya partai dengan basis Islam.

“Untuk bersama-sama menghadirkan ruh sebenarnya dari idiologi Pancasila aitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan menolak ajaran-ajaran ideologi lain yang menentang keberadaan Tuhan,” ujar Wakil Ketua Fraksi PKS DPR itu.

Sementara itu, Anggota Baleg Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron menilai, RUU HIP merupakan RUU yang sangat fundamental dan mendasar bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, fraksinya mengusulkan agar TAP MPRS XXV/1966 dimasukkan sebagai konsideran mengingat dalam RUU HIP.

“Kami suarakan itu, bahwa konsideran RUU ini harus merujuk pada TAP MPRS XXV/MPRS/1966,” ujar Herman lewat pesan singkat.

Pembahasan RUU HIP ini juga diminta tak dibahas secara terburu-buru dan harus dikaji secara mendalam. Apalagi, pandemi virus Covid-19 di Indonesia belum reda. Bahkan, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Edhie Baskoro Yudhoyono telah mengeluarkan instruksi untuk menarik anggotanya dari panitia kerja (Panja) RUU HIP. Langkah itu, menurutnya didasari berbagai pertimbangan termasuk banyaknya aspirasi publik yang disampaikan kepada Fraksi Demokrat.

“Agar produk UU yang akan disahkan tersebut sesuai keperluan publik dan rakyat. Bisa saja usulan-usulan tersebut belum diperlukan saat ini,” ujar pria yang akrab disapa Ibas itu.

Bukan alat represi
RUU HIP sendiri disebut sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal itu dinilai perlu untuk menerapkan kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan.

Terkait fungsinya, RUU HIP diperlukan sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat. RUU tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur.
“Serta memberikan arah bagi masyarakat untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari,” ujar anggota Baleg Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari.

Ia ingin agar Pancasila tak menjadi alat represi untuk rakyat. Jika Pancasila dijadikan alat represi kepada rakyat, ia takut bahwa ideologi ini akan dipandang negatif. Ia tak ingin hal tersebut terjadi lagi, di mana Pancasila dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadi.
“Tujuan dari RUU HIP adalah agar terdapat panduan bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan pembangunan dan menjalankan pemerintah berdasarkan Pancasila,” ujar Taufik.

Sekularisasi

Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor juga meminta DPR untuk melakukan kajian yang mendalam dan tidak terburu-buru terkait pembahasan draf RUU HIP. GP Ansor menyebut, ada beberapa kejanggalan dalam RUU tersebut.

Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, menyebut, ada upaya sekularisasi yang dinilai berada dalam batang tubuh RUU HIP. Padahal, inti Pancasila yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Bukan sebaliknya, bahkan dicantumkan agama, rohani, dan budaya dalam satu baris.
“Hal ini mencerminkan pandangan sekularisme yang berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar dia dalam keterangan resminya, Rabu (10/6).

Yaqut juga menyoroti terkait tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai landasan RUU HIP. Untuk itu, dibutuhkan diskusi dan masukan dari berbagai kalangan sebelum dimulainya pembahasan RUU HIP.

Kemudian, lanjut Yaqut, tak disertakannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat sebagai konsideran. Perppu tersebut diketahui merupakan landasan untuk pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Ini juga harus diperbaiki. Jangan sampai lahirnya UU nanti menjadi amunisi baru bagi kelompok-kelompok radikal dan intoleran untuk bangkit lagi,” ujar Gus Yaqut.

Terakhir, GP Ansor melihat banyaknya perdebatan dari RUU HIP. Salah satu perdebatan yang timbul adalah RUU itu terkesan sebagai upaya terselubung eks PKI dan kelompoknya untuk balas dendam sejarah yang menimpa mereka. Untuk itu, dibutuhkannya diskusi dan masukan dari berbagai kalangan sebelum dimulainya pembahasan RUU HIP.
“Sejarah tidak boleh terulang ketiga kalinya, cukup. Lebih baik DPR ikut fokus dalam penanganan dan penanggulangan pandemi korona dulu,” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR itu.

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan kedudukan hukum TAP MPRS MPRS XXV/MPRS/1966 masih berlaku. Menurutnya, dalam hal terkait ideologi tak lagi perlu keraguan.

“Diperlukan ketegasan sikap, jiwa patriot, dan semangat nasionalisme yang teguh untuk menutup pintu rapat-rapat bagi komunisme,” ujar Bamsoet.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, kata Bamsoet, juga telah membentuk tim untuk mengkaji RUU HIP. Tim itu nantinya akan menelaah pasal per pasal hingga kalimat per kalimat dalam RUU HIP.

Adapun RUU HIP dimaksudkan untuk menjaga ideologi Pancasila. Serta memperkuat eksistensi dan wewenang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

“Ideologi transnasional seperti komunisme, fasisme, liberalisme, kapitalisme, maupun paham radikal mengatasnamakan agama, tak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki semangat gotong royong dan welas asih,” ujar Bamsoet. Diambil dari REPUBLIKA.CO.ID 

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.