Merindukan Pemimpin yang Amanah


Oleh: N. Vera Khairunnisa

Sungguh miris, di tengah problem kemiskinan dan kehidupan rakyat yang kian susah dampak adanya pandemi, beredar berita tentang meningkatnya harta kekayaan para pejabat. Tak tanggung-tanggung, kenaikan tersebut mencapai angka miliaran rupiah.

Dalam dokumen Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada periode 2019 - 2020, terungkap data harta kekayaan seorang pejabat tinggi daerah di Jawa Barat misalnya, naik sebanyak Rp 6,6 miliar. (suarabogor.id, 15/09/21)

Ironisnya, kenaikan harta kekayaan seorang pejabat tersebut terjadi saat jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mengalami kenaikan, yakni dari 4,19 juta jiwa (8,43 persen) pada September 2020 menjadi 4,20 juta jiwa (8,40 persen) pada Maret 2021. (jabar.bps.go.id)

Fenomena meningkatnya harta kekayaan pejabat bukan hanya terjadi di skala daerah, namun juga di skala nasional. Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kekayaan pejabat atau penyelenggara negara mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19. Bahkan, jumlah pejabat negara yang hartanya mengalami kenaikan mencapai 70,3 persen.

Hal itu disampaikan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam webinar bertajuk “Apa Susahnya Lapor LHKPN Tepat Waktu dan Akurat”, Selasa 7/9/2021. (kompas.com, 13/09//21)

Mungkin muncul sebuah tanda tanya di benak rakyat kecil, kemana perginya hati nurani sebagian pejabat tinggi di negeri ini? Mengapa bisa mereka tetap bahagia dan tenang dengan harta kekayaannya yang semakin bertambah, namun di sisi lain masih begitu bayak rakyat yang masih bergelut dengan kemiskinan dan kehidupan yang serba susah?

Inilah yang mungkin terjadi saat jiwa manusia dihinggapi cinta dunia, mereka lupa pada sesama, bahkan terhadap Penciptanya sendiri. Tak ada perasaan gelisah, melihat rakyat hidupnya susah. Tak ada perasaan takut akan hisab Allah, seolah-olah akan hidup selamanya.

Ketika rakyat tahu mengenai bertambahnya harta kekayaan mereka, hampir semua sibuk melakukan klarifikasi, tentang dari mana asal usul bertambahnya harta tersebut. Sebab mereka takut, rakyat memberi asumsi negatif.

Barangkali mereka lupa bahwa, akan ada hari dimana manusia tidak mampu melakukan pembelaan. Akan ada hari di mana harta dan jabatan tak akan lagi bisa berguna untuk menyelamatkan diri dari hukuman.

Beginilah kepribadian pemimpin yang lahir dalam suasana sekuler, tidak menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai landasan dalam menjalankan amanah kepemimpinan. Sehingga secara tidak sadar, kerapkali menyakiti atau mungkin saja mengkhianati rakyat.

Ditambah keberadaan demokrasi sebagai sistem politik yang diterapkan di negeri ini, memberi peluang untuk memperkaya diri kepada siapa saja yang memegang jabatan . Hal ini karena dalam sistem demokrasi, untuk bisa menjadi seorang pejabat membutuhkan modal yang tidak sedikit.

Maka ketika terpilih, mereka akan berusaha untuk mengembalikan modal. Bahkan kalau bisa, sekalian dengan keuntungan-keuntungannya. Apapun bisa dilakukan, mulai dari cara yang "dianggap" halal, hingga yang sudah lumrah disebut sebagai penyelewengan, semisal suap dan korupsi.

Tentu kita sudah bosan diatur oleh oknum yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, dan kaku dalam mengatur urusan rakyat. Kita bosan dipertontonkan dengan ketidakadilan yang setiap hari semakin memilukan hati. Berharap akan lahir pemimpin amanah yang dicintai rakyat dalam tatanan demokrasi sekuler, tentu suatu hal yang mustahil. Pemimpin yang amanah, hanya akan lahir dalam sistem yang sudah terbukti mampu melahirkan para pemimpin yang amanah, itulah sistem Islam.

Sistem Islam Lahirkan Pemimpin yang Amanah

Dalam Islam, menjadi pemimpin bukan hanya memegang amanah dari rakyat, namun jauh di atas itu, mereka sebetulnya telah menjalankan amanah dari Allah SWT. Maka, ketika mereka tidak amanah, artinya bukan hanya mengkhianati rakyat, namun juga mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta jangan mengkhianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27).

Menurut Ibnu Abbas ra., ayat tersebut bermakna, “Janganlah kalian mengkhianati Allah dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban-Nya dan jangan mengkhianati Rasulullah dengan menanggalkan sunnah-sunnah (ajaran dan tuntunan)-nya…” (Al-Qinuji, Fath al-Bayan fî Maqâshid al-Qur’ân, 1/162).

Adapun yang dimaksud dengan amanah dalam ayat di atas—yang haram dikhianati—adalah apa saja yang telah diamanahkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya (Lihat: Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsir, 1/367).

Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa, pemimpin yang amanah hanya akan lahir dalam sebuah tatanan negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sebab dalam sistem selain Islam, sudah dipastikan mereka akan banyak meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan dalam Islam, para pemimpin akan menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai landasan dalam menjalankan amanah kepemimpinan. Maka mereka akan selalu berusaha untuk menjalankan amanah tersebut dengan sebaik mungkin. Sebab jika tidak, maka konsekuensi buruk bukan hanya akan didapat ketika di dunia, tapi juga di akhirat.

Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ وَ هُوَ لَهَا غَاشٌ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ اْلجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba diserahi oleh Allah urusan rakyat, kemudian dia mati, sedangkan dia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR Muslim).

Karena itu, pemimpin yang lahir dalam sistem Islam, mereka tidak akan bisa tenang melihat rakyat kelaparan dan serba kesulitan, sementara ia kenyang dan bergelimang dengan segala kemewahan.

Dalam sejarah peradaban Islam, tercatat begitu banyak kisah pemimpin yang amanah. Di antara yang paling populer adalah kepemimpinan Umar bin Khattab. Ketika menjadi pemimpin, Umar senantiasa berkeliling untuk memastikan kondisi rakyatnya.

Beliau pun menemukan rakyat ada dalam beragam kondisi. Ada yang kelaparan, diberikan santunan makanan. Ada yang kedinginan, maka diberikan selimut. Ada yang hendak melahirkan, maka dibantu dengan menjadikan istrinya sebagai penolong persalinan. Bahkan, ada yang ketahuan berencana melakukan penipuan, diingatkan kepada Allah dan azab-Nya yang sangat pedih.

Pada masa kepemimpinan Umar, pernah terjadi paceklik. Daerah Hijaz benar-benar kering kerontang, penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah. Mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikit pun.

Jika sebelumnya Umar selalu dihidangkan roti, lemak dan susu, pada masa paceklik ini beliau hanya makan minyak dan cuka. Beliau hanya mengisap-isap minyak dan tidak pernah kenyang dengan makanan tersebut. Akibatnya, warna kulit beliau menjadi hitam.

Umar berkata, “Alangkah buruknya aku ini sebagai pemimpin jika aku memakan bagian yang baik, lalu aku memberi rakyat makanan sisanya.” (Ibn Sa’d, Ath-Thabaqat al-Kubra, 3/312).

Sikap pemimpin yang begitu peduli terhadap rakyatnya dan amanah terhadap kepemimpinanya seperti itu, semata-mata hanya karena ia mengharapkan keridhaan Allah SWT, selamat dari hisab hari akhir, dan agar bisa masuk ke surga-Nya yang penuh dengan segala kenikmatan. Tidakkah kita merindukan sosok pemimpin yang amanah seperti Umar bin Khattab ra.?

Isi artikel diluar tanggung jawab redaksi

(Redaksi Jabi)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.