Moderasi Islam Kian Masif, Jilbab jadi Sasaran Bidik


Oleh: Ine Wulansari
( Pendidik Generasi
)

Dunia pendidikan tak pernah sepi dari pemberitaan, beberapa waktu lalu mendadak bergejolak pasca pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri. Keputusan yang menyatakan Pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama.

SKB telah ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Menteri Agama menyampaikan dengan keluarnya SKB ini, sebagai jalan untuk mencapai titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat.

Dilansir dari Kompas.com, Jumat, 5 Februari 2021. Ada enam poin yang menjadi isi dari SKB tiga menteri yakni:
Pertama, mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Kedua, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau seragam dan artribut dengan kekhususan agama.

Ketiga, Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Keempat, Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.

Kelima, jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini maka sanksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar.

Keenam, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait pemerintah Aceh.

Diluncurkannya SKB yang mengacu pada pelarangan jilbab memunculkan polemik, sebab ada pengecualian Provinsi Aceh dalam SKB yang sangat mungkin menimbulkan kecemburuan di antara sesama umat Islam. Seolah-olah Islam hanya ada di Aceh, sedangkan di luar Aceh merupakan provinsi sekuler. Sabab musabab awal dikeluarkannya SKB ini, terkait dengan kasus jilbab sekolah di Padang. Padahal kita ketahui, Padang merupakan Ranah Minang yang telah dikenal sebagai provinsi religius dan memiliki jasa besar terhadap kemerdekaan bangsa.

Bukan hanya itu, SKB merupakan bentuk serangan terhadap syariat Islam. Secara terang-terangan mengarahkan Islam, baik ajarannya maupun pemeluknya ke arah moderasi Islam yakni dengan menyatakan bahwa seragam busana muslim tidak dilarang, akan tetapi tidak boleh diwajibkan. Apabila dilanggar maka ada sanksi bagi pihak manapun yang mewajibkannya. Inilah bentuk islamofobia yang sejalan dengan konsep sekulerisme. Mengakui adanya Tuhan, akan tetapi Tuhan tidak boleh mengatur kehidupan manusia dalam ranah publik, politik, dan pemerintahan.

Wakil Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menilai SKB buatan Mendikbud Nadiem, Mendagri Tito, dan Menag Yaqut mengarahkan Indonesia menjadi negara sekuler. Menurut Abbas, UU dan peraturan serta kebijakan yang dibuat pemerintah dan DPR dalam seluruh bidang kehidupan termasuk pendidikan, seharusnya didasarkan pada nilai-nilai dari ajaran agama. Terkait dengan seragam sekolah, semestinya negara mewajibkan peserta didik berpakaian sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. (Republika.co.id, Kamis 4 Februari 2021)

Sejalan dengan Anwar Abbas, ketua MUI Pusat Dr. Cholil Nafis menyatakan, SKB 3 Menteri harus ditinjau ulang atau dicabut karena tidak mencerminkan lagi adanya proses pendidikan. Sudah seharusnya usia sekolah perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama, tujuannya untuk pembiasaan yang akan membentuk karakter dari pengetahuan yang diajarkan dan diharapkan menjadi kesadaran. Menurutnya, yang tak boleh itu mewajibkan jilbab kepada perempuan nonmuslim atau melarang muslimah memakai jilbab karena penduduknya nonmuslim. (hidayatullah.com, 6/2/2021)

Dalam kasus ini, tampak upaya-upaya yang digencarkan para liberalis fundamentalis dengan menjauhkan muslimah dari kewajibannya mengenakan jilbab sesuai dengan ketentuan agama Islam. Muslimah digiring atas nama kebebasan dan hak memilih aturan, untuk tidak menutup aurat saat berada di luar rumah. Bukan hanya itu, pembiasan yang berkaitan dengan Islam dan ajarannya terus-menerus dihembuskan pada masyarakat agar Islam dan ajarannya hanya sebatas substantif belaka bukan ideologi. Sehingga kaum sekuler liberal dapat melenggang tanpa ada hambatan, sebab mereka menanamkan moderasi jilbab dengan dalih toleransi.

Padahal sudah jelas, setiap muslimah yang sudah balig atau dewasa ketika berada di ranah publik diwajibkan menutup aurat secara sempurna. Sebagaimana firman Allah Swt.:

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah menutup jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.” (TQS. Al-Ahzab: 59)

Berjilbab dan berkerudung tidak hanya wajib dikenakan di sekolah-sekolah agama, seperti pesantren atau madrasah, tetapi kewajiban menutup aurat pun harus dilakukan di mana saja, termasuk di sekolah negeri. Bukan karena aturan yang diterapkan di sekolah, baik seruan kepala sekolah atau guru, namun itu merupakan sebuah kewajiban syariat Allah Sang Pembuat Aturan Hidup.

Tugas manusia sebagai seorang hamba adalah taat dan rida dengan perintah Allah Swt. baik ada maslahat bagi manusia ataupun tidak. Manusia yang taat dan terikat dengan aturan Allah akan menjalankan perintah dengan sebaik-baiknya. Sebab hukum Islam merupakan suatu sistem yang berdasarkan wahyu, maka hukum Islam memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di akhirat kelak, dan kemaslahatan ini akan membawa berkah dan rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bish shawab. (Redaksi Gb)

Isi Artikel diluar tanggung jawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.