Parade Desa, Ekspresikan Kekecewaan terhadap Pejabat yang asal Desa.


JABARBICARA.COM-- Lebih dari 90 % Pejabat Tinggi , Elit Politik lahir di Desa atau setidak-tidaknya keturunan orang desa. Dari tangan dan dipundak merekalah penentu kebijakan dan keputusan- keputusan strategis Negara ini yang bisa berdampak langsung terhadap baik dan buruknya pranata kehidupan seluruh warga Negara .

Ketua Parade Nusantara, Tedi Rohendi, mengatakan, andai saja beliau-beliau ada sedikit saja keterikatan secara emosional terhadap Desa tempat beliau atau leluhurnya lahir dan dikebumikan, berkenan menyisihkan sedikit kewenanganya demi kebaikan Desa, maka stigma Desa yang sampai hari ini diidentikan dengan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan akan bisa sesegera mungkin bisa disudahi.

Namun, tidak selamanya impian dan harapan bisa diwujudkan menjadi sebuah kenyataan .
Harapan ideal seperti itu saat ini rasanya masih jauh panggang dari api.

Mayoritas Pejabat Tinggi dan Elit Politik dengan ditangan dan dipundaknya bisa membuat merah dan birunya kehidupan masyarakat Desa, mereka tidak peduli dan cuek bebek terhadap nasib hidup dan kehidupan masyarakat Desa.

Hal ini tidak bisa terbantahkan lagi, dengan bukti nyata dengan lahirnya Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang) No. 1 Tahun 2020 yang telah ditetapkan menjadi UU No.2 Tahun 2020 dimana diamanatkan didalam Pasal 28 Ayat ( 8) yang subtansinya menghilangkan Dana Desa yang bersumber dari APBN sesuai perintah UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 72 Ayat (2 ) .
Lebih kurang 78 % dari total penduduk Indonesia 267 juta jiwa manusia Indonesia, hidup dan bertempat tinggal di Desa .
Tidak pantaskah 78 % komunitas penduduk Desa mendapat jatah 10 % anggaran APBN, itupun bukan 10 % dari jumlah APBN Murni.

"Sebetulnya masih tidak rasional dan masih jauh dari proporsional dan ideal, tetapi yang kecil seperti itu saja masih dirampas/ dirampok atas nama kebijakan dengan alasan ini dan itu," ucap Tedi, Minggu (12/07/2020).

Ternyata para Pejabat tinggi dan para elite Politik di Negeri yang rata-rata putra-putri Desa atau setidaknya keturunan dari masyarakat Desa , setelah sukses dan tinggal di kota, cara memandang desa hanya sebuah romantisme belaka.

"Maksudnya jika omong-omong kosong dan ketika ditanya oleh kolega-koleganya mengatakan bahwa beliau lahir atau berasal dari Desa.
Panjang lebar dan lancar berceritera bahwa dulu waktu sekolah SD, desanya belum ada penerangan Listrik, berangkat sekolah jalan kaki tidak pakai sepatu, jalanan belum beraspal masih berlumpur, kalau mandi disungai bla ,bla ,bla dan bla, bla bla, pokoknya sangat dramatis," tandasnya.

Menurutnya, tetapi ketika saat ini mereka sudah menjadi pejabat tinggi atau elit politik, yang bisa jadi cukup dengan satu tanda tanganya bisa merubah Desa kelahiranya menjadi lebih baik dan lebih maju, tidak pernah dilakukanya bahkan bisa jadi sampai berakhir masa jabatanya.
Desa kelahiranya sampai saat ini masih saja terbelakang, kumuh, miskin dan sejenisnya.

"Ternyata dramatisasi cerita tentang Desa itu hanya ingin menunjukan pada pendengarnya bahwa , inilah saya…….. jabatan yang aku punya saat ini bukan hadiah dari siapa-siapa, tetapi karena aku memang superman, kerja dan berjuang keras.
Bayangan lahir di desa terbelakang saat ini Negara ada digenggaman saya, begitulah kira - kira maksud dan tujuanya," katanya.

Inilah yang Tedi sebut hanya Cara pandang Rom antisme desa. (Fitri/Jb)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.