Pemilu dengan Anggaran Fantastis, Siapa yang Diuntungkan?


Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi

JABARBICARA.COM -- Penyelenggaraan pemilu yang sudah rutin diselenggarakan lima tahun sekali, merupakan hajatan besar yang khas dalam sistem demokrasi. Adanya wacana penundaan ini, berkaitan dengan faktor ekonomi dan maraknya terjadi bencana. Namun menurut pengamat politik Ujang Komarudin, dengan wacana penundaan pemilu ini, dinilai sebagai pembegalan terhadap konstitusi dan dalih mencari pembenaran. Dengan penangguhan ini, sebenarnya bukanlah merupakan aspirasi rakyat. (merdeka.com, 1 Maret 2022)

Akan tetapi, meskipun penolakan datang dari berbagai pihak, KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah menetapkan 14 Februari 2024 sebagai waktu pelaksanaan pemilu secara serentak. Pihak KPU mengajukan anggaran sebesar Rp76,6 triliun dan ada kemungkinan pengajuan tersebut akan dipangkas. Karena, infrastruktur dan alat perlindungan diri (APD) akan disediakan oleh pemerintah. Sampai saat ini, besaran anggaran untuk penyelenggaraan pemilu belum dapat dipastikan besarannya. Meskipun sebelumnya, presiden Joko Widodo sempat memperkirakan anggaran pemilu 2024 mencapai Rp110,4 triliun. (Katadata.co.id, 13 April 2022)

Jika ditelusuri, dana penyelenggaraan pemilu tahun 2019 kurang lebih Rp25,5 triliun. Ini pun angka yang besar dan terjadi pembengkakan anggaran dari pemilu sebelumnya. Alasan kenaikan anggaran tersebut yakni, pertama, disalurkan kepada KPU sebesar 18,1 triliun yang digunakan untuk pemutakhiran data pemilu, audit data kampanye, dan bantuan hukum penyelesaian kasus pemilu. Kedua, kepolisian RI mendapat dana sebesar Rp 2,3 triliun untuk program pengamatan pemilu dan pasca pemilu. Ketiga, Bawaslu (Badan Pengawasan Pemilu). Keempat, Mahkamah Konstitusi. Kelima, lembaga penyiaran TVRI.

Selain dana di atas, untuk penyelenggaraan pemilu pun terdapat dana hibah. Dana ini diperoleh dari hibah dalam negeri, donor dana luar negeri, termasuk juga dari kas pemerintah daerah. Ke Seluruhan dana ini, tentu berbeda dengan dana kampanye yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi peserta pemilu. Dengan rata-rata pengeluaran yang sangat spektakuler.

Dengan kebijakan anggaran pemilu yang super dahsyat ini, berbanding terbalik dengan keadaan APBN dalam negeri. Kementerian Keuangan mencatat, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga kuartal pertama tahun ini mencapai Rp5,81 triliun. Menurut Direktur Jenderal Perbendaharaan (DJBP) Kemenkeu Hadiyanto, pada tahun 2022, APBN digunakan untuk mengatasi Covid-19. Sehingga harus digunakan secara maksimal dan sesuai kebutuhan untuk mendukung pemulihan ekonomi. Ia pun menyampaikan, defisit belanja negara lebih besar dibandingkan pendapatannya. (Katadata.co.id, 14 April 2022)

Fakta di atas menunjukkan, bahwa APBN saja mengalami defisit yang sangat besar. Sedangkan pemasukan untuk negara tak cukup untuk menutupi apalagi memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan negeri ini. Bagaimana mungkin penyelenggaraan pemilu akan tetap dilaksanakan di tengah kondisi negeri yang masih mengalami kerapuhan secara ekonomi. Ditambah anggaran pemilu sangat spektakuler, tentu saja hal ini di luar akal sehat kita.

Pemilu yang akan digelar secara serentak ini, sangat berbeda dengan tujuannya yakni untuk menghemat biaya. Namun nyatanya, justru biaya pemilu kian membengkak dari tiap penyelenggaraannya. Sungguh disayangkan, banyaknya dana penyelenggaraan pemilu tidak memberi dampak berarti terhadap perubahan politik negeri. Sementara yang ada, oligarki semakin kuat dan rakyat kian hilang kepercayaan terhadap pemerintah.

Di saat penderitaan rakyat semakin bertambah dengan kenaikan berbagai macam kebutuhan, pemerintah justru tengah sibuk memfokuskan diri untuk penyelenggaraan pemilu. Seharusnya dana yang besar untuk pemilu ini bisa dialokasikan untuk keperluan bagi rakyat. Agar rakyat tidak larut dalam kesengsaraan.

Inilah bukti bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi hak dasar setiap individu rakyatnya. Mereka lebih disibukkan dengan berbagai kepentingan pribadi dan golongan agar kekuasaannya tetap eksis dan langgeng. Hal demikian disebabkan watak dari sistem Demokrasi Kapitalisme telahmembuka jalan lebar-lebar untuk menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai. Meskipun di satu pihak rakyatlah yang terus dikorbankan. Tabiat pemimpin dalam sistem rusak ini, tidak akan bisa membawa kemaslahatan bagi rakyatnya, yang ada akan terus menciptakan kemadharatan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Dengan diadakannya pemilu ala Demokrasi Kapitalisme, bukan hanya membutuhkan biaya mahal saja, akan tetapi menjadi alat untuk melahirkan oligarki yang melanggengkan kekuasaan.

Sementara dalam Islam, memilih pemimpin bukan hal yang main-main. Kelak pemimpin yang terpilih ini akan mengabdi sepenuhnya pada umat. Tidak sembarang orang bisa menjadi pemimpin atau kepala negara. Dalam kitab “Asy-Syarat Khalifah”, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang khalifah wajib memenuhi tujuh syarat agar ia berkompeten memangku berbagai tugas ketatanegaraan (kekhalifahan) dan agar baiat pengangkatan dapat dilakukan. Tujuh syarat tersebut yakni, muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas-tugas kekhalifahan.

Dalam sistem pemerintahan Islam, seorang khalifah dipilih bukan untuk menjalankan aturan buatan manusia. Tetapi untuk menjalankan hukum Allah Ta’ala. Kewajiban penguasa (al-hukkam) yaitu, menerapkan syariat Islam semata. Oleh karena itu, pemilu dalam sistem Islam hanya sebagai wasilah memilih pemimpin yang akan menjalankan aturan Allah.

Islam juga menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam menjalankan proses pemilihan. Tidak akan terjadi politik kotor, curang, atau manipulatif, karena setiap aktivitas berlandaskan pada keimanan. Tampuk kekuasaan bukanlah tujuan untuk mendapatkan materi duniawi, melainkan untuk menerapkan hukum Allah demi meraih rida dan jannahNya.

Dengan demikian, seorang khalifah akan terjaga dari tindakan otoriter, zalim, dan semaunya sendiri. Ia akan melayani umat dengan segenap jiwa dan raganya karena meyakini bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Wallahua’lam bish shawab.

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi Jabarbicara. com.

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.