Ramai Saling Gandeng Capres, Akankah Rakyat Bahagia?


Oleh Ruri Retianty

Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah

Sebentar lagi kita akan menyambut tahun perpolitikan dalam menentukan rezim pada lima atau sampai sepuluh tahun yang akan datang. Pencalonan presiden (capres) dari berbagai partai politik (parpol) saat ini saling bersaing menampilkan kandidat dari masing-masing kubu. Salah satunya adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem).  Parpol ini menggandeng Anies Baswedan sebagai kandidatnya pada pilpres 2024. Bukan itu saja, Toni Permana selaku ketua Bappilu (Badan Pemenangan Pemilu) Kabupaten Bandung, mengusulkan pendamping Anis Baswedan (cawapres) adalah dari kelompok perempuan yang sekaligus berasal dari Ormas Nahdlatul Ulama (NU).

Usulan cawapres yang dimaksud Toni yaitu Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Menurutnya beliau cocok mendampingi AB karena kinerjanya bagus dan bisa merepresentasi kaum perempuan, selain itu juga beliau merupakan wakil Ormas terbesar di Indonesia dan sudah teruji kepemimpinannya di Jawa Timur dengan tidak banyak menimbulkan kegaduhan, ujarnya. 

Toni berharap bahwa nanti di saat sosialisasi para capres dan cawapres dengan masyarakat akan menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu juga akan membawa perubahan di kancah kehidupan di berbagai lini. Adapun metode sosialisasinya nanti melalui jaringan struktur dan silaturahmi dengan tokoh masyarakat, agama serta semua elemen masyarakat di kabupaten Bandung. Kompas.com, Jum'at (07/10/2022). 

Berbagai pendekatan yang dilakukan oleh para calon pejabat beserta parpol kepada berbagai lapisan masyarakat makin tak malu menampakan diri untuk mendulang suara dan dukungan. Mulai dari masyarakat yang terdekat hingga ke pelosok-pelosok daerah, bahkan hingga kepada kaum pelangi atau transgender mereka lakukan bukan semata pencitraan dan cari simpati tapi  hasrat berkuasa yang demikian menggebu.

Hal tersebut merupakan fenomena yang kerap terjadi menghadapi pemilu, dimana para calon pejabat dan parpol mencari peluang untuk meraih kursi di pemerintahan. Berbagai cara pun dilakukan terlepas apakah itu halal atau haram. Di sisi lain, rakyat masih berpikir bahwa perubahan akan terjadi hanya karena ganti orang, sehingga para kandidat berlomba-lomba membangun elektabiltas di wilayah kampanye atau basis partai yang mengusungnya.

Tentunya rakyat menaruh harapan yang besar dalam pemilu 2024. Siapapun nanti orangnya yang menjadi pemimpin akan membawa perubahan dalam kehidupan di berbagai bidang. Perubahan yang memang membawa kebaikan bagi semua lapisan masyarakat, karena selama ini rakyat merasakan dan melihat setiap pergantian rezim tidak berdampak apa-apa, hanya berganti orangnya saja, yang dirasakan rakyat bahkan  kehidupan semakin sulit dan parah. 

Padahal seharusnya bergantinya rezim harus diikuti dengan bergantinya sistem yang diterapkan dalam kehidupan. Sistem sahih yang melahirkan pemimpin yang amanah membawa kepada kemaslahatan rakyat, bukan sistem buruk yang hanya akan menjadikan seorang pemimpin zalim dan tidak berfungsi sebagai raa'in atau pelayanan rakyat. 

Inilah realita kepemimpinan dalam sistem demokrasi yang jelas mengusung keberpihakan atas kepentingan kelompok tertentu, dan hal tersebut tidak akan mampu membawa kemaslahatan seluruh manusia, bahkan sistem ini telah menjerumuskan manusia pada dosa yang mengundang murka Allah. 

Berbeda halnya dengan Islam, dimana akidah dan hukum syarak sebagai landasan dalam memilih pemimpin. Seorang pemimpin akan dibai'at oleh umat sebagai pemilik kekuasaan dengan diikuti kesiapan sang pemimpin untuk menerapkan hukum-hukum syarak, mengurus umat dan mengajak umat untuk taat kepada Allah Swt.

Sabda Rasulullah saw.:

"Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya perihal rakyat yang dipimpinnya." (HR Muslim) 

Adapun persyaratan dalam pemilihan seorang pemimpin ada 7 syarat sah in'tiqad, di antaranya; seorang muslim, laki-laki baligh, berakal, adil (tidak pasik), merdeka, punya kapabilitas untuk memimpin. Selebihnya mempunyai pemahaman terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. serta kesiapannya untuk menerapkan secara kaffah dan konsisten. 

Dalam sistem Islam tidak diperlukan pemilu berkala yang membuang energi, biaya dan waktu. Selama seorang pemimpin masih terjaga dari pelanggaran hukum syari'at, adil dalam memutuskan, qaadir dalam melaksanakan tugas kenegaraan dan tidak keluar dari syari'at-syari'at pengangkatannya, maka pemimpin masih boleh memegang jabatannya tanpa ada pembatasan waktu, sekalipun pemimpin memerintah karena mandat rakyat melalui bai'at in'tiqad, namun pertanggungjawaban pemimpin bukan pada rakyat tetapi pada Allah ta'ala, sebab akad antar rakyat dengan pemimpin bukanlah akad ijarah melainkan akad untuk memerintahkan rakyat dengan hukum Allah. 

Allah Swt. berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghianati Allah dan Rasul-Nya. Serta jangan menghianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu." (TQS al-Anfal [8]: 27) 

Semua bisa terwujud apabila di seluruh alam ini menerapakan sistem Islam, sistem yang berpedoman pada Al-Qur'an dan As-Sunnah bukan hanya akan menyelamatkan umat di dunia tapi juga akhirat. Negara akan menjamin kesejahteraan dan keadilan dalam kepemimpinan yang amanah, mengajak umat pada kemakrufan dan menjauhi kemungkaran.

Wallahu a'lam bi ash shawwab.

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi Jabarbicara.com


0 Komentar :

    Belum ada komentar.