Seluruh Daerah di Jabar Terancam Musibah, Saatnya Kembali Pada Syariah


Oleh: N. Vera Khairunnisa

Apa yang kita rasakan ketika datang musim hujan? Mengeluh karena jemuran tak kunjung kering? Mengeluh karena setiap malam, dingin menerpa sampai sering masuk angin? Tidakkah kita tahu bahwa di wilayah lain, saudara-saudara kita, mereka berjibaku menghadapi bencana alam?

Ya, setiap musim hujan di Indonesia senantiasa diiringi dengan berbagai bencana alam. Tak terkecuali di tahun ini. Di tengah persoalan pandemi yang belum jua terselesaikan, berbagai bencana alam menerjang sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di provinsi Jawa Barat.

Menurut data yang dikeluarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, mulai 1-18 Januari 2021 telah terjadi 40 bencana alam, yang meliputi 16 kejadian tanah longsor, 15 bencana banjir, dan 9 peristiwa puting beliung. (kompas. com, 20/01/2021)

Akibatnya, banyak bangunan yang hancur dan korban berjatuhan. Yang paling banyak menelan korban adalah bencana longsor di Desa Cihanjuang, Cimanggung, Kabupaten Sumedang menewaskan 40 orang. Seluruh korban ditemukan setelah operasi yang dilakukan tim SAR gabungan selama 10 hari.

Tidak lama setelah itu, bencana banjir bandang menerjang rumah warga di kawasan Gunung Mas Puncak, Kabupaten Bogor, Selasa (19/01/2021). Sebanyak 900 orang mengungsi dan 7 bangunan rusak akibat kejadian itu. (detik. com, 24/01/2021)

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa ancaman bencana alam akan terus menghantui semua wilayah di Jawa Barat. Menurut Kepala Pelaksana BPBD Jabar Dani Ramdan, dari 27 kabupaten/kota, 14 daerah berada dalam kategori risiko bencana tinggi, sedangkan 13 daerah mempunyai risiko bencana sedang. (kompas. com, 20/01/2021)

Sikap Muslim dalam Menghadapi Bencana

Sebagai seorang muslim, tentu kita harus mampu menyikapi setiap bencana dengan cara yang tepat. Bahwasannya, bencana alam semisal longsor dan banjir, merupakan perkara yang di luar kekuasaan manusia. Keduanya merupakan qadha (ketentuan) Allah SWT yang tidak mungkin bisa ditolak ataupun dicegah.

Di antara sikap yang harus diwujudkan dalam menyikapi qadha ini adalah sikap ridha (menerima) dan sabar. Baik bagi korban ataupun keluarga korban. Sebab bagi kaum Mukmin, qadha merupakan ujian dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan kelaparan. Juga dengan berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (TQS al-Baqarah [2]: 155).

Selain sebagai ujian, bencana apapun yang menimpa seorang Mukmin, besar atau kecil, sedikit ataupun banyak, sesungguhnya bisa menjadi wasilah bagi penghapusan dosa-dosanya. Rasulullah saw. bersabda:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah (bencana) berupa kesulitan, rasa sakit, kesedihan, kegalauan, kesusahan hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus dosa-dosanya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Namun, dosa-dosa akan terhapus dari orang yang tertimpa musibah jika ia mampu menyikapi musibah itu dengan keridhaan dan kesabaran.

Menelusuri Penyebab Terjadinya Bencana

Tentu saja, tidak ada yang berharap bencana selalu menghiasi negeri yang kita cintai ini. Maka sudah selayaknya kita mencari solusi, agar bencana ini bisa teratasi, atau paling tidak bisa meminimalisir kerugian dan juga korban jiwa yang berjatuhan.

Namun, sebelumnya harus kita ketahui sebetulnya apa yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana ini? Apakah murni karena fenomena alam (sunnatullah), atau ada campur tangan manusia yang salah dalam mengelola lingkungan?

Kepada siapa kita harus bertanya? Tentu tidak masuk akal bertanya kepada rumput yang bergoyang seperti sebuah lirik lagu. Untuk mengetahui tentang penyebab bencana alam, yang tepat adalah bertanya pada para ahli.

Sangat menarik pernyataan Kepala Departemen Kajian Kebijakan dan Pembelaan Hukum Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi. Ia mengatakan, di daerah tropis seharusnya hutan akan tumbuh mengikuti hujan. Tapi sekarang, bencana tumbuh mengikuti hujan.

Menurutnya, penyebab utama perluasan dan peningkatan potensi banjir adalah praktik korupsi dalam kebijakan. Baik dalam peruntukan sumber daya alam, maupun dalam pertimbangan penyelamatan lingkungan. (kompas. com, 20/01/2021)

Begitupun apa yang disampaikan Dosen IPB dari Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Omo Rusdiana. Ia menggambarkan, banjir bandang di Puncak, Bogor, beberapa waktu lalu akibat dari wilayah resapan air yang telah banyak dijadikan lahan terbangun. (kompas. com, 21/01/2021)

Patut untuk jadi bahan renungan. Apakah semua pihak hari ini menyadari dan mau jujur mengakui bahwa yang menjadi penyebab bencana alam bukan hanya sekadar faktor alam semata? Sebab sudah sejak lama, tidak sedikit para ahli yang mengatakan demikian.

Namun jika kita perhatikan, pihak tertentu yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam mengantisipasi bencana ataupun menangani bencana, justru terasa seolah menyalahkan kondisi alam dan hanya menyerahkan urusan bencana ini pada rakyat.

Inilah sikap yang lahir dalam sistem kapitalisme sekulerisme. Pihak tertentu anehnya begitu bersemangat dalam mengurusi berbagai proyek investasi dan pembangunan infrastruktur. Namun ketika rakyat ditimpa musibah, respon dan penanganan terasa sangat lambat sekali.

Padahal, Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya) (TQS ar-Rum [30]: 41).

Seharusnya, berbagai musibah yang menimpa bisa menjadi pelajaran agar kita bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Baik sebagai individu, masyarakat, maupun sebagai penguasa. Termasuk menjadi momen agar mengembalikan segala urusan pada Allah SWT, dengan menjalankan syariat-Nya secara kaffah (menyeluruh).

Manajemen Bencana Menurut Perspektif Syariah

Dalam hal penanganan terhadap musibah, Islam menetapkan kebijakan-kebijakan komprehensif yang tegak di atas akidah Islamiyah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam dan ditujukan untuk kemashlahatan rakyat. Manajemen bencana dalam Islam meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.

Penangangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi:

Pertama, pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, reboisasi (penanaman kembali), tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.

Kedua, membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana. Untuk merealisasikan hal ini, penguasa akan melakukan edukasi terus-menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam; seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.

Ketiga, membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih–seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain–, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana.

Adapun manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. Kegiatan-kegiatan penting yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Pertama, evakuasi korban secepat-secepatnya, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban, serta memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak dihuni oleh manusia, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Kedua, menyiapkan lokasi-lokasi pengungsian, pembentuan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan team SAR dalam berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak di tempat bencana.

Aspek yang ketiga adalah manajemen pasca bencana, yakni seluruh kegiatan yang ditujukan untuk me-recovery korban bencana dan me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah:

Pertama, memberikan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian . Hal ini dilakukan dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital mereka, seperti makanan, pakaian, tempat istirahat yang memadai, dan obat-obatan serta pelayanan medis lainnya.

Kedua, melakukan re-covery mental untuk memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan taushiyah-taushiyah atau ceramah-ceramah untuk mengokohkan akidah dan nafsiyah para korban;

Ketiga, me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana. Jika tempat yang terkena bencana masih layak untuk di-recovery, maka akan dilakukan perbaikan-perbaikan secepatnya agar masyarakat bisa menjalankan kehidupannya sehari-harinya secara normal, seperti sedia kala.

Jika tidak demikian, penguasa akan merelokasi penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif. Untuk itu, penguasa dalam Islam akan menerjunkan tim ahli untuk meneliti dan mengkaji langkah-langkah terbaik bagi korban bencana alam. Mereka akan melaporkan opsi terbaik kepada penguasa untuk ditindaklanjuti dengan cepat dan profesional. (disadur dari tulisan Syamsuddin Ramadhan An Nawiy)

Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh penguasa untuk mencegah dan menangani bencana. Dengan demikian, rakyat akan merasakan kehadiran penguasa sebagai pelayan bagi mereka. Sebab, begitulah sejatinya penguasa dalam Islam.

Namun, semua langkah ini tentu tidak akan bisa ditempuh dalam negara yang kental dengan corak kapitalisme seperti hari ini. Hanya negara yang menjadikan Islam sebagai panduan dalam bernegara yang mampu menerapkannya. Wallahua'lam.

Isi artikel diluar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.