Tragedi Kebakaran Lapas, Masalah Klasik yang Tak Pernah Tuntas


Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi

Kebakaran merupakan salah satu tragedi mengerikan yang sering terjadi di mana saja. Baru-baru ini terjadi di salah satu Lapas Kelas 1 Tangerang pada Rabu (8/9) dini hari. Peristiwa mengerikan ini merenggut nyawa 41 narapidana.

Jumlah narapidana di Blok C seluruhnya ada 122 orang. Akibat sel terkunci sebagian di antaranya tak bisa menyelamatkan diri dan tewas terpanggang. Menurut Agus Toyib, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kakanwil Kemenkumham) Banten, pihaknya belum mengidentifikasi seluruh korban. Apabila semua korban sudah terdata, maka Kemenkumham akan menghubungi pihak keluarga.

Sementara narapidana yang luka segera dilakukan perawatan di Rumah Sakit Sitanala dan RSUD Kabupaten Tangerang. Penyebab kebakaran masih diselidiki, akan tetapi pihak kepolisian menduga kebakaran dipicu oleh hubungan arus pendek listrik.

Lapas Kelas 1 Tangerang sebenarnya berkapasitas 600 orang, akan tetapi dihuni oleh 2.072 tahanan. Sehingga mengalami over kapasitas hingga 25 persen. (CNNIndonesia, 8 September 2021)

Kebakaran di Lapas Tangerang bukanlah peristiwa pertama. Beberapa lapas di Indonesia pernah mengalami hal serupa. Penyebabnya pun beragam. Namun over kapasitas saat ini menjadi sorotan dan problem yang tak terselesaikan.

Menanggapi peristiwa mengerikan ini, negara hanya memberi komentar akan membuat gedung baru. Tujuannya supaya lapas tidak over kapasitas. Seperti yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD. Ia menyampaikan, pemerintah berencana akan menggunakan tanah hasil sitaan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) untuk dijadikan lokasi pembangunan lembaga permasyarakatan (lapas). Hal ini disampaikannya setelah Lapas Kelas 1 Tangerang mengalami kebakaran. (JawaPos.com, 8 September 2021)

Pada faktanya, wacana pembangunan gedung baru untuk dijadikan lapas tak pernah terealisasi. Pemerintah hanya sekadar merencanakan tanpa membangunnya. Alasan belum terlaksananya pembangunan gedung baru untuk dijadikan lapas selalu sama, yakni karena pertimbangan anggaran.

Fenomena kelebihan kapasitas bukanlah hal yang asing lagi. Problem ini sudah lama ada dan belum terselesaikan hingga saat ini. Tentu saja hal ini bukanlah masalah inti. Kelebihan penghuni merupakan efek dari sistem peradilan di Indonesia yang menjadikan penjara sebagai hukuman utama. Maka tak heran, lapas akan penuh sesak lantaran setiap tindak kriminal hampir selalu akan divonis penjara dengan jangka waktu yang sudah ditentukan hakim dan jaksa.

Seharusnya masalah yang tengah dihadapi dicarikan solusi yang tepat. Namun disayangkan bukannya mengurai masalah yang ada, justru penguasa menawarkan solusi yang ambigu. Misalnya revisi UU Narkotika. Menurut Hussein Ahmad selaku peneliti Imparsial mengatakan, pemerintah seakan setengah hati dalam merevisi UU Narkotika. Padahal peraturan ini memiliki potensi lapas menjadi sesak karena kapasitas yang dipenuhi narapidana narkoba.

Sejalan dengan Hussein, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Maruf Bajammal menilai, dengan diterapkannya UU Narkotika memiliki andil terhadap kelebihan kapasitas. Menyebabkan jatuhnya korban jiwa akibat kebakaran di Lapas Kelas 1 Tangerang, Banten. (CNNIndonesia, 12 September 2021)

Jika ditelusuri lebih dalam, masalah-masalah yang tengah dihadapi termasuk over kapasitas, tak lepas dari sistem hukum di Indonesia yang menerapkan kapitalisme sekuler. Dimana peran agama dijauhkan dari kehidupan. Dengan mudahnya orang berbuat jahat karena tak dibekali iman. Faktor himpitan ekonomi bisa membuat seseorang berbuat nekat dengan menjahati orang lain. Ditambah abainya penguasa yang lepas tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Keadaan ini semakin memperparah kehidupan yang dihadapi rakyat. Tentu saja akan memberi dampak pada angka kriminalitas yang kian meningkat, namun hukuman yang diberikan tak mampu mengurai segala tindak kejahatan yang ada. Fokus penguasa justru bertumpu pada sanksi kurungan atau penjara yang efektivitas dalam menjerakan para pelaku kriminalitas diragukan. Inilah dampak penerapan sistem hukum sekuler dan keamanan yang aturannya dibuat oleh manusia. Alih-alih ingin mencegah kriminalitas, justru menumbuhsuburkannya. Sebab sistem kapitalisme hanya berorientasi pada keuntungan semata, membebaskan siapapun meraihnya tanpa memandang apakah merugikan orang lain atau tidak. Selama tujuannya tercapai, maka tindakan menzalimi orang lain pun akan dijalankannya.

Inilah permasalahan sesungguhnya yang dihadapi bangsa ini. Berbagai problem tak akan bisa terurai tuntas selama sistem kapitalisme sekuler diterapkan dalam segala sendi kehidupan. Tak terkecuali sistem peradilan yang hanya mampu memecahkan masalah kriminalitas dengan sanksi atau penjara saja.

Berbeda dengan Islam. Dengan seperangkat aturan yang sempurna diturunkan oleh Allah Swt. untuk mengatur manusia, alam semesta, dan kehidupan, agar tidak salah dalam memutuskan suatu perkara. Islam memberlakukan sanksi tegas. Dengan sanksi tersebut akan memberikan efek jera bagi para pelaku. Efek jera ini memiliki fungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Dengan sanksi yang diterapkan ini, tentu akan membuat para pelaku takut dan tak akan mau mengulang kejahatan yang sama. Selain itu, hukuman yang diterima merupakan bentuk tebusan di dunia. Sehingga kelak di akhirat tidak akan mendapat azab dari Allah Swt. atas maksiat tersebut.

Dalam kacamata Islam, penjara merupakan salah satu jenis ta’zir yakni sanksi yang kadarnya ditetapkan oleh khalifah. Pemenjaraan memiliki arti mencegah atau menghalangi seseorang untuk mengatur diri sendiri, kecuali dalam memenuhi kebutuhan asasnya seperti makan, minum, buang hajat, dan istirahat. Sanksi yang demikian pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khathab membangun penjara pertama di Makkah. Penjara tersebut merupakan rumah milik Shafwan bin Umayyah yang dibeli dengan harga 4000 dirham. Rencana Khalifah Umar, tempat itu secara khusus akan dibangun sebagai sebuah penjara besar yang mampu menampung ratusan orang. Sehingga, narapidana ini akan diatur secara khusus. Sebab awal sebelum adanya tempat bagi para pelaku kejahatan, mereka biasa diikat di pagar sekitaran area masjid atau rumah tetua suku maupun tempat lapang. Dengan mudahnya orang-orang melihat mereka. Tak jarang ada yang meludahi atau melemparkan sesuatu kepada tahanan tersebut. Pada akhirnya, kondisi ini dianggap tidak layak.

Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, ide tentang penjara ini pun semakin matang. Kemudian Ali membangun penjara yang diberi nama ‘nafi’ yang artinya bermanfaat, atau mempunyai makna penjara yang bermanfaat. Konsep tersebut dipakai dengan harapan agar mereka yang dipenjara menjadi sadar dan mengakui kesalahan-kesalahannya.

Meskipun penjara ini sempat roboh dan banyak para tahanan melarikan diri, Khalifah Ali kemudian melakukan evaluasi dan membuatkan penjara yang lebih kokoh serta bagus, yang diberi nama Mukhayyis. Dengan jerih payah yang luar biasa dari para pemimpin umat, penjara yang layak pun tercipta. Bukan hanya sekadar bangunan yang kuat saja, para tahanan diberi sanksi tegas. Sehingga akan menekan angka kriminalitas di tengah umat.

Islam memiliki sejumlah strategi jitu dalam mencegah melonjaknya angka kriminalitas. Pertama, membina keimanan dan ketakwaan individu dengan akidah Islam. Kedua, Islam membina masyarakat agar membiasakan beramar makruf nahi mungkar. Dengan lingkungan islami, setiap kemaksiatan dapat dicegah oleh masyarakat sendiri. Ketiga, penegak hukum dalam hal ini aparat kepolisian berfungsi menjaga keamanan. Ketika fungsi ini dilandaskan pada tanggung jawab dan iman yang kuat, masyarakat tidak segan melaporkan setiap tindak kejahatan yang terjadi. Sebab hukum ditegakkan berdasarkan syariat Islam, sangat jauh dari kecurangan atau jual beli hukum. Keempat, negara memberi jaminan kebutuhan hidup yang layak dan tercukupi. Dengan riayah (pemeliharaan dan pengurusan) dari negara, maka tidak akan ada tindak kejahatan dengan dalih kesulitan ekonomi. Lapangan pekerjaan terbuka luas, pengangguran berkurang, kasus pencurian, perampokan dan tindak kejahatan lainnya akan terminimalisasi dengan sendirinya.

Dengan demikian, Islam menjaga masyarakat dari perbuatan yang melanggar syariat. Memberikan solusi secara tuntas yang membuat pelaku jera. Sehingga dampak kriminalitas dapat ditekan dan jumlahnya sangat sedikit.

Wallahu a’lam bish shawab. (**)

Isi artikel diluar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.