Tuhan, Alam dan Manusia Dalam Konsep Leluhur Sunda-Nusantara


Oleh : Rahmat Leuweung*)

JABARBICARA.COM-- Dalam konsep kearifan leluhur Sunda-Nusantara, alam berfungsi sebagai fungsi spiritual.

Salah satu konsep leluhur Sunda ada yang disebut "leuweung larangan", sebuah gagasan tentang pola ruang-ruang pelestarian (konservasi/daya dukung keberlanjutan energi).

Konsep tersebut menjelaskan hubungan atau relasi Tuhan dan manusia, yang digambarkan dengan terpelihara tidaknya kawasan tersebut. Artinya neraca keber-Tuhan-an kita tidaklah cukup melalui ritus semata, bahkan ritus pun internalisasinya tampak dalam kehidupan nyata, yaitu dalam cerminan alam ini.

Dalam konsep leluhur Sunda, gunung sesungguhnya bukan saja sebagai pasak (penguat) bumi, tetapi juga pasak langit. Gunung mengikat energi bumi dan langit. Jika pasak bumi bersifat material (kasat mata-napak/panapakan), maka pasak langit berupa energi (tidak kasat mata-ngapung/pangapungan).

Dari gunung inilah manusia memahami orientasi bathiniyah (luhur-atas-langit-ayah-Adam) dan lahiriyah (handap-bawah-bumi-ibu-Hawa).

Sejak awal perabadan manusia di dunia, gunung memiliki dimensi transendental dan menjadi inspirasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa mendatang.

Bukankah kemajuan teknologi di masa kini bahan bakunya apa yang ada pada perut bumi (gunung) ? Dan, apakah bahan baku yang tersimpan di dalam perut bumi tersebut bersifat pasif atau statis, hanya memiliki daya setelah diolah/direkayasa oleh manusia ? Jawabannya, tentu tidak.

Dahulu kala, manusia memfungsikan kekuatan tersebut tidak hanya melalui pendekatan rasional-material, tetapi juga pendekatan mental-spiritual. Hal ini muncul atas kesadaran manusia akan keterbatasannya. Maka, kehidupan pun selaras-seimbang, alam selalu terawat dengan baik. .

Namun berbeda dengan manusia kini (era modern), hampir, bahkan sudah tidak lagi menggunakan pendekatan di atas. Spiritualitas adalah bohong belaka, candu, kuno dan terbelakang. Manusia adalah superior, sang pemilik kekuatan tanpa batas. Maka, alam pun, termasuk gunung-gunung di dalamnya, tanpa ampun dieksploitasi dan diekstrak secara besar-besaran demi syahwat kekuasaan dibalik alibi untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Alam adalah cermin perilaku manusia, jika selaras, maka kehidupan akan terasa aman dan tentram. Tetapi jika sebaliknya, maka, di balik kemegahan dan kemajuan teknologi, kehidupan akan terasa berat dan cemas, tidak terkecuali termasuk wabah virus corona yang melanda dunia, di tahun ini, 2020.

Dan, wabah ini, bukan berharap atau bermaksud untuk menakuti, sekedar agar kita senantiasa waspada, sebagaimana diceritakan dalam "Pantun Bogor" seri "Ronggeng Tujuh Kalasirna" bahwa suatu saat hama dan penyakit akan dibuat oleh manusia sekedar agar negaranya lebih unggul dari negara lain, lalu disusul perang sanekala (perang di awal waktu menjelang malam/perang kegelapan/perang bukan fisik-kah ?).

Mari kita bercermin pada realitas. Karena Tuhan tidak semudah diungkapkan.

Keberadaan Tuhan, sungguh melampaui batas kemampuan manusia. Maka, cukuplah alam, sebagai cermin keber-Tuhan-an kita.

*Aktivis Lingkungan Berbasis Kearifan Budaya Sunda. (Tisna)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.