Utang Negara Makin Membengkak, Akibat Ulah Kapitalisme


Oleh Nuni Toid
Pegiat Literasi dan Member AMK

Rasanya tak pernah selesai permasalahan yang dihadapi negeri ini. Bagaimana tidak, di tengah situasi pandemi, dimana rakyat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya pemerintah gencar melakukan pembangunan dari segi infrastruktur. Salah satunya infrastruktur bandar udara (bandara).

Dilansir dari kumparanbisnis, (5/12/2021), salah satu penyebab membengkaknya utang BUMN PT Angkasa Pura 1 adalah pengelolaan bandara baru yang sepi penumpang. Di antaranya Bandara Baru Yogyakarta atau Yogyakarta Internasional Airport (YIA) di Kulonprogo. Demikian yang telah diungkapkan Wakil Menteri (Wamen) BUMN, Kartika Wirjoatmodjo.

Pembangunan bandara YIA berlangsung di tengah pandemi dengan menelan biaya sebesar Rp11,3 triliun. Begitupun saat diresmikannya oleh Presiden Joko Widodo masih dalam situasi yang sama, tepatnya Agustus 2020. Menurut Direktur Utama PT Angkasa Pura 1, Fail Fahmi mengungkapkan bahwa bandara tersebut dibangun dengan kapasitas penumpang 20 juta per tahun. Namun traffic penumpang sepanjang Januari-November 2021 (11 bulan) ternyata hanya 1,2 juta penumpang. Dibanding traffic penumpang pada tahun 2020 sebesar 996.681 penumpang.

Maka sudah pasti situasi bandara baru yang sepi dari penumpang berimbas pada pembengkakan biaya operasional. Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, bahwa PT Angkasa Pura 1 (Persero) atau AP 1 mempunyai utang Rp35 triliun, dengan kerugian rata-rata per bulan 200 miliar. Bila tidak direstrukturisasi setelah pandemi, utangnya bisa mencapai Rp38 triliun. Sungguh besaran biaya yang sangat fantastis.

Sungguh disayangkan. Di tengah situasi pandemi masih menyelimuti negeri, penguasa jor-joran membangun infrastruktur. Padahal seperti yang kita tahu bagaimana risikonya bila membangun dalam kondisi saat ini. Namun, penguasa tetap bersiteguh melakukan pembangunan infrastruktur tersebut sampai rela merugi dengan jumlah yang sangat fantastis. Sedangkan operasional bandara sepi dari penumpang, akibatnya bukannya mengalami keuntungan, tapi sebaliknya mengalami kerugian dengan pemasukan yang tidak berarti. Tapi begitulah penguasa bukannya memprioritaskan menangani pandemi, namun sibuk membangun infrastruktur.

Sepertinya secara sekilas pembangunan infrastruktur bandara itu baik. Yaitu konon untuk mempermudah mobilitas dan kepentingan rakyat. Apalagi bagi penduduk yang berdomisili di daerah terpencil dan dengan kondisi negara yang merupakan kepulauan. Maka transportasi ini memiliki potensi yang sangat dibutuhkan rakyat.

Tapi, jauh panggang dari api, faktanya tidaklah demikian. Target yang diharapkan penguasa tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Bukan karena alasan pandemi saja, namun juga adanya alasan lain. Seperti tidak terintegrasinya bandara dengan transportasi darat, ditambah dengan angka penerbangan yang masih relatif rendah, karena terletak di daerah pedalaman. Hingga pembangunan infrastruktur bandara belumlah begitu penting bagi rakyat.

Lebih jauh ketika kita menelaah, pembangunan tersebut tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat. Sebab realitanya lebih untuk melayani kepentingan para kapitalis saja. Seperti mulai dari mempermulus jalur transportasi impor kekayaan SDA hingga meningkatkan peluang pengusaha dalam memperluas bisnis mereka. Hal ini pada akhirnya menjadikan penguasa tunduk pada korporat. Malang bukan?

Begitupun dalam pelaksanaan pembiayaan. Penguasa hanya mengandalkan utang pada investor atau swasta asing. Lantas karena tidak mampu untuk melunasi utangnya, otomatis bunganya pun semakin besar. Maka tepatlah bila dikatakan kondisi yang terjadi adalah serupa dengan peribahasa gali lubang tutup lubang.

Akhirnya karena kewalahan dalam melunasinya, besar kemungkinan bandara dijual lagi. Karena tak mampu dalam melunasinya, maka jadilah bandara milik asing sepenuhnya. Sungguh ironis.

Begitulah masalah demi masalah yang dihadapi negeri ini. Alih-alih ingin memberikan fasilitas terbaik bagi kepentingan rakyat, sebaliknya asinglah yang diberi peluang untuk semakin menguasai sumber-sumber kekayaan negeri ini. Maka jelaslah untuk apa penguasa terus membangun bandara baru dan melibatkan pengelola asing. Karena mereka lebih condong untuk memenuhi kepentingan swasta asing daripada menyelamatkan harta negara dan mengutamakan kepentingan rakyat.

Itulah bila penguasa masih mengadopsi sistem ekonomi Kapitalisme. Dimana sistem ini hanya mementingkan keuntungan materi saja. Lihatlah walaupun negeri ini memiliki banyak potensi kekayaan alam, namun tidak mampu membiayai pembangunan infrastruktur sendiri. Justru selalu mengandalkan utang dari investor dan swasta asing. Bukan itu saja, dalam pembiayaan terselenggaranya negara, juga bertumpu pada utang.

Inilah kenyataan yang terjadi dalam negeri ini. Semua aktivitas yang dilakukan hanya mengandalkan utang. Padahal sesungguhnya disadari atau tidak, kedudukan utang sangat berbahaya. Sebab utang dalam sistem Kapitalisme, sebagai alat untuk menggencarkan imperialisme saja. Utang pun tidak membawa kebaikan sedikit pun bagi rakyat. Sebaliknya dengan menumpuknya utang, rakyatlah yang menjadi sengsara. Karena harus menanggung utang tersebut dengan membayar pajak yang makin besar. Negara pun dalam sistem rusak ini hanya memosisikan sebagai regulator yang tampak berpihak pada perusahaan multinasional Barat dan Aseng (China).

Sedangkan dalam Islam, pembangunan infrastruktur haruslah memberikan manfaat yang besar bagi rakyat. Karena hal itu adalah salah satu kewajiban negara dalam menyediakan fasilitas publik yang bisa diakses seluruh warga negara.

Pembangunan infrastruktur yang paling mutakhir pada masa kejayaan Islam, yaitu pada masa Khalifah Al-Mansur pada tahun 762 Masehi. Seperti jalan-jalan di kota Baghdad, Irak (abad ke-8) saat itu sudah terlapisi aspal. Sedangkan di Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18.

Begitupun pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab membangun infrastruktur dengan tujuan memberikan pelayanan terbaik untuk publik. Seperti membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal, dan pintu-pintu air serbaguna untuk kelancaran dan distribusi air. Agar semua rakyat bisa mengakses air, dan masih banyak lagi pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab dan khalifah yang lainnya.

Semua pembiayaan pembangunan infrastruktur tersebut diambil dari kas negara, yaitu Baitulmal. Bukan didanai di atas tumpukan utang. Semua berdasarkan optimalisasi anggaran pemasukan negara yang dipergunakan dengan sangat baik dan menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pelayanan publik. Kas Baitulmal bersumber dari harta fa'i, ghanimah, jizyah, kharaj, dan pengelolaan barang tambang.

Demikianlah Islam memandang pembangunan infrastruktur yang merata dan sumber pembiayaannya yang adil di seluruh negeri Islam. Semua ini bukanlah semata-mata romantisme sejarah. Tetapi nyata dari penerapan sistem Islam yang pernah jaya selama 13 abad lamanya.

Maka agar pembangunan infrastruktur dapat memberikan kemaslahatan bagi seluruh rakyat, tentu kita membutuhkan sebuah sistem yang paripurna, yang mampu mewujudkan kesejahteraan itu. Yakni Islam yang berasal dari Sang Pembuat aturan, Dialah Allah Swt.

Oleh karena itu sudah waktunya rakyat berjuang mengembalikan sistem yang baik (Islam) dengan menerapkan syariat-Nya dalam segala aspek kehidupan. Buang sistem Kapitalisme sampai ke akar-akarnya. Sebab terbukti sistem batil ini adalah biang dari munculnya segala masalah yang terjadi. Salah satunya utang negara makin membengkak, akibat ulah kapitalisme.

Wallahu a'lam bish shawab. (**)

Isi Artikel diluar tanggungjawab redaksi jabarbicara.com

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.