Anak Selebgram Jadi Korban Kekerasan, Mengapa?


Oleh: N. Vera Khairunnisa

JABARBICARA.COM -- Di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan ini, banyak kejadian yang mengusik hati dan pikiran. Di antara yang cukup menyesakkan adalah kejadian viralnya video penyiksaan yang dilakukan seorang pengasuh terhadap anak yang diasuhnya. Informasi ini dengan cepat menyebar karena korban merupakan anak dari seorang selebgram. Video berdurasi pendek itu menayangkan aksi tersangka yang tanpa rasa ampun menyiksa anak berusia tiga tahun! 

Banyak yang merasa geram dengan aksi pelaku, dan berempati pada korban, termasuk pada kedua orangtuanya, khususnya sang ibu. Bahkan meski sekarang pelaku sudah ditangkap dan ditetapkan hukuman penjara selama lima tahun, para netizen merasa tidak puas. Mereka menganggap hukuman tersebut tidak setimpal, sebab rasa trauma anak belum akan hilang ketika pelaku sudah keluar dari penjara.

Namun, ada juga yang cenderung menyalahkan sang Ibu. Mereka mengatakan bahwa menitipkan anak kepada orang lain bukanlah pilihan yang tepat, apalagi kepada orang yang tidak begitu dikenal. Tidak sedikit yang menghujat sang ibu dan melontarkan kata-kata yang menyudutkan. Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi kasus seperti ini?

Sebetulnya, kasus penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh orang terdekat seperti kasus di atas begitu marak terjadi di sekitar kita. Apakah yang menjadi pelakunya itu adalah orang tua mereka sendiri, atau kah neneknya, anggota keluarga yang lain, atau pengasuh. Hanya saja, karena yang menjadi korban adalah anak dari seorang selebgram, maka kasusnya mudah terangkat, pelaku pun mudah ditangkap.

Mengapa kasus kekerasan terhadap anak ini kerap terjadi? Padahal sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia sudah memiliki regulasi yang bisa jadi payung hukum untuk berbagai kasus kekerasan, semisal Undang-undang Perlindungan KDRT dan Perlindungan Anak. Ini menjadi indikasi bahwa sistem hari ini tidak cukup efektif untuk mengatasi masalah kekerasan.

Untuk mencari solusi yang tepat, ada baiknya kita menelusuri apa yang menjadi penyebab utama maraknya kekerasan terhadap anak. Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, tidak optimalnya peran ayah dan ibu dalam menjaga anak-anak. Karena kesibukan keduanya, akhirnya anak harus dititipkan kepada orang lain. Seperti kasus yang viral hari ini. Sebagai penulis, saya turut prihatin dan berempati pada korban dan keluarga. Hanya saja di sini, saya ingin mengulas penyebab secara umum, bukan hanya untuk kasus di atas. 

Memang, apa yang sudah terjadi termasuk qadha (ketetapan Allah SWT). Menyikapi qadha ini, tidak ada cara lain selain harus bersabar dan ridha (menerima). Di samping juga harus tetap ada proses hukum yang dilakukan. Termasuk wajib adanya evaluasi dan introspeksi, mengambil hikmah dari kejadian.

Tidak dipungkiri, betapa banyak orang tua hari ini yang begitu sibuk bekerja, siang dan malam, pagi dan sore. Katanya, berjuang demi anak. Tapi kok bisa anak-anak dititipkan ke orang lain untuk waktu yang cukup lama? Terlebih usia anak masih begitu kecil, masih sangat membutuhkan penjagaan dari orang terdekat, khususnya ayah dan ibu.

Kedua, individu hari ini jauh dari nilai-nilai spiritualitas. Untuk kasus di atas misalnya, pengasuh telah dititipkan anak dan dibayar dengan gaji yang tidak sedikit. Itu yang diberitakan. Seharusnya, ia amanah dalam menjaga anak yang dititipkan tersebut. Bukankah orang tua menitipkan agar anak-anak aman? 

Aksi pelaku menyiksa anak balita tersebut menunjukkan bahwa ia tidak memikiki rasa takut dosa atau ancaman siksa dari Allah SWT. Padahal, sekecil apapun kesalahan yang kita lakukan, semuanya akan dihisab di akhirat. Ia bisa saja lolos dari hukuman di dunia, tapi ia tidak bisa lolos dari hukuman di akhirat. Jika tak ada CCTV yang bisa jadi barang bukti di dunia, CCTV Allah SWT ada di mana-mana.

Ketiga, faktor kesehatan mental. Besar kemungkinan, pelaku memang memiliki gejala gangguan kesehatan mental atau depresi. Karena hari ini, problem kesehatan mental juga dialami oleh begitu banyak orang, terutama perempuan. Penyebab depresi juga banyak faktor, di antaranya karena ketidakstabilan ekonomi, atau karena memiliki pengalaman buruk dalam hal pengasuhan di masa lalu.

Keempat, faktor pendidikan yang rendah. Tidak sedikit orang tua atau pihak yang memiliki tanggung jawab pengasuhan, tidak memahami bagaimana cara merawat dan mendidik anak. Sehingga mereka merawat dan mendidik anak sesuka hati, tanpa memperhatikan aturan sama sekali. Tindak kekerasan yang merupakan bentuk kejahatan, dianggap oleh mereka sebagai sebuah metode untuk mendidik anak-anak. 

Kesemua faktor di atas lahir dari tatanan kehidupan kapitalis sekuler. Kapitalis memandang kebahagiaan tertinggi adalah ketika terpenuhi segala hasrat materi. Sehingga tidak sedikit para ibu yang meski sudah tercukupi nafkah dari suami, tetap ikut terjun ke dunia kerja, mengejar materi, mengorbankan anak-anak. Kalau sudah kejadian, hanya tersisa penyesalan. Waktu tidak bisa diputar ulang.

Kehidupan kapitalis juga menyebabkan lahirnya kemiskinan dan kesenjangan yang begitu lebar antara yang kaya dan yang miskin. Sehingga tidak sedikit juga para ibu yang bekerja karena memang untuk memenuhi kebutuhan yang tidak cukup jika hanya mengandalkan uang nafkah dari suami. Terlebih di tengah biaya hidup yang kian hari kian mahal.

Sementara itu, sekulerisme yang menjadi asas dalam berpolitik, bermasyarakat dan bernegara menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan. Masyarakat yang lahir dari sistem ini cenderung kering dari nilai-nilai spiritual, nir akhlak yang islami dan memiliki pemahaman agama teramat minimalis.

Oleh karena itu, selama ruh kapitalisme dan sekulerisme ini mewarnai kehidupan masyarakat, maka kasus kekerasan terhadap anak akan terus berulang. Meski ada peraturan yang bisa memberikan hukuman untuk pelaku, namun ini bukanlah solusi hakiki, sebab tidak menyentuh akar persoalannya.

Untuk mengatasi kekerasan terhadap anak, dibutuhkan suport sistem dari negara. Sistem yang mampu menjamin keamanan untuk anak-anak, memberikan perlindungan optimal untuk mereka, serta menjamin terpenuhinya hak-hak mereka sebaik mungkin.

Islam, sebagai agama yang sempurna, memiliki serangkaian mekanisme yang dapat menjamin keamanan anak-anak. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, menjamin kebutuhan pokok masyarakat. 

Islam mewajibkan penguasa untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat. Jaminan ini bisa dilakukan secara pemberian langsung, atau dengan pemberian harga yang murah, atau dengan memberikan lapangan pekerjaan untuk laki-laki.

Selain kebutuhan sandang, pangan dan papan, kebutuhan pokok lain yang juga wajib dijamin oleh negara adalah pendidikan, kesehatan serta keamanan. Kalau hari ini semuanya serba mahal, maka dalam sistem Islam, semuanya diberikan secara gratis. Meski gratis, namun layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan dalam sistem Islam haruslah yang terbaik. Karena hal ini menjadi hak rakyat.

Oleh karena itu, para ibu tidak harus ikut mencari nafkah. Mereka bisa fokus melakukan hadhanah (pengasuhan) terhadap anak-anak mereka. Mendidik anak-anak mereka dengan optimal demi terlahirnya generasi unggul, yang berkepribadian Islam, serta cakap dalam ilmu sains dan teknologi.

Kedua, dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. 

Berbeda dengan pendidikan sekuler, sistem pendidikan Islam memiliki tujuan yang luhur, yakni untuk melahirkan atau mencetak para ulama sekaligus ilmuan, cakap dalam ilmu agama, mahir ilmu dunia, dan memiliki akhlak yang baik. Mereka yang paham akan tujuan hidup, tahu bagaimana cara menjalani kehidupan, dan senantiasa konsisten dalam melaksanakan aturan Islam.

Ketika mereka harus berperan sebagai orang tua, wali, atau diberikan amanah untuk menjaga anak-anak, maka mereka akan menunaikannya dengan sebaik mungkin. Tidak akan berani melakukan kekerasan terhadap anak-anak. Karena mereka meyakini bahwa sekecil apapun kejahatan yang dilakukan di dunia, akan dibalas oleh Allah SWT di akhirat kelak.

Ketiga, dengan menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi pelaku. 

Jika kedua faktor di atas merupakan upaya prepentif (pencegahan), maka faktor yang ketiga ini adalah upaya kuratif (pengobatan). Yang namanya manusia, pasti ada saja yang melakukan kesalahan. Meski sudah diterapkan aturan untuk mencegah terjadinya kekerasan, namun pada realitasnya selalu ada saja yang melakukan. 

Oleh karena itu, perlu ada sanksi yang tegas untuk pelaku, sebagai pembelajaran agar dia tidak megulangi kejahatannya, juga sebagai penebus dosa, agar kelak di akhirat lebih ringah hisabnya. Sanksi yang diberikan disesuaikan dengan tindak kejahatan atau kekerasan yang dilakukan.

Itulah ringkasnya mekanisme Islam untuk mengatasi kekerasan pada anak-anak. Mari kita selamatkan masa depan anak-anak dengan menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.***


0 Komentar :

    Belum ada komentar.