Beginilah Mekanisme Islam Memutus Rantai Korupsi


Oleh: N. Vera Khairunnisa

Kasus korupsi tidak pernah berhenti di negeri ini, khususnya di Jawa Barat, sebagai provinsi dengan kasus korupsi terbanyak. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, periode 2004-2020, ada 101 kasus korupsi di Jabar. Menjadi juara dalam hal korupsi, bukankah memalukan?

Terbaru, Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna ditangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi di Bandung. Ia diduga terlibat korupsi kasus perizinan pengembangan RS Kasih Bunda Cimahi. 

Penangkapan tersebut menambah daftar panjang kepala daerah yang terlibat korupsi. Setelah sebelumnya juga ditangkap Bupati Subang, Bupati Bekasi, Bupati Cirebon, Bupati Cianjur, sampai Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman yang masih ditahan KPK.

Kita tentu penasaran, mengapa korupsi terus saja terjadi? Jika problemnya ada pada individu, tentu kasus ini tak akan terus menjamur. Karena kasus ini terus berulang, maka ini berarti kelemahan ada pada sistem.

Demokrasi Mahal

Kita tentu tahu bahwa untuk menjadi seorang pemimpin, baik menjadi presiden maupun kepala daerah dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya yang sangat besar. Bagi calon bupati atau walikota saja, Kementrian Dalam Negeri menyebutkan butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada.  

Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjrafina mengatakan, setidaknya ada lima tahapan Pemilu yang dianggap membutuhkan modal besar. Pertama, masa kampanye untuk menarik perhatian public. Kedua, calon tersebut juga harus menarik perhatian partai politik dengan menyerahkan “mahar”. Ketiga, meski politik uang dilarang, masing-masing calon boleh membagi-bagikan barang ke masyarakat dengan nilai tidak lebih dari Rp 25.000.

Keempat, pendanaan saksi saat pemungutan suara. Di Jawa Barat, kata Almas, ada calon yang butuh dana Rp 20 miliar hanya untuk dana saksi. Terakhir, persiapan dan pengawalan sengketa. Pada tahapan ini para kandidat rela mengeluarkan banyak uang. Di tahap ini pula para peserta Pemilu berpotensi memengaruhi keputusan hakim atas sengketa Pemilu dengan melakukan suap.

Modal politik yang mahal inilah yang menjadikan praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) terus bermunculan. Pemenang Pilkada akan berpikir keras bagaimana mengembalikan modal politik tersebut, apalagi kalau dana didapatkan dari hasil pinjaman. Padahal gaji maupun tunjungan resmi diperkirakan tidak cukup.

Hukum yang Tak Memberi Efek Jera

Banyaknya kasus korupsi juga bisa disebabkan hukuman yang diberikan terhadap koruptor di Indonesia belum memberikan efek jera. Perampok uang rakyat yang merugikan negara sampai triliunan tersebut rata-rata masih dihukum ringan oleh pengadilan.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019, rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap koruptor hanya 2 tahun 7 bulan. Ini sangat ringan, tidak setimpal dengan perilaku korupsi itu sendiri. Bahkan, tidak sedikit terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan.

Sekulerisme Hilangkan Rasa Malu

Normalnya, ketika melakukan satu kesalahan, kita akan merasa malu. Namun hari ini, rasa malu seolah hilang. Mereka yang terjerat kasus korupsi tidak bercermin, lebih-lebih mereka yang beragama Islam. Inilah buah dari penerapan sekulerisme. Paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan menjadikan mereka kehilangan rasa malu.

Padahal, Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Sesungguhnya salah satu perkara  yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”

Sistem sekuler juga mencabut rasa takut kepada Allah Swt. Barangkali, mereka merasa takut pada Allah Swt ketika di masjid saja. Sedangkan di tempat kerja, rasa takut itu tidak ada, yang ada hanya takut kehilangan dunia. Penerapan sistem demokrasi sekuler inilah yang menjadi penyebab korupsi sulit atau bahkan tidak mungkin bisa diatasi.

Atasi Korupsi, Pakai Solusi Ilahi

Berbeda dengan biaya pemilu dalam demokrasi yang sangat mahal, pemilihan pemimpin dalam Islam sangat efektif dan efisien. Sehingga dalam Islam, tidak muncul celah untuk melakukan korupsi.

Selain itu, Islam juga mempunyai solusi yang mampu memutus rantai korupsi. Berikut mekanismenya: Pertama, dengan sistem penggajian yang layak. Sehingga semua pejabat tidak akan punya alasan untuk korupsi, selain karena serakah. Sebab negara sudah memberikan kecukupan dengan gaji yang layak tersebut.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR At-Tirmidzi)

Maka setiap muslim akan menghindari aktifitas suap menyuap. Sebab hal tersebut diharamkan. Dalam Islam, konsekuensi dari melakukan keharaman bukan hanya mendapat ancaman sanksi di dunia, tapi juga di akhirat. Konsep keimanan inilah yang tidak ada dalam sistem sekulerisme.

Ketiga, perhitungan kekayaan. Khalifah Umar bin Khattab senantiasa mencatat dan menghitung kekayaan siapa saja yang akan diangkat sebagai penguasa atau sebagai kepala daerah. Sebagaimana yang dituturkan putra Khalifah Umar, Abdullah bin Umar: "Khalifah Umar memerintahkan pencatatan kekayaan para kepala daerah."

Dengan cara seperti ini, bisa terlihat kekayaan seorang penguasa atau pejabat, sebelum menjadi pemimpin dan setelah menjadi pemimpin. Jika ada jumlah kelebihan yang tidak wajar, maka bisa sampai dilakukan penyitaan.

Keempat, hukuman setimpal. Ini dilakukan untuk memberikan efek jera. Sehingga membuat siapa saja tidak akan berani melakukan korupsi, sebab takut dengan konsekuensi hukum yang ada.

Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir. Hukuman disesuaikan dengan tindakan korupsi yang dilakukan. Bisa dengan diumumkan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Dengan cara demikian, maka korupsi bisa diatasi.

Wallahu a'lam bishshawab.

Isi diluar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.