Childfree dalam Timbangan Syari'ah


Oleh: N. Vera Khairunnisa

JABARBICARA.COM-- Di antara sekian isu yang sedang hangat diperbincangkan di jagat maya, salah satu yang menarik perhatian adalah mengenai seorang infuencer yang memilih untuk tidak memiliki anak alias childfree.

Sebuah istilah asing dengan makna yang tak kalah asing di tengah masyarakat Indonesia. Kita barangkali penasaran, sejak kapan dan dari mana asal usul istilah childfree ini?

Istilah Childfree dibuat dalam bahasa Inggris di akhir abad ke 20. St. Augustine sebagai pengikut kepercayaan Maniisme, percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral, dan dengan demikian (sesuai sistem kepercayaannya) menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal. Untuk mencegahnya, mereka mempraktikkan penggunaan kontrasepsi dengan sistem kalender. (Wikipedia .org)

Berbagai macam alasan menjadikan pasangan mengambil pilihan tersebut. Di antaranya adalah kekhawatiran tidak bisa memberikan fasilitas yang layak untuk anak, keuangan terbatas, pekerjaan yang mengharuskan untuk berpindah-pindah lokasi serta lingkungan yang tidak memungkinkan.

Bersama Tony Shepard, seorang penulis dan jurnalis, mereka memaparkan berbagai alasan perempuan memilih untuk tidak punya anak, seperti overpopulasi, perubahan iklim, naluri keibuan yang kurang, serta masalah kesehatan. (tribunnews, 19/08/21)

Setiap orang memang punya pilihan yang berbeda-beda, mereka berhak menentukan pilihannya sesuai kehendaknya. Hanya saja sebagai seorang muslim, tentu setiap pilihan kita harus dikembalikan kepada pandangan syari'at.

Pandangan childfree lahir di dunia Barat, maka asas yang mendasari pandangan tersebut pun lahir dari sana. Segala pandangan yang bukan berasal dari Islam, maka pasti akan melahirkan banyak masalah dan kemudharatan, baik terhadap individu, masyarakat maupun negara.

Ketika seseorang memilih childfree misalnya, mereka akan kehilangan kesempatan mendapatkan pahala mengandung, merawat dan mendidik anak-anak. Ketika sakit, mereka tidak akan merasakan indahnya kehangatan keluarga, bahagianya dirawat oleh anak-anak. Bahkan, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan do'a anak sholeh ketika mereka meninggal.

Dan ketika pandangan childfree ini merebak di tengah-tengah masyarakat, dijadikan pilihan oleh banyak pasangan akibat pengaruh dari satu orang yang merambat ke yang lain, maka bisa dibayangkan dampaknya. Semakin sedikit yang melahirkan, berakibat pada terancamnya demografi.

Fenomena tersebut memang sudah terjadi di dunia Barat dan negara-negara yang barangkali banyak rakyatnya yang memilih untuk childfree. Meski tidak dipublikasikan secara terang-terangan, nyatanya beberapa negara memiliki angka kelahiran yang rendah. Di antara negara-negara tersebut adalah Korea Selatan, Singapura, Jerman, Rusia, Hongkong dan Jepang.

Dalam sebuah populasi atau jumlah penduduk, tentu angka kelahiran menjadi tolok ukur untuk menentukan sejauh mana sebuah negara dapat terus ada dan tidak menuju ke jurang kepunahan. Maka ada banyak pakar dan akademisi yang memprediksi bahwa di masa depan, negara-negara dengan angka kelahiran yang rendah ini akan punah. (idntimes. com, 16/10/20)

Jadi, di negara-negara tersebut, mereka memiliki problem perkembangan jumlah penduduk. Berbagai cara dilakukan supaya rakyatnya mau melahirkan. Di Singapura misalnya, pemerintah setempat memberikan hadiah dan keuntungan bagi setiap bayi yang lahir serta orangtuanya. Mereka juga menawarkan setiap orangtua dana sebesar US$ 15 ribu untuk anak, insentif pajak, dan perpanjangan cuti hamil. (detik .com, 2015)

Pemerintah Korea Selatan mengeluarkan kebijakan subsidi bulanan bagi warganya yang mau memiliki anak, agar semakin banyak pasangan yang mau memiliki anak di negara tersebut. Meski begitu, tetap saja belum membuahkan hasil yang signifikan.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia saat ini termasuk negara dengan angka kelahiran yang masih cukup terkontrol di level 2,45, menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2020. (validnews. id, 12/07/2021)

Problem rendahnya kelahiran di beberapa negara tersebut, jelas banyak dipengaruhi oleh cara pandang masyarakatnya tentang kehidupan. Misalnya saja, mereka memandang kebahagiaan adalah hanya dibatasi ketika terpenuhinya segala kebutuhan materi, mereka melupakan kebahagiaan non materi.

Maka mereka sibuk mengejar karir dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Meski mungkin awalnya mereka tidak merencanakan untuk tidak memiliki anak, namun secara tidak langsung atau tidak sadar, kesibukan mereka membuat mereka lupa akan fitrahnya.

Oleh karena itu, jangan sampai masyarakat Indonesia memiliki pandangan hidup seperti mereka. Sebagai seorang muslim, kita harus menggunakan Islam sebagai tolak ukur dalam memandang kehidupan. Lantas bagaimana sebetulnya childfree dalam pandangan Islam?

Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Zubaidi, menjelaskan, Islam melarang menikah dengan niat tidak memiliki anak. Sebab, salah satu dari lima tujuan pokok syariat Islam adalah untuk meneruskan keturunan.

"Meneruskan keturunan adalah salah satu tujuan dari syariat itu sendiri. Maka Islam sangat mendorong itu dan Alquran pun mengindikasikan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk beranak-pinak," ujar dia kepada Republika, Ahad (22/8).

Allah SWT berfirman, "…Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu…". (QS al-Baqarah ayat 187)

Maksud dari 'carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu' yakni bahwa hasil dari pernikahan adalah menghasilkan keturunan. Dalam surah lain, yakni surah al-Furqan ayat 74, bahkan disampaikan mengenai doa agar dikaruniai anak. (republika .co .id, 24/08/21)

Bahkan dengan tegas Kiai Zubaidi menyampaikan jika pernikahan dengan niat tidak memiliki anak itu dilakukan pasangan berusia produktif, maka termasuk perbuatan maksiat dan pelakunya berdosa. Sebab, sekali lagi, salah satu tujuan berkeluarga dalam Islam adalah menghasilkan keturunan, kecuali ada halangan syar’i.

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

“Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” [Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar]

Pandangan yang berdasarkan Islam, akan menghasilkan maslahat yang besar. Baik bagi individu, masyarakat maupun negara. Islam menempatkan laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya. Perbedaan aturan antara keduanya bukan berarti tidak adil, namun karena perbedaan fitrah. Adapun dalam hal katakwaan dan kesempatan meraih pahala, diberi kedudukan yang sama.

Seorang muslimah, mereka akan rela mengorbankan karir meski sedang berada di puncaknya, karena mereka ingin mengejar pahala dan keridhaan Allah swt. Sebab mereka menyadari, kehidupan ini fana. Harta, jabatan yang mereka miliki tidak akan berarti apa-apa ketika sudah meninggalkan dunia ini. Yang tersisa hanyalah amal sholeh. Maka dia berusahan mengumpulkan amal sholeh itu, salah satunya dengan menjalankan peran sebagai seorang ibu.

Ketika dia merasa kekurangan ilmu, terutama dalam hal mendidik anak, maka ia akan berusaha mencari tau dari berbagai macam sumber. Sebab Islam memiliki aturan yang sangat rinci. Termasuk dalam hal parenting pun, semua sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Ketika merasa takut tidak bisa membiayai anak, maka mereka akan berusaha untuk memperkuat keyakinan akan rezeki, bahwa semuanya Allah yang mengatur. Di samping juga para ayah yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Ketika mereka diuji dengan kesulitan dalam hidup, baik ujian anak, ekonomi, maupun ujian kesehatan, maka mereka akan berusaha untuk tetap bersabar dan mengembalikan semua urusan kepada Allah Yang Maha Besar. Dengan semuanya itu, kehidupan kaum muslim akan jelas dan terarah. Sebab, Islam sudah menyiapkan segala konsep yang mampu menyelesaikan segala permasalahan dalam kehidupan.

Penjelasan di atas hanya berbicara mengenai aturan Islam dalam aspek individu. Jika Islam diterapkan dalam aspek bermasyarakat dan bernegara, maka akan terwujud kehidupan yang sempurna. Negara yang masyarakatnya diatur oleh Islam, bukan hanya akan menang dari sisi populasi, namun masyarakat di dalamnya adalah masyarakat yang berkualitas. Masyarakat yang senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, sebab dorongan keimanan dan ketakwaan. Wallahua'lam

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi

(Redaksi Jabi)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.