Duka Di "Tanah Awisan"


Oleh Rahmat Leuweung*

JABARBICARA.COM--"Tanah Awisan" merupakan konsep pengelolaan wilayah, peninggalan masa lalu, terkait dengan tanah cadangan atau ancakan. Khusus di Pulau Jawa, sebaran penduduk sejak jaman kerajaan tersebar di sebelah utara. Sementara di selatan dibiarkan menjadi hutan belantara, dan sebagian wilayahnya dipersiapkan sebagai tanah awisan.

Namun, saat bangsa penjajah datang, tanah awisan kemudian diubah secara besar-besaran dijadikan kawasan perkebunan, lalu hasilnya diperdagangkan di pasar dunia. Keuntungan dari bisnis haram ini dipakai modal untuk membangun negaranya. Sementara pribumi harus tunduk, rela menjadi buruh dengan upah yang tidak manusiawi dan bangsa ini dibiarkan bodoh dan miskin.

Pegunungan Halimun adalah nama lain untuk Pegunungan Kendeng yang terdapat di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Halimun artinya kabut, merupakan penggambaran, betapa lebatnya rimba belantara di tanah Parahyangan ini.

Jika memandang dari kejauhan yang tampak hanyalah hamparan awan putih dan puncak-puncak bukit atau gunung yang sedikit tersingkap.

Auman sang raja rimba atau masyarakat lokal menyebutnya "Aden", menurut cerita para orang tua, pada saat-saat tertentu, terdengar menggema di balik lebatnya hutan dan lembah ngarai yang tinggi dan curam, "sekejap hutan pun sunyi senyap!".

Namun, cerita di atas hanyalah cerita masa lalu atau dongeng penghantar tidur si Ucup yang kini sudah mulai diperbolehkan bermain ke hutan oleh bapaknya yang berprofesi sebagai penyadap pohon nira atau kawung (Sunda), bahan baku gula merah.

Pegunungan Halimun, kini tidak berkabut tebal lagi, selain kepulan asap dari aktivitas bukaan lahan hutan untuk kegiatan berladang yang terus kian meluas. Dan, keindahan semu dari jejak peninggalan penjajah berupa perkebunan-perkebunan luas yang sebagiannya terlantar. Padahal jika dikembalikeun kepada masyarakat, tidak lagi dikuasi pemodal, maka akan lebih bermanfaat, tidak perlu membuka kawasan hutan.

Auman "Aden", sang raja rimba pun tidak terdengar lagi, lenyap ditelan nyaringnya suara gergaji "chainsaw" (senso) yang tanpa mengenal waktu, terus membabat habis hutan-hutan alam yang tersisa. Keberadaannya antara ada dan tiada. Ada, namun hanya bayang-bayang dibalut aroma mistis, dan tiada karena memang hutan alam, habitat hidupnya kini sebagian besar sudah rusak, porak poranda.

Demikian juga duka, tangisan dan wajah muram lingkungan terjadi di tanah awisan Pangauban (DAS) Cimanuk, wilayah Pangauban Cipasarangan, Cikelet (Garut Selatan). Dan, ini adalah satu dari sekian banyak wilayah yang bernasib sama, terutama di Provinsi Jawa Barat.

Kemerdekaan sudah dikumandangkan, cerita duka masa lalu tidak boleh terjadi lagi. Jangan terulang lagi bangsa asing dan centeng-centengnya (walanda hurik/konspirasi) menguasai dan menginjak-injak kedaulatan negeri tercinta ini.

Tidak ada kata terlambat, berupaya sesuai kemampuan, minimal Si Ucup suatu saat nanti tidak tergoda untuk ikut-ikutan menggarap lahan hutan atau menebang kayu alam yang menurut cerita kakek buyutnya, secara turun temurun, itu adalah "leuweung titipan", yaitu wilayah yang tidak boleh, "pamali" atau buyut diganggu atau dirubah dari keadaan asalnya.

*Aktivis Lingkungan Berbasis Budaya Sunda

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.