Harga Kedelai Melonjak, Nurani Kapitalis Mati Rasa


Oleh Ruri Retianty
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah

JABARBICARA.COM-- Tahu dan tempe, makanan yang tidak asing ini merupakan makanan keseharian masyarakat selama ini. Selain mudah didapat, harganya yang bersahabat, juga karena tahu dan tempe merupakan sumber protein nabati yang baik untuk tubuh dan bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Namun saat ini tahu dan tempe kembali menjadi berita hangat karena adanya kenaikan harga bahan baku (kedelai), sehingga pembuat distributor tahu tempe melakukan aksi mogok berproduksi. Seperti yang terjadi pada produsen-produsen di Kabupaten Bandung dari tanggal 21-23 Februari 2022.

 Ketua Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia   (Kopti) Kabupaten Bandung Ghufron Cokro Valentino menyampaikan bahwa melambungnya harga kedelai saat ini sudah tidak bisa tertahankan, karena harga kedelai terus bergejolak sejak November 2021 hingga kenaikannya mencapai 30%. Para produsen tahu dan tempe menuntut pemerintah untuk mengintervensi harga kedelai agar stabil. (RadarBandung.id, Sabtu (22/02/2022) . 

 Ghufron menyampaikan juga bahwa aksi mogok yang dilakukan para produsen tujuannya untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa posisi mereka saat ini sedang terjepit dan gelisah memgahadapi lonjakan harga kedelai, sementara pemerintah seakan tak mau tahu akan kondisi rakyat dan pengusaha kecil dengan terus membiarkan mafia pasar dan kran impor merajalela.

Semestinya, pemerintah mengalihkan permasalahan ini kepada mekanisme pasar karena siklus perubahan harga akan sering terjadi dan berkepanjangan. Apabila pemerintah mengunci harga kedelai dengan stabil maka tidak akan menjadi masalah bagi produsen, sehingga mereka masih tetap memproduksi tahu dan tempe. Bahkan program swasembada kedelai yang dicanangkan oleh pemerintah nyatanya hingga saat ini tidak terealisasi. 

 Alih-alih meningkatkan swasembda pangan dan taraf hidup masyarakat, pemerintah justru memperbanyak kedelai dari Amerika Serikat (AS), yakni negara pendiri kapitalisme yang cenderung menghalalkan segala cara untuk menguntungkan pribadi dan kelompok, lalu menyingkirkan kepentingan rakyat. 

 Kenaikan harga kedelai di dalam negeri dipicu oleh kenaikan harga dan suplai kedelai dunia yang terbatas. Hal ini disebabkan menurunnya produksi kedelai di Argentina dan Brasil. Praktis, suplai kedelai dunia hanya mengandalkan dari AS. Di sisi lain, Cina beralih memborong kedelai AS dalam rangka reformasi pakan babi. Akibat aksi borong itulah, harga kedelai melonjak dan selama ini Indonesia mengimpor kedelai dari AS. Selain itu juga kenaikan harga kedelai diakibatkan dari gagal panen karena cuaca yang memburuk. 

Alasan Indonesia masih impor kedelai karena permintaan dari para pengusaha dan perajin tahu tempe sendiri. Mereka lebih memilih menggunakan kedelai impor karena buruknya kualitas kedelai lokal. Meskipun demikian, mestinya pemerintah tidak berpangku tangan hanya mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai. Seyogyanya, negara harus berpikir mandiri dan memiliki political will untuk swasembada kedelai dengan varietas-varietas unggulan, sehingga rakyat dapat mengakses bahan baku kedelai berkualitas terbaik dengan harga murah. Fakta ini membuktikan bahwa kondisi pangan Indonesia benar-benar bergantung pada situasi di negara pengekspor. 

Ketidak mampuan dalam negeri untuk meningkatkan produksi pangan berawal dari sistem yang diadopsi negara yaitu kapitalisme sekuler. Kapitalisme memandang pengelolaan pangan dan pertahanan hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi bukan jaminan pemenuhan pangan. Akibatnya ukuran keberhasilan pembangunan pertanian menggunakan standar pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB (Produk Domestik Bruto) saja tidak memperhatikan bagaimana pemecahan pangan per individu. 

Masalah ini hanya bisa terselesaikan dengan negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Melalui strategi kedaulatan dan ketahanan pangan dalam masyarakat yang dijalankan sendiri oleh negara. 

Negara akan melakukan berbagai upaya agar pangan dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyat,  dengan mekanismenya yaitu :
  1. Negara mengatur dan mengkasifikasi status kepemilikan tanah, yaitu tanah milik individu, umum dan negara.
  2. Negara melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Rasulullah saw. bersabda :
    "Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya." (HR Imam Bukhari)
  3. Negara akan memetakan lahan-lahan baru yang cocok ditanami kedelai dan bahan pangan lain.
  4. Lahan yang sudah terlanjur dialihfungsikan, dikembalikan sebagaimana fungsinya semula.

Dengan kebijakan yang tersistematis, sangat kecil kemungkinan bagi negara menggantung diri dari impor, terlebih untuk pangan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyat. Dalam sistem ini riayah dan junnah pemimpin benar-benar terwujud nyata, sebagaimana hadis Rasulullah saw :
"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR Al-Bukhari)

Negara harus menghentikan aktivitas impor di segala aspek kebutuhan publik, jika kedaulatan negara telah terbentuk karena landasan syari'at. Jika pun harus impor, sifatnya hanya sementara dan insidental, negara dalam sistem Islam tidak akan tunduk pada aturan batil dan intervensi asing tapi sejalan dengan arahan hukum syara'. Negara juga harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, serta memberikan akses air secara gratis bagi para petani, karena air merupakan kepemilikan umum yang menjadi faktor penting bagi irigasi pertanian. 

Demikianlah negara menyelesaikan permasalahan pangan sesuai aturan Islam, apabila negeri ini menerapkan aturan Islam secara kaffah maka semua mekanisme bisa terealisasi, sehingga rakyat bisa menjalankan kehidupan dengan tenang, aman, dan nyaman. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi Jabarbicara. com

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.