Heran, Negeri Agraris Langganan Krisis Pangan?


Oleh: N. Vera Khairunnisa

JABARBICARA.COM -- Sungguh ironis! Indonesia, negeri yang subur makmur dan dikenal sebagai negeri agraris ini seringkali dirundung problem krisis pangan. Seperti terjadi beberapaP waktu belakangan, rakyat dikejutkan dengan kenaikan harga beras yang terus melambung dan kini mencetak rekor baru. 

Jika pada Kamis (31/8/2023) lalu harga beras premium di Kota Bandung dibandrol Rp 14.000 per kilogram, sepekan setelahnya, harga melonjak hingga Rp 1.000 per kilogram (kg).  (republika. co. id, 13/09/23)

Kenaikan harga beras bukan hanya terjadi di kota Bandung, namun hampir di seluruh wilayah Indonesia. Fakta ini semakin menambah beban penderitaan rakyat. Sebab, beras merupakan bahan kebutuhan pokok rakyat. Apalagi, kenaikan harga beras ini pun terjadi di tengah isu kenaikan harga BBM dan kondisi ekonomi rakyat yang sulit.

Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut kenaikan harga beras yang terjadi di dunia membuat harga di dalam negeri jadi semakin mahal. Hal ini disampaikan Jokowi saat melakukan tinjauan dan pemberian bantuan sosial di gudang Perum Bulog di Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (cnbcindonesia. com, 11/9/2023). 

Ia pun menyampaikan bahwa kenaikan ini juga disebabkan sejumlah negara menghentikan ekspor beras seperti India yang selama ini merupakan negara pengekspor beras terbesar. Selain itu menurutnya, saat ini pemerintah tengah melakukan upaya agar harga beras terjaga. Seperti manajemen tata kelola beras, hingga membanjiri pasar ritel dari beras stok Perum Bulog.

Namun ini adalah alasan klise, karena faktanya, kenaikan harga pangan semisal beras senantiasa terjadi berulang-ulang . Dan pemerintahan sebelumnya juga hampir selalu melakukan langkah serupa. Tapi hingga kini problem harga dan krisis pangan di Indonesia tak kunjung selesai. Lantas, mengapa bisa Indonesia sebagai negeri gemah ripah loh jinawi ini bisa langganan krisis pangan?

Berbagai faktor penyebab yang disebutkan di atas, hanyalah faktor turunan. Jika ditelaah lagi, fakta kenaikan beras sesungguhnya mencerminkan lemahnya kedaulatan dan ketahanan pangan di Indonesia. Hal ini disebabkan kebijakan pangan berdasarkan kapitalisme. Negara hanya berperan sebagai regulator, dan membiarkan korporasi menguasai tata kelola pangan dan berbagai proses produksinya. 

Yan S. Prasetiadi dalam bukunya Islam Rahmatan Lil 'Alamin (2016) menyebutkan beberapa kebijakan pemerintah yang perlu dikritisi, karena berpotensi mengantarkan masyarakat pada keterpurukan ekonomi, khususnya sektor pangan, adalah sebagai berikut:

Pertama, lemahnya peran pemerintah dalam proses intensifikasi pertanian (peningkatan produktifitas tanah) sehingga menyebabkan kegiatan pertanian semakin lesu dan pada akhirnya akan menurunkan produksi. 

Kerap disebutkan bahwa penurunan terjadi di tengah potensi terjadinya El Nino yang dapat menyebabkan kekeringan serta ancaman tergerusnya produksi beras dunia sepanjang 2023 dan 2024. Padahal ada faktor lain yang tak kalah penting, semisal problem langka dan mahalnya harga pupuk yang menjadi beban biaya produksi para petani.

Kedua, tidak hanya proses intensifikasi, pada proses ekstensifikasi, yaitu perluasan area pertanian, peran pemerintah juga sangat lemah. Bahkan beberapa kebijakan pemerintah justru menyebabkan penciutan area pertanian. 

Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, alih fungsi lahan pertanian mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan pertanian itu menjadi salah satu ancaman terhadap sektor pertanian dalam meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ketiga, terlalu fokus pada ketersediaan stock, namun abai terhadap kondisi distribusi pangan. Ini menyebabkan distribusi pangan yang buruk. (republika. co. id, 01/01/2023)

Keempat, pemerintah lemah terhadap para mafia beras. Pada bulan Februari lalu, Dirut Perum Bulog Budi Waseso mengungkap praktik mafia beras. Tim Satgas Pangan akhirnya menemukan kecurangan distribusi beras bulog mencapai 350 ton yang dilakukan oleh 7 tersangka. (cnbcindonesia. com, 10/02/2023)

Maka, selama kebijakan pemerintah senantiasa condong kepada sistem kapitalisme, problem krisis pangan tidak akan pernah usai. Harga kenaikan beras pun mustahil bisa diselesaikan.

Islam, sebagai agama yang sempurna, memiliki serangkaian aturan yang mampu merealisasikan swasembada pangan, dimana swasembada merupakan sebuah keharusan agar sebuah negara terbebas dari krisis pangan berulang dan berkepanjangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan sebuah negara Islam sebagai berikut:

Pertama, kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, negara akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian.

Keberadaan diwan ‘atha (biro subsidi) dalam baitul mal akan mampu menjamin berbagai keperluan para petani, ini menjadi prioritas pengeluaran baitul mal. Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dll; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga arus distribusi lancar. (Abu Muhtadi, mediaumat.com, 7/10/2013).

Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luas lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara menerapkan kebijakan yang mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Di antaranya negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ al-mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. 

Negara pun dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa pun yang mampu mengolahnya. Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasa menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khattab di Irak. (Ibid).

Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian (konversi) menjadi lahan non pertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian. 

Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut diambil oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Rasulullah saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila dia menelantarkannya, maka hendaknya tanah tersebut diambil darinya.” (HR. Al-Bukhari, 2172).

Kedua, kebijakan di sektor industri pertanian. Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan melakukan aktivitas. Sebab sektor non riil hanya membuat masyarakat menyimpan dananya di bank demi bunga. Akibatnya, uang tidak berputar semestinya, pertumbuhan barang dan jasa pun menjadi mandek, akhirnya terjadilah inflasi. 

Dengan kebijakan ini, maka masyarakat atau para investor akan terpaksa ataupun atas kesadaran sendiri akan berinvestasi pada sektor riil semata, baik industri, perdagangan ataupun pertanian. Karena itu sektor riil akan tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakkan roda-roda perekonomian. (Yan S. Prasetiadi, Islam Rahmatan lil 'Alamin, Harga Beras Melambung. 2016)

Selain memiliki aturan untuk mewujudkan swasembada pangan, Islam juga memiliki aturan yang bisa dijalankan ketika terjadi problem kenaikan harga pangan. Yakni dengan dua mekanisme berikut:

1. memastikan mekanisme pasar berjalan dengan sehat dan baik.

Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan transaksi khususnya terkait dengan produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi; juga dengan melarang dan menghilangkan semua distorsi pasar seperti penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar; meminimalkan informasi asimetris dengan menyediakan dan meng-up-date informasi tentang pasar, stok, perkembangan harga, dsb; pelaksanaan fungsi qadhi hisbah (hakim ketertiban publik) secara aktif dan efektif dalam memonitor transaksi di pasar; dan sebagainya. (Yahya Abdurrahman, Takrifat: Tas’îr, Jurnal Al-Wa’ie, 2012).

Salah satu penyebab kenaikan harga adalah penimbunan yang dilakukan pihak-pihak tertentu, sehingga harga pangan melonjak. Islam melarang praktek penimbunan, Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah.” (HR. Muslim, 3012). Abu Umamah al-Bahili berkata (artinya): “Rasulullah saw melarang penimbunan makanan.” (HR. Al-Hakim, 2122; Al-Baihaqi, 10765).

Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai syariah. 

Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad, 19426; Al-Hakim, 2128; Al-Baihaqi, 16875).

Adanya asosiasi importir, pedagang, dan yang semisalnya, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang. (Abu Muhtadi, mediaumat.com, 7/10/2013).

2. menjaga keseimbangan supply and demand (penawaran dan permintaan).

Jika terjadi ketidakseimbangan supply and demand, yakni harga naik-turun dengan drastis, negara dalam Islam, melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan komoditi dari daerah lain. (Ibid).

Ini berdasarkan tindakan Khalifah Umar ra ketika terjadi musim paceklik di Madinah. Beliau mengirim surat kepada Abu Musa ra di Bashrah: “Bantulah umat Muhammad saw!” Setelah itu ia pun mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin al-‘Ash ra di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, meliputi makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan Amr ra dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah. (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, VII/103; Ibnu Sa’ad, At-Thabaqât al-Kubra III/310-317).

Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim ra, dia berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar ra mengizinkan ‘Amr bin ‘Ash ra untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik” (Akhbâr al-Madînah, II/745). Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah ra pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. (Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, IV/100).

Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah swt berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). 

Demikianlah ringkasnya solusi Islam dalam mengatasi krisis pangan yang mendera negeri ini. Solusi di atas tentu hanya bisa direalisasikan dalam konteks kebijakan negara, bersamaan dengan diterapkannya berbagai hukum syariah lain. Sehingga kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi pun dapat diwujudkan.***


0 Komentar :

    Belum ada komentar.