Kasus Rahmat Effendi Semakin Memperkuat Pernyataan Jabar Juara Korupsi


JABARBICARA.COM-- Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus gratifikasi dan suap lelang jabatan. Kasus ini menambah daftar panjang kasus korupsi yang terjadi di Jawa Barat.

Peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW ), Egi Primayogha mengatakan, praktik korupsi jual beli jabatan dan pengadaan barang dan jasa terjadi berulangkali. Dugaannya ada beberapa hal.

" Kepala daerah menerima suap untuk mengumpulkan modal politik pilkada di masa yang akan datang, menebus 'hutangnya' dalam pilkada sebelumnya, atau mengumpulkan materi untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya, " Kata Egi, Jumat ( 07/01/2022).

Masih kata Egi, Praktik jual beli jabatan pada akhirnya merusak birokrasi. Pertama, karena
dalam praktik tersebut logika pasar masuk ke dalam birokrasi. Umumnya yang terjadi, siapa yang memberikan uang paling besar, dia yang akan menang.
Kedua, birokrasi tidak melandaskan pada sistem meritokrasi.

"Korupsi kepala daerah juga harus dilihat dari pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Sehingga kepala daerah harus melakukan praktik korupsi agar bisa digunakan untuk memberi mahar pada parpol, vote-buying, hingga kampanye dalam pilkada, " tambahnya.

Sementara itu, Plt ketua Ikatan Wartawan Online ( IWO ) Jawa Barat, Robi Taufik Akbar menyebut adanya kasus Rahmat Effendi tidak begitu mengagetkan publik. Sebab, kata dia, kasus korupsi yang terjadi di Jabar seperti episode sinetron yang berulang tayangnya dan membosankan.

" Karena terjadi dan terjadi lagi. Dan yang tak kalah penting, ini seolah membenarkan pernyataan ketua KPK pada waktu lalu menyebut bahwa Jawa Barat sebagai provinsi penyumbang kasus tindak pidana korupsi paling banyak. Singkatnya Juara. Hal itu terpotret baik oleh teman - teman media, " kata Robi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan , Agustinus Pohan pun menyebut, kasus korupsi di Jabar sangat menjemukan.

" Seperti tidak habis - habisnya ," ucap Agustinus.

Agustinus menyatakan, dari sudut pandang punishment, sanksi bukan satu - satunya indikator yang dapat menjamin kasus korupsi tidak terulang.

" sanksi sekarang itu berat sebenarnya, bahkan sampai ada yang meninggal didalam penjara. Tapi kan tetap terjadi lagi. Faktor yang paling lemah adalah faktor kepastian hukum. Pengawasan internal juga bisa lebih ditingkatkan. Selama ini kan kita belum pernah mendengar ada kasus yang diungkap oleh pengawasan internal pemerintahan. Harusnya pengawasan internal independen agar bisa berjalan, " jelasnya. (**/Jabi)

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.