Perempuan Sejahtera dalam Naungan Islam


Oleh: N. Vera Khairunnisa

Kemiskinan merupakan salah satu problem akut yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Terlebih pasca pandemi Covid-19, jumlah kemiskinan pun semakin meningkat seiring dengan melambatnya berbagai aktivitas ekonomi. Semua masyarakat terkena imbasnya, termasuk perempuan.

Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat mencatat jumlah wanita rawan sosial ekonomi (WRSE) di Jabar selama masa pandemi mengalami peningkatan. Adapun jumlah kasus WRSE selama 2019-2020 sebanyak 364.722 kasus.

Salah satu upaya penanganannya, Dinsos melakukan inovasi dengan memperluas layanan Panti Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial (PRSTS) di Kabupaten Cirebon menjadi Griya Wanita Mandiri (GWM). (pikiranrakyat.com, 28/05/21)

Sepintas, kita akan melihat bahwa inovasi yang dibuat oleh pemerintah tersebut merupakan satu hal yang positif. Ini bisa dipandang sebagai bentuk kepedulian terhadap permasalahan perempuan.

Namun jika dicermati, dalam perubahan PRSTS menjadi GWM ini seolah-olah tidak hanya memandang perempuan sebagai objek yang harus diselesaikan permasahannya. Tapi juga sebagai subjek yang didorong untuk terlibat dalam menyelesaikan problem kemiskinan.

Padahal, memberdayakan perempuan secara optimal dalam menyelesaikan masalah perekonomian ini, jika sampai melanggar kodratnya, tentu sangat bertentangan dengan Islam dan berbahaya bagi umat. Mengapa? Karena hal tersebut akan melunturkan fitrah perempuan sebagai pilar keluarga dan penyangga masyarakat.

Bahkan lambat laun, struktur bangunan keluarga dan masyarakat pun akan runtuh hingga tak ada lagi jaminan bagi munculnya generasi terbaik pembangun peradaban. Hal ini disebabkan perempuan kian kehilangan fokus dan orientasi tentang kontribusi terbaik, yakni sebagai ibu yang wajib merawat dan mendidik anak-anak dengan optimal.

Kemiskinan Bukan Tanggung Jawab Perempuan

Kita tentu harus menyadari bahwa masalah kemiskinan ini tidak seharusnya menjadi tanggung jawab bagi perempuan. Ikut melibatkan perempuan dalam menyelesaikan masalah kemiskinan secara tidak langsung telah turut menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi.

Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebabnya. Jangan sampai terjadi, A yang bersalah, B yang harus bertanggung jawab.

Tidakkah terlintas dalam benak kita rasa penasaran, mengapa Indonesia sebagai negeri yang begitu kaya akan Sumber Daya Alam, namun rakyatnya banyak yang miskin?

Kita melihat bahwa harta kekayaan hanya menumpuk di kalangan tertentu saja. Bahkan semakin hari, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dalam laporannya, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan 1 persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. (tempo.co, 10/10/19)

Berbagai kebijakan publik pun cenderung menguntungkan kalangan konglomerat dan merugikan rakyat. Ekonomi rakyat semakin sulit, sedangkan harga-harga semakin melangit.

Sesungguhnya, kondisi ini terjadi akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang menerapkan konsep pasar bebas. Konsep ini secara nyata telah melumpuhkan perekonomian rakyat, jauh sebelum terjadi pandemi Covid-19.

Dalam sistem ini, kesejahteraan hanya bisa dirasakan oleh sebagian pihak, sedang pihak lain mereka harus bersusah payah, tertatih-tatih. Seperti para perempuan yang semestinya fokus menjadi ibu, namun ia disibukkan juga dengan aktivitas mencari nafkah. Tentu ini bukan hal yang mudah.

Islam Menjamin Kesejahteraan Perempuan

Islam sebagai sistem hidup yang sempurna yang diturunkan Allah SWT memiliki aturan yang mampu mensejahterakan semua manusia, baik muslim maupun non muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam Islam tidak ada konsep “perempuan sejahtera hanya bila ia mau bekerja”.

Kesejahteraan dalam Islam adalah bagaimana seluruh potensi hidup yang dimiliki manusia dapat dipenuhi. Potensi hidup tersebut mencakup kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, serta kebutuhan pelengkap baik kebutuhan sekunder maupun tersier.

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan, maka Islam memiliki seperangkat mekanisme yang tidak akan ditemukan dalam sistem manapun. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, dengan mewajibkan laki-laki memberi nafkah untuk keluarganya. Dalam Islam perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Untuk itu, negara akan memastikan tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup bagi laki-laki agar dapat bekerja dalam rangka memenuhi kewajiban nafkah tersebut.

Kedua, bila suami tidak mampu memberi nafkah karena cacat, sakit keras atau lemah, maka negara mengalihkan kewajiban tersebut kepada kerabat dekat atau ahli warisnya.

Ketiga, jika kemudian ditemui tak ada satupun kerabat yang mampu, maka kewajiban memenuhi kebutuhan pokok itu akan beralih kepada negara. Negara akan memenuhinya dengan mengambil pembiayaannya dari Baitul Maal.

Keempat, apabila Baitul maal kosong, maka negara mewajibkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk membantunnya.

Sedangkan untuk kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan, maka akan diterapkan mekanisme langsung yaitu oleh negara. Pengadaan dan jaminan dari kedua kebutuhan tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh negara baik untuk orang miskin maupun kaya, laki-laki dan perempuan, muslim maupun nonmuslim.

Negara akan menyediakan berbagai fasilitas pendidikan secara gratis. Begitu juga setiap warganegara akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, mulai dari tindakan medis, obat-obatan, dokter dan lain-lain.

Adapun berkaitan dengan kebolehan perempuan untuk bekerja, maka negara memberikan kesempatan bagi setiap perempuan yang ingin melakukannya baik untuk mengimplementasikan keilmuannya maupun alasan lain tanpa meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Negara akan menjamin keamanan dan keadilan bagi perempuan sesuai dengan syariat.

Untuk itu Islam telah melarang perempuan untuk bekerja di bidang-bidang yang mengeksploitasi sisi kewanitaannya. Begitupun juga dengan jenis pekerjaan yang dapat membahayakan keamanannya maka perempuan tidak boleh bekerja pada bidang tersebut.

Semua dalam rangka melindungi perempuan dari berbagai tindak kejahatan yang mengancam jiwa dan kehormatannya. Negara juga akan menegakkan sanksi sesuai dengan ketentuan syara’ bila terjadi pelanggaran terhadap aturan Islam.

Dengan seluruh aturan dan mekanisme di atas, maka permasalahan kemiskinan yang dihadapi perempuan akan mampu diatasi. Tak akan ada para ibu yang kebingungan memilih antara anak atau pekerjaan.

Para ibu bisa fokus merawat dan mendidik anak-anak dengan serius dan optimal, demi mencetak generasi pembangun peradaban yang gemilang. Semua ini bukan sekadar angan-angan, sebab pernah terjadi di masa silam, di era kejayaan peradaban Islam.

Isi artikel diluar tanggungjawab redaksi jabarbicara.com

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.