Pernyataan Sikap Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Kab. Garut Menolak RKUHP


JABARBICARA.COM -- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang memuat banyak permasalahan dan telah menuai berbagai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Kiranya perlu disikapi sebagai masukan bagi pemerintah dan DPR. 

Hal ini dikarenakan RKUHP baru tersebut berpotensi membungkam hak-hak warga negara. DPR dan Pemerintah hendaknya hati-hati dan tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP ini, mengingat hal-hal yang diatur dalam UU ini sangat luas dan akan mengikat seluruh warga negara dalam upaya penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

Dalam kerangka pembaharuan hukum, khususnya  KUHP sebagai hukum nasional menggantikan KUHP lama (warisan Kolonial), KUHP baru diharapkan sebagai hukum yang menghargai Hak Asasi Manusia (HAM).

KHUP baru selayaknya merupakan seperangkat hukum negara merdeka dan demoktais, jangan hanya bagian  upaya menghilangkan hukum warisan kolonial.

Sebagai hukum RKUHP hendaknya dibuat dan disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan termasuk kultur dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat. 

RKUHP harus menjadi pembaharuan hukum dan tidak mengacaukan sistem penegakan hukum, khususnya menyangkut pasal-pasal kontroversi dan rumusan-rumusan yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat ramai ditolak pada 2019 kembali diperbincangkan karena pemerintah menargetkan untuk mengesahkannya bulan, Juli 2022. Pemerintah dan DPR akan melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat terhenti.

Saat itu, RKUHP sudah disetujui di tingkat pertama dan siap disahkan di rapat paripurna, namun ditunda karena masifnya penolakan dari masyarakat.

Dan sampai hari ini draf itu tidak dapat di akses dengan mudah oleh masyarakat, dan ini sebetulnya yang memang menjadi pertanyaan besar khususnya bagi saya. 

Secara skologis ada kecacatan yang sengaja di sembunyikan oleh pemerintah. Padahal jelas Peraturan pembentukan perundang undangan. Nomor 12 tahun 2011 pasal 96. "Masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan/ tulisan dalam pembentukan perundang undangan". RKUHP kabarnya mengusung beberapa misi diantaranya dekolonisasi, yang seharusnya restorative justice malah penuh dengan unsur pemidanaan yang dinilai merepresi kebebasan masyarakat. 

Pasal 218 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal 240 penghinaan pemerintah, pasal 353 orang yang menghina pejabat, pasal 354 penghinaan online/ daring. 

Lebih menakutkan lagi pasal 273 yang berbunyi pihak atau kelompok yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi di jalan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dapat di pidana penjara paling lama 1 tahun. Sangat jelas pasal ini berpotensi mengekang kebabasan berpendapat warga negara yang hendak menyampaikan aspirasinya di muka umum dan menghianati semangat reformasi. 

Mengutip apa yang di sampaikan Soe Hok Ghie Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”. Sama sepertihalnya dengan rkuhp ini bukan malah membawa semangat pembaharu mirisnya malah membuat lebih statis demokrasi. 

Dengan posisi yang sangat jelas saya atas nama sekertaris bidang hikmah politik dan kebijakan publik menuntut pemerintah untuk segera membuka draf rkuhp dan bahas ulang poin poin yang memang merengut semangat demokrasi.

Mengutip apa yang di sampaikan Rocky Gerung pikiran yang di sopansantunkan adalah kemunafikan. Sepertihalnya rkuhp pemerintah membuat seolah olah mengsopan santunkan pasal pasal yang berbau kritikan sehingga yang terjadi adalah kemunafikan terhadap demokrasi.

Bidang Hikamah, Politik, dan Kebijakan Publik Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kabupaten Garut (PC IMM Kab Garut) memberi catatan  dan menolak atas RKUHP ini atara lain:

1.Memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam KUHP adalah suatu kemunduran, karena tindak pidana korupsi akan menjadi tindak pidana umum yang sebelumnya tindak pidana khusus. Selain itu korupsi akan menjadi tindak pidana biasa padahal tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa. RKUHP ini juga tentu akan mereduksi berbagai UU yang sudah ada seperti UU KPK, UU TIPIKOR dan UU Pengadilan TIPIKOR.

2. Berbagai kriminalisasi baru dan ancaman pidananya patut dikaji ulang khususnya pengaturan pasal perzinahan dan samen leven.  Hal ini berkaitan dengan akses masyarakat yang tidak memiliki dokumen dan pencatatan perkawinan. Mengkriminalisasi rakyat atas nama rezim administrasi adalah merupakan tindakan kesewenang-wenangan pengusa atas nama hukum.

3. RKUHP berpotensi menjadi bagian produk politik yang mengancam kebebasan berdemokrasi dan berekspresi dengan menghadirkan kembali pasal kolonial yang bertentangan dengan konstitusi terkait pasal-pasal penghinaan terhadap Presiden dan pejabat negara. Pemuatan pasal ini merupakan kemunduran dalam berdemokrasi.

4. Lebih menakutkan lagi pasal 273 yang berbunyi pihak atau kelompok yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi di jalan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dapat di pidana penjara paling lama 1 tahun. Sangat jelas pasal ini berpotensi mengekang kebabasan berpendapat warga negara yang hendak menyampaikan aspirasinya di muka umum dan menghianati semangat reformasi. 

Berbagai catatan permasalahan dalam RKUHP tersebut dengan ini kami menyatakan :

1. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna;

2. Menuntut Presiden dan DPR RI untuk membahas kembali pasal pasal bermasalah dalam RKUHP, terutama pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam isu krusial; serta

3. Apabila Presiden dan DPR RI tidak kunjung membuka draf terbaru RKUHP dan menyatakan akan membahas pasal-pasal bermasalah di luar isu krusial dalam kurun waktu 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam sejak pernyataan sikap ini dibacakan, kami siap bertumpah ruah ke jalan dan menimbulkan gelombang penolakan yang lebih besar dibandingkan tahun 2019.

(Reza/Miftah/jabi) 


0 Komentar :

    Belum ada komentar.