Regenerasi Batik melalui Inovasi Desain


Oleh: Dr. Christine Claudia Lukman, M.Ds.

JABARBICARA.COM -- Batik merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah diakui UNESCO pada 2 Oktober 2009 sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intanginle Heritage of Humanity). Namun, masa depannya masih menjadi tanda tanya karena berbagai masalah yang dihadapi, antara lain tersendatnya proses regenerasi. Banyak hal yang mempengaruhi keberlanjutan batik dan industrinya. Selain kebijakan dari pemerintah dan dukungan pengusaha, ada dua faktor lainnya yang turut berpengaruh secara signifikan. Yang pertama adalah regenerasi pengrajin batik dan yang kedua adalah regenerasi konsumen batik. Saat ini semakin jarang anak muda yang mau menjadi pengrajin batik karena selain memerlukan latihan yang lama untuk bisa membuat batik halus, waktu pengerjaan relatif lama, serta upah yang tidak memadai. Hal ini menyebabkan anak muda di daerah sentra pembatikan lebih memilih untuk bekerja di pabrik yang memiliki standar upah regional lebih layak. Di sisi lainnya, saat ini kebanyakan pembeli batik tulis halus yang mahal adalah orang yang sudah berumur dan memiliki dana cukup. Jika dua hal ini dibiarkan terus, maka dikhawatirkan batik Indonesia akan punah dan UNESCO akan menghapus predikat batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia.

Salah seorang peneliti batik yang banyak memikirkan hal ini adalah Bapak William Kwan Hwie Liong, M.Sc., seorang lulusan magister Ilmu Ekonomi Pembangunan Vanderbilt University, Amerika Serikat. Keprihatinan beliau dan rekan-rekannya atas kerusuhan sosial pada tahun 1998 mendorongnya mendirikan Institut Pluralisme Indonesia (IPI) di Jakarta pada 27 Oktober 2000. IPI adalah lembaga nirlaba yang bertujuan mengembangkan wacana pluralisme sebagai salah satu alternatif paradigma, wacana pengetahuan, dan landasan praktik kolaborasi antar elemen masyarakat yang sinergis dan konstruktif dengan tidak melihat perbedaan pandangan dan latar belakang kehidupan masing-masing.

Semula IPI melakukan kegiatan donor darah, menjadi mediator di wilayah konflik dan kegiatan lain untuk mempersatukan masyarakat. Setelah itu berkembang pemikiran untuk memberikan pendidikan tentang pluralisme yang mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia. Penyusunan konsep pendidikan pluralisme tersebut dilakukan dari tahun 2000-2003 yang menghasilkan konsep berbasis pada kegiatan bersama (pluralism education through collective action) yang disingkat PIA. Untuk mencari model aplikasi dari konsep PIA tersebut maka IPI membangun sebuah pilot project di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah melalui program “Revitalisasi Budaya dan Industri Batik Lasem” dari tahun 2004 hingga 2011.

Peranan dari individu penggerak dan jaringan ekosistem pendukung revitalisasi Batik Lasem dipelajari melalui kajian kebijakan dan praksis (policy and implementation research) di tingkat lokal (Kabupaten Rembang) hingga nasional (Indonesia), serta relasinya dengan dinamika ekonomi kreatif berbasis budaya di tingkat internasional. Sebuah pilot project mikro dibangun IPI di Desa Jeruk, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang melalui fasilitas pendirian dan pendampingan usaha dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) “Srikandi Jeruk”. Desa Jeruk dipilih sebagai lokasi projek ini karena sebagian besar kaum perempuannya merupakan buruh batik di Lasem. Kebanyakan dari mereka meneruskan profesi pembatik yang ditekuni leluhur mereka, dengan keahlian membatik yang diperoleh secara otodidak. Keputusan ini ternyata tepat karena melalui observasi terhadap dinamika perkembangan KUB Srikandi Jeruk, maka IPI dapat mempelajari proses pemberdayaan kapasitas sumber daya manusia para pembatik dalam meningkatkan kualitas hidup mereka sebagai individu maupun kelompok usaha bersama.

Hasil pembelajaran yang diperoleh dari pilot project di Lasem ini kemudian diperdalam melalui pengalaman lapangan di berbagai sentra produksi batik dan tenun tradisional Indonesia pada tahun 2012-2018. Daerah studi banding tersebut meliputi Batang, Magelang, Pemalang, Tuban, Pacitan, Manggarai Barat, dan Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur), dan Toraja Utara di Sulawesi Selatan.

Mengingat pentingnya upaya yang dilakukan oleh IPI, maka Program Sarjana Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Kristen Maranatha mengundang Bapak William Kwan Hwie Liong untuk menjadi pembicara dalam acara talkshow “Regenerasi Batik melalui Inovasi Desain”yang diselenggarakan pada hari Jumat 17 November 2023 dari pukul 13.00 hingga 15.00 WIB. Kegiatan yang semula direncanakan hanya berlangsung selama 2 jam ini, akhirnya menjadi lebih dari 3 jam akibat antusiasme dari peserta acara yang terdiri dari para dosen FSRD UK Maranatha, pakar batik, ilmuwan, dan mahasiswa.

Dalam talkshow tersebut beliau menjelaskan bahwa regenerasi merupakan hal normal sebagai respons atas proses ekonomi, sosial, budaya yang terjadi karena adanya pergeseran generasi. Pak William Kwan Hwie Liong menekankan pentingnya keterlibatan anak muda dalam regenerasi, agar batik Indonesia tetap diakui UNESCO sebagai warisan budaya. Salah satu cara regenerasi batik adalah melalui inovasi dari bahan, teknik, dan motifnya. Dalam project pilot yang dilakukan di Lasem, Pak Kwan mengajak generasi muda untuk mempelajari teknik batik pada seniornya. Setelah menguasai teknik-teknik teresebut, mereka diajari pula tentang teori warna dan desain batik Lasem. Agar proses pengerjaan menjadi lebih singkat dan lebih sesuai untuk generasi muda, maka para pengrajin menyederhanakan desain dengan mengurangi isen-isen dan jumlah warna. Ternyata menghasilkan batik yang indah dan lebih disukai oleh generasi muda

IMG_20231122_135115.jpgSalah satu contoh batik Lasem hasil inovasi

Gambar di atas memperlihatkan salah satu contoh batik Lasem hasil inovasi. Pengrajin diberi kebebasan untuk membuat motif naga. Mereka tidak perlu mengacu pada motif naga yang berasa dari gaya visual Tionghoa, namun mengembangkannya sendiri. Berbeda dari batik Lasem klasik yang memiliki komposisi yang sangat padat, maka dalam desain batik ini hanya motif utama dengan detail dan isen-isen yang padat, sedangkan bagian latar hanya diberikan isen-isen yang ditata tidak padat.

Inovasi desain juga dapat dilakukan melalui eksplorasi berbagai gaya visual Batik Lasem yang sudah ada, misalnya motif burung hong dan kipas. Melalui penataan dan skema warna yang berbeda dapat diperoleh beberapa variasi batik.

IMG_20231122_135151.jpgEksplorasi motif burung hong dan kipas dalam berbagai variasi gaya visual sebagai upaya inovasi desain dari batik yang sudah ada sebelumnya

Pada tahun 2012 hingga 2018, hal yang sama dilakukan oleh Pak William Kwan Hwie Liong di Batang yaitu di tempat pengrajin yang membuat Batik Soganan Batang dan Batik Rifa’iyah. Batik Soganan Batang diperkirakan sudah ada sejak masa Sultan Agung (1613-1645), berdasarkan fakta sejarah bahwa permaisuri Sultan Agung yaitu Gusti Kanjeng Ratu Wetan, berasal dari Batang. Batik Soganan Batang seringkali disebut sebagai batik keratonan khas Batang yang memiliki ciri motif dan warna khas Batang. Warna sogannya pun lebih gelap dari batik Yogyakarta dan Surakarta. Batik Rifa’iyah memiliki gaya visual yang mirip dengan batik pesisir dibuat oleh pengusaha Tionghoa di Batang yang memiliki motif buketan (rangkaian bunga) dan aneka burung. Namun, karena ajaran dari K.H. Rifa’i maka bentuk burung disamarkan sehingga mirip bunga atau kepalanya digambarkan terpenggal. Saat ini sudah tidak ada pengusaha batik Tionghoa di Batang.

Pembatik Rifa’iyah, menurut beliau, cenderung lebih resisten terhadap inovasi desain batik dibandingkan dengan pembatik Soganan Batang. Walaupun demikian di komunitas pembatik Rifa’iyah pun dapat dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu: golongan yang enggan melakukan inovasi desain, golongan yang lebih toleran terhadap inovasi desain, dan golongan yang sangat terbuka terhadap inovasi (hanya satu orang yaitu Mak Si’um atau Umriyah). Dalam talkshow ini Pak Kwan memperlihatkan contoh inovasi pada Batik Rifa’iyah dengan mengurangi dua warna (biru dan cokelat) pada Batik Tiga Negeri. Hasilnya adalah Batik dengan warna merah yang cantik.

IMG_20231122_135213.jpgContoh kain batik Rifa’iyah hasil inovasi desain

Dengan mengurangi dua warna (biru dan cokelat) pada Batik Tiga Negeri maka akan diperoleh kain batik blangko merah yang ternyata sangat cantik dan dapat dikerjakan dalam waktu yang lebih singkat. Pembatik Rifa’iyah sangat terbuka pada inovasi adalah Mak Si’um (Umriyah) yang mirip seniman pembuat karya batik dengan gaya visul naif seperti anak-anak. Pak William Kwan terus mendorong Mak Si’um untuk terus berkarya walaupun usianya sudah 80 tahun.

IMG_20231122_135249.jpgBatik Karya Mak Si’um menggambarkan aneka hewan yang terpisah antara kepala dan badannya.

Acara talkshow ditutup dengan ajakan kepada para peserta yang sebagian besar adalah mahasiswa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha untuk mau mendukung upaya regenerasi Batik Indonesia melalui inovasi desain yang mereka kuasai.***


0 Komentar :

    Belum ada komentar.