Angka Kemiskinan Turun, Sudahkah Sesuai Realita?


Oleh : Lilis Suryani 

JABARBICARA.COM -- Kemiskinan menjadi masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan. Belum lagi masyarakat berbenah atas dampak pandemi Covid-19, kini ancaman resesi ekonomi sudah di depan mata. Tentu hal ini akan berdampak pada kondisi masyarakat, khususnya terkait masalah ekonominya.

Namun, ada yang manarik saat membaca salah satu berita di website resmi Pemprov Jabar.

Wilayah yang kita ditinggali saat ini disebut menjadi provinsi yang paling baik menurunkan angka kemiskinan per September 2022.

Artikel berita dilengkapi dengan data dari Badan Pusat Statistik yang mencatat angka kemiskinan di Jabar pada September 2022 turun sebanyak 17,36 ribu jiwa.

Pemprov mengklaim telah berhasil menurunkan kemiskinan melalui pemberian sejumlah bantuan sosial mulai dari bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sembako/BPNT, dan bantuan lainnya. 

Namun penulis ingin mengkritisi terkait data yang diungkapkan. Apakah sudah sesuai dengan fakta di lapangan?

Karena penulis khawatir, mengingat saat ini masuk tahun politik dan sudah menjadi rahasia umum, banyak cara dan strategi dari para politisi di akhir masa jabatan dan di tahun politik untuk menggaet hati masyarakat. Salah satunya melalui framing prestasi sang pemangku kebijakan.

Terkait masalah penurunan kemiskinan sendiri, standar apa yg digunakan? Jika pun berkurang, seberapa signifikan dibandingkan banyaknya penduduk di jabar? Sebagaimana yang diungkapkan oleh guru besar FEB UNPAD bahwa penurunan tersebut bukan hal luar biasa.

Menyoal angka kemiskinan, lagi-lagi menuai kritik tekait standar masyarakat yang terkagori miskin dan juga sejahtera, membuat angka kemiskinan pun menjadi manipulatif.

Karena pada tataran faktanya dapat kita temui masyarakat yang miskin begitu banyak, namun justru tidak tergolong kepada masyarakat miskin sesuai kriteria pemerintah.  Hal ini diduga kuat berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial nantinya.

Seandainya pemerintah hendak jujur mendata masyarakat miskin, diduga kuat akan mendapatkan hasil yang mencengangkan. Dapat dibayangkan berapa yang harus dikeluarkan pemerintah untuk memberikan bansos, sedangkan saat ini saja pemerintah terkesan keteteran dalam menyediakan dana bansos untuk masyarakat miskin.

Terkait kemiskinan sendiri, sejatinya akan selalu berkaitan dengan tingkat ekonomi. Dan hal inilah yang menjadi masalah, negeri ini yang berkiblat pada ekonomi kapitalisme ala Barat membuatnya tidak bisa lepas dari problem kemiskinan. 

Padahal, setidaknya ada dua kelemahan yang menjadi permasalahan fundamental penyebab sistem ekonomi kapitalisme tidak bisa menyelesaikan permasalahan kemiskinan.

Pertama, adanya kebebasan kepemilikan. Sistem ini meliberalisasi seluruh sumber daya, termasuk sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, barang tambang batu bara mayoritas dikuasai swasta. Padahal, batu bara sebagai bahan bakar sangatlah diperlukan bagi terpenuhinya kebutuhan hidup manusia.

Kedua, negara korporatokrasi. Jika kita mencermati, banyaknya program yang diperuntukkan untuk mengentaskan kemiskinan selalu saja menggandeng swasta. Pemerintah sendiri hanya bertugas sebagai regulator, alias yang menetapkan kebijakan agar swasta dan rakyat mendapatkan maslahat bersama.

Jika telah jelas ekonomi kapitalisme mustahil menyelesaikan permasalahan, tentu solusinya tidak bisa sekadar pada tataran teknis program pemerintah. Ini karena apa pun programnya, jika kerangkanya masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme, bukan rakyat yang menjadi orientasi kebijakan, melainkan profit pengusaha dan penguasa.

Walhasil, perlu adanya sistem ekonomi alternatif untuk menyelesaikan problem kemiskinan.

Tentu sistem ekonomi Islamlah yang akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Sistem ekonomi Islam mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan tersebab dua poin penting.

Pertama, pembatasan aturan kepemilikan. Aturan ini mampu mencegah kemiskinan secara permanen sebab yang menjadi hak banyak orang terlarang dikuasai individu, sekalipun ia mampu membelinya.

Dalam Islam, kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Untuk kepemilikan individu, setiap individu boleh memilikinya dengan cara sesuai syariat, seperti hasil kerja keras, warisan, pemberian harta, hadiah, dsb.

Adapun kepemilikan umum, terlarang bagi individu untuk memprivatisasi/memonopolinya sebab aset tersebut notabene milik masyarakat. Misalnya, rumput, air, pembangkit listrik, danau, laut, jalan raya, ataupun barang tambang melimpah (emas, batu bara, dan minyak bumi). 

Kepemilikan negara meliputi harta yang pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah, seperti ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, dsb. 

Pengelolaan kepemilikan pun harus sesuai syariat. Haram bagi seseorang menginvestasikan hartanya dengan cara ribawi. Cara ini akan menjadikan harta berputar, perekonomian riil menjadi berkembang, kemiskinan pun otomatis berkurang.

Kedua, peran negara begitu sentral dalam distribusi kekayaan. Negara wajib menjamin seluruh kebutuhan dasar umatnya. Negara akan benar-benar mensensus warganya, memastikan para kepala keluarga bisa menafkahi tanggungannya, sekaligus menyediakan lapangan pekerjaannya.

Jika kepala keluarga dan kerabatnya tidak sanggup menafkahi, negara wajib membantu warganya untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhannya pun harus layak, perumahan, pakaian, termasuk pangannya, semua harus layak konsumsi dan bergizi. 

Begitulah paparan singkat terkait cara Islam yang komprehensif atasi masalah kemiskinan.***


0 Komentar :

    Belum ada komentar.