Harga Daging Ayam Terus Naik, Bikin Emak-emak Panik


Oleh : Lilis Suryani ( Guru dan Pegiat Literasi)

JABARBICARA.COM -- Emak-emak kembali harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Pasalnya, harga ayam potong dipasaran terus mengalami kenaikan. Padahal, kebutuhan asupan gizi keluarga yang cukup mesti tetap terpenuhi. Terutama pada anak-anak yang tengah dalam masa pertumbuhan. 

Walhasil, seperti pengalaman pribadi agar anak-anak bisa tetap menkonsumsi daging ayam, mesti ada penjadwalan. Itupun hanya untuk anak-anak saja, sedang orangtua mengalah saja agar kebutuhan nutrisi anak-anak terpenuhi. Sudah dijadwal pun tidak bisa setiap hari menkonsumsi daging ayam, karena kebutuhan yang lain pun menuntut untuk dipenuhi. Paling tidak seminggu sekali, baru anak-anak bisa menkonsumsinya.

Terkait mahalnya harga daging ayam, Kepala Disperindag Jabar, Noneng Komara Nengsih mengatakan, dari pantauan di lapangan, harga ayam potong di Jabar saat ini mencapai di atas angka Rp40.000 per kilogram-nya.

"Memang harga ayam (potong) ini cukup tinggi, tapi sampai kemarin pantauan dari Indag (Disperindag Jabar) saat lebaran itu Rp45 ribu (per kilo) dan kemudian menurun lagi karena memang masalah utamanya itu di kenaikan pakan," ujar Noneng, pada Kamis (6/7/2023). 

Mahalnya harga ayam, tentu membuat emak-emak panik, rakyat pun semakin terbebani. Apalagi menjelang masuknya anak-anak kembali ke sekolah. Walhasil, bukan hanya memikirkan kebutuhan primer terkait pangan. Kebutuhan kelengkapan pendidikan pun menyita pemikiran para orangtua.

Jika sudah begini, penulis jadi teringat ucapan Menko Polhukam Mahfud Md yang menyebut tiap warga Indonesia bisa mendapat uang Rp 20 juta jika celah korupsi pertambangan dihapus. Itu baru pertambangan saja, belum hutan, laut dan SDA potensial lainnya yang dimiliki negeri ini.

Ah, andai perkataan pak Mahfud benar, emak-emak dengan uang RP 20 Juta perbulan tidak perlu dipusingkan dengan naiknya harga daging ayam atau harga-harga lainnya.

Namun, sepertinya itu mustahil terwujud saat ini jika tata kelola negara tidak mengalami perubahan.  Di sistem demokrasi, korupsi menjadi hal yang lumrah dilakukan semua pejabat, hampir di semua lembaga pemerintah terjadi korupsi. Angkanya pun fantastis, dan anehnya drama korupsi tersebut terus berulang. 

Belum lagi jika kita mengamati pengelolaan ekonominya, karena kita sedang berbicara harga daging ayam. Maka ini terkait dengan pengelolaan sektor peternakan. 

Jika mau jujur, sektor peternakan di Indonesia saat ini bukankah dikuasai oleh segelintir korporasi sehingga berlakulah pasar oligopoli ?

Menteri perdagangan sendiri, bahkan pernah menyebut ada tiga perusahaan peternakan besar yang menguasai 60—70% pasar sektor peternakan.

Perusahaan ini berbentuk perusahaan integrator yang membangun rantai bisnis dari hulu ke hilir. Bahkan, kesulitan peternak kecil mendapatkan bahan pakan, khususnya jagung juga disebabkan penguasaan langsung oleh korporasi tersebut di sentra-sentra produksi jagung.

Begitu pula, kebutuhan DOC (anak ayam yang berumur satu hari-red.), vitamin, hormon, dan lain-lain yang dibutuhkan sebagai input peternakan, juga berada dalam kooptasi korporasi tadi.

Bahkan, guritanya juga menyentuh aspek distribusi hingga konsumsi, yakni retail-retail penjualan produk peternakan, seperti telur, karkas ayam, dan sebagainya sehingga kendali harga secara tidak langsung juga berada di pihak korporasi.

Sementara pemerintah hanya mengambil kebijakan yang sifatnya parsial, yakni operasi pasar dan penetapan harga, padahal nyata-nyata kebijakan ini tidak memiliki pengaruh apa pun kepada terwujudnya stabilitas harga. Sekalipun harga di pasar turun, namun para peternak yang tercekik.

Inilah buah penerapan sistem ekonomi liberal yang melahirkan pasar oligopoli  yang memberikan “karpet merah” pada korporasi swasta untuk menguasai pasar melalui regulasi yang diterbitkan pemerintah. Sungguh ironis bukan, lalu adakah jalan keluar dari permasalahan ini ?

Pengamat kebijakan publik Emilda Tanjung, M.Si. menyatakan dalam tulisannya bahwa karut marut sektor peternakan ini hanya akan terjawab dengan konsep sahih, yakni Islam.

Islam sebagai agama dan ideologi yang sempurna memiliki konsep politik ekonomi yang di dalamnya tercakup politik pangan serta politik peternakan. Politik ekonomi ini adalah bagaimana menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok untuk setiap individu dengan pemenuhan yang menyeluruh dan memungkinkannya memenuhi kebutuhan pelengkap sesuai kemampuannya.

Politik ekonomi ini, meniscayakan hadirnya negara dengan fungsi politik sahih yang telah digariskan syariat Islam yakni sebagai penanggung jawab (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyat.

Adapun, wujud dari peran politik ini menuntut negara bertanggung jawab penuh mengurusi seluruh rakyat sesuai dengan syariat Islam, termasuk kebutuhan para peternak. Peran mereka juga sangat penting dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, khususnya pemenuhan protein hewani.

Negara dalam Islam wajib menjamin para peternak bisa berproduksi dengan baik dan maksimal. Negara akan memastikan sarana produksi peternakan (sapronak-red.) bisa didapatkan dengan mudah, harga terjangkau, dan berkualitas.

Negara tidak boleh membiarkan peternak bergantung kepada korporasi. Justru negaralah yang menyediakannya, bahkan membagikannya sebagai subsidi penuh jika peternak memang tidak sanggup membeli karena miskin.

Negara akan membiayai pengadaan sapronak mulai dari riset hingga industri untuk memproduksinya. BUMN milik negara didorong berproduksi maksimal, dengan pembiayaan dari baitulmal, yang hasil produksinya digunakan melayani kebutuhan rakyat, bukan mencari untung dari rakyat.

Negara, juga menyediakan infrastruktur pendukung, seperti jalan, jembatan, sarana air bersih, padang-padang rumput yang berstatus milik umum, moda transportasi, hingga gudang, kandang, dan seterusnya.

Pada aspek distribusi, negara harus menjamin agar harga yang terbentuk adalah harga yang wajar dan normal. Negara tidak akan menetapkan harga, namun negara mengawasi praktik-praktik ilegal yang bisa mendistorsi pasar, seperti monopoli, kartel, penimbunan, ribawi, dan seterusnya, serta akan menindak tegas siapa saja termasuk korporasi yang bisa mengendalikan harga.

Begitulah paparan singkat bagaimana mekanisme Islam dalam menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok termasuk daging ayam. ***


0 Komentar :

    Belum ada komentar.