Oleh : Dr. Drs. H CECEP SUHARDIMAN, SH, M.H. Advokat & Dosen Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Demikian dikatakan Advokat & Dosen Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, DR. Drs. Cecep Suhardiman, SH. MH. Bahwa Penentuan Calon Terpilih untuk Anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/ Kota Dalam Pemilu Serentak Tahun 2019 itu sudah sangat jelas diatur Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, sehingga kalau itu bertentangan tentu “Batal Demi Hukum”.
Kemudian juga di dalam Hukum Acara itu ada azas “Due Process Of Law” yang artinya seperangkat prosedur yang diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku Universal, artinya proses hukum itu harus memenuhi standar yang sudah diatur secara luas, tidak seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada proses gugatan dengan titel Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sudah barang tentu putusan itu berakibat hanya bagi para pihak yang ada dalam perkara tersebut yaitu para penggugat, tergugat dan turut tergugat, sehingga sangat aneh ketika putusan perdata yang bersifat privat itu bisa berakibat kepada pihak lain yang tidak masuk sebagai pihak, kalau akibat dari putusan itu berakibat kepada pihak lain, dan pihaknya tidak masuk dalam gugatan tersebut, seharusnya gugatan itu tidak diterima “niet ontvankelijke verklaard” ( NO) oleh Majelis Hakim karena mengandung cacat formal (Kurang Pihak).
Dalam hukum acara juga berlaku azas “Audi Et Alteram Partem” artinya para pihak diberi kesempatan yang sama atau dalam mengadili perkara hakim harus mendengar argumen dari kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) sehingga kalau akibat hukumnya menimpa pihak lain yang tidak termasuk dalam pihak, maka tentu tidak bisa memberikan argumen atau memberikan alasan hukum sesuai perkaranya.
Begitu Juga akibat hukum putusan PN Jaksel yang menimpa Ervin Luthfi, Cs Caleg terpilih DPR RI dari Partai Gerindra Dapil Jabar XI sangat menarik untuk dikaji dari sisi hukum dan proses beracara di PN Jakarta Selatan. Bahwa untuk mendukung kembalinya calon terpilih DPR RI dari Partai Gerindra Dapil Jabar XI Ervin Luthfi yang dicoret oleh DPP Partai Gerindra atas putusan gugatan Perdata Caleg DPR RI yg lain yaitu Mulan Jamila cs di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus dilakukan secara paralel antara support moral dan upaya hukum.
Support moral untuk Ervin Luthfi memang sangat bagus dan perlu. tetapi yang lebih penting juga harus dibarengi dengan upaya hukum luar biasa (Herziening) atas putusan PN Jakarta Selatan yang dijadikan dasar oleh DPP Gerindra mengganti Ervin Luthfi dengan Mulan Jamela yang kemudian ditindaklanjuti dengan perubahan SK oleh KPU Pusat atas surat DPP Gerindra.
KPU Pusat diduga telah melakukan (Abuse Of Power) atas perubahan SK tersebut karena SK yang sebelumnya tidak dinyatakan batal olen PN dan tidak ada putusan PTUN yang membatalkan SK tersebut.
Majelis Hakim PN Jakarta selatan juga diduga tidak cermat dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tersebut yang mana titel gugatan tersebut adalah Perbuatan melawan hukum (PMH) tetapi dalam Petitum nya para penggugat meminta kepada majelis hakim untuk ditetapkan sebagai calon terpilih, sehingga ini masuk dalam ranah PHPU Pileg yang menjadi kewenangan lembaga peradilan lain yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutusnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada kesalahan berat majelis hakim dalam perkara ini dan membuka ruang bagi pihak yang dirugikan melaporkan ke KY dan Majelis Kehormatan Hakim di Mahkamah Agung.
Upaya hukum luar biasa dan gugatan Ke PTUN harus dilakukan atas pemecatan oleh DPP dan perubahan SK Caleg Terpilih oleh KPU RI.
Kalau Tidak dilakukan, perubahan Hanya tinggal Mimpi.
“Fiat Justicia Roeat Couleum”. (Red.JB)
Belum ada komentar.