Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Umat Secara Nyata


Oleh : Lilis Suryani, Pegiat Literasi 

Keberagaman merupakan suatu keniscayaan di belahan bumi manapun. Baik di dalam hal budaya, agama,  ras, warna kulit, dan lain sebagainya. Maka, akan selalu kita dapati perbedaan di manapun kita berada karena itu sudah menjadi hal yang alami.

Adanya keberagaman ini menjadi tantangan tersendiri bagi setiap anggota masyarakat sejauh mana masyarakat bisa memahami bahwa keberagaman tersebut bukanlah alasan untuk tidak rukun, apalagi menghalangi persatuan dan kesatuan.

Berkaitan dengan itu, Pemerintah Provinsi dan Kanwil Kemenag Jawa Barat akan bersinergi membangun bumi parahyangan sebagai rumah bersama umat beragama. Sinergi ini akan ditandai dengan pembangunan Taman Edukasi Kerukunan Umat Beragama (KUB).(jabarprov.go.id)

Harapan untuk terciptanya kesatuan dan persatuan di tengah masyarakat, tentu saja menjadi keinginan setiap orang yang berpikiran sehat. Karena alaminya, manusia memang membutuhkan orang lain di dalam hidup. 

Namun, adanya konflik yang bergejolak di tanah air yang berlatarbelakang SARA menjadi indikasi bahwa masyarakat belum memahami sepenuhnya tentang keberagaman. Kasus pembakaran masjid, kitab suci hingga vandalisme di tempat ibadah membuktikan bahwa lemahnya pemahaman masyarakat tentang arti persatuan dan kesatuan.

Jika melihat sejarah, akan kita dapati bahwa masyarakat muslimlah yang paling bisa menjaga persatuan dan kesatuan.
Selama 14 abad Negara Islam menguasai hampir 2/3 wilayah di dunia, tak pernah terjadi penjajahan, diskriminasi maupun eksploitasi terhadap warga asli negeri tersebut.

Islam, saat pertama kali dibawa oleh kaum Muslim dari Jazirah Arab, sama sekali tidak memperlihatkan arogansi kesukuan. Islam justru membawa semangat persaudaraan dan persamaan.

Tentu karena Islam mengakui adanya keragaman suku-bangsa. Islam meletakkan kemuliaan manusia bukan pada suku-bangsa, pendatang atau warga asli, warna kulitnya; tetapi pada ketakwaannya kepada Allah SWT (Lihat: TQS al-Hujurat [49]: 13).

Persatuan dan kerukunan itu diawali dengan persatuan dan kerukunan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah. Berikutnya di negeri-negeri lain, Islam berhasil melebur perbedaan suku-bangsa, warna kulit dan bahasa dalam ikatan akidah Islam.

Selama belasan abad Islam berhasil mempersatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Di sisi lain, warga non-Muslim terpelihara jiwa dan kehormatan mereka dalam naungan syariah Islam.
Bandingkan dengan negara-negara Barat.

Amerika Serikat, misalnya, membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa menghapuskan perbudakan terhadap warga kulit hitam, dan untuk mengakui kesetaraan warga kulit putih dengan warga kulit hitam. Bahkan sampai hari ini pun masih ada  diskriminasi karena perbedaan warna kulit di AS ternyata  terus terjadi.
Belasan abad silam, Islam telah menghapuskan dan mengharamkan seseorang membanggakan asal-muasal keluarganya dan suku bangsanya. Ubai bin Kaab ra. pernah mendengar seorang pria berkata, “Hai keluarga fulan!” Lalu Ubay berkata kepada dia, “Gigitlah kemaluan bapakmu!” Ubay mencela dia terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan. Orang itu berkata kepada Ubay, “Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay), engkau bukanlah orang yang suka berkata keji.”

Ubay berkata kepada dia, “Sungguh aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Siapa saja yang berbangga-bangga dengan slogan-slogan Jahiliah maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya…’” (HR Ahmad).

Seandainya kita melihat dengan jujur pula mengapa keberagamaan di negeri ini dapat terjaga selama bertahun-tahun, jawabannya karena mayoritas warga di negeri ini adalah Muslim yang memahami kewajiban berbuat baik kepada sesama umat manusia, tanpa memandang suku, bangsa termasuk agama.

Umat manusia yang terpelihara dalam naungan Islam tak bisa dilepaskan dari kemuliaan syariah Islam yang memberikan pemeliharaan dan perlindungan kepada setiap warga. Menurut ajaran Islam, di antara dosa besar dan sanksi berat yang ditimpakan atas pelaku kejahatan adalah dalam kasus pembunuhan. Allah SWT berfirman:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

“Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (TQS al-Maidah [5]: 32).

Dalam literatur sejarah menceritakan, pernah ada seorang warga Kristen Koptik di Mesir yang mengadu kepada Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. karena mendapat tindakan kekerasan dari Gubernur Mesir Amr bin al-‘Ash ra. dan putranya, palu hukum yang adil pun dijatuhkan.

Khalifah Umar memanggil Gubernur Mesir beserta putranya lalu menjatuhkan sanksi qishash atas mereka. Setelah sanksi dijalankan, Khalifah Umar ra. menegur keras Gubernur Mesir dengan perkataan yang menjadi kemudian menjadi adagium hukum yang agung:

مَتَى اِسْتَعْبَدْتُمْ النَّاسَ وَ قَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمُّهَاتُهُمْ أَحْرَارًا ؟

“Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” (Dr. Akram Diya al-‘Amri, ‘Ashr al-Khilafah ar-Rasyidah, hlm. 127).

Kaum Muslim di bawah naungan sistem Islam juga berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah-tengah umat manusia. Syariah Islam menata agar setiap warga negara (Muslim dan non-Muslim) mendapat jaminan kebutuhan pokok semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah maka gejolak sosial dan konflik di tengah-tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta. 

Berkaca dari sejarah umat Islam dimasa lalu yang mampu mewujudkan Persatuan dan Kesatuan melalui penerapan syariat secara menyeluruh. Maka, sungguh Syariat Islam sangat layak untuk diaplikasikan kembali saat ini baik dalam ramah pribadi, masyarakat maupun bernegara. (Red.Jabi)

Isi artikel di luar tanggungjawab redaksi

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.