(OPINI) Urgensi Pemekaran Garut Utara


Oleh: Tubagus Hamzah, S.PdI. (Mantan Ketua Partai Nasdem Kabupaten Garut)

GARUT, JABARBICARA.COM-- Pemekaran menjadi istilah yang tidak asing dan sering muncul di berbagai wacana akhir-akhir ini. Pemekaran yang sedianya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata di lapangan tidak selalu demikian. Bahkan saat inipun masyarakat umumnya sudah tahu bahwa ‘moratorium’ atau jeda pemekaran yang sering didengung-dengungkan Pemerintah dan DPR selama ini hanyalah ‘main-main’ atau ‘tipuan belaka’.

Buktinya, saat ini dimana rakyat kecil tercekik kemelaratan, pengangguran dan berbagai musibah bencana alam dan penyakit, kedua lembaga itu masih saja asyik dengan ‘proyek’ pembahasan RUU pemekaran/pembentukan daerah baru. Padahal masih banyak RUU lain yang lebih penting yang seharusnya mendapat prioritas untuk dibahas.

Silakan cek Prolegnas. Dalam kaitannya dengan ‘proyek’ pemekaran daerah ini, DPR, ketimbang Pemerintah, nampak sangat bernafsu untuk ‘buru-buru’ menyelesaikannya. Kasus pemekaran daerah secara besar-besaran di era ‘reformasi’ saat ini menunjukkan bagaimana  masa depan daerah dan masyarakatnya, bahkan masa depan Negara dan bangsa Indonesia ini, dipertaruhkan oleh para politisi yang mungkin sebagian kurang berwawasan kenegaraan dan tidak mempunyai kompetensi atau keahlian yang cukup untuk menentukan suatu daerah layak/tidak untuk dimekarkan.

Namun jumlah daerah pemekaran yang relatif sukses tidak sebanding dengan sekitar 80% daerah pemekaran yang bermasalah karena dugaan kasus-kasus korupsi DAU, rekrutmen pegawai daerah pemekaran yang tidak fair  (berbau kroniisme, kekeluargaan dan sukuisme (nepotisme), serta politik uang), munculnya bisnis-bisnis dadakan pejabat daerah/politisi lokal atau keluarganya, konflik tapal batas wilayah (yang tidak jarang tumpang tindih dengan kepentingan partai tertentu), konflik asset daerah, konflik lokasi ibukota baru, konflik antar elit lokal, konflik horizontal, dll.

Pemekaran wilayah bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sekitar 10 tahun setelah Republik Indonesia berdiri pernah terjadi pemekaran  secara besar-besaran, yaitu misalnya pada tahun 1950-1955 dibentuk 6 provinsi baru dan 99 kabupaten/kota.

Jumlah tersebut meningkat pada tahun 1956-1960 menjadi 16 provinsi dan 145 kabupaten/kota di Negara kita. “Reformasi teritorial” atau reformasi kewilayahan pada waktu itu barangkali berkaitan dengan  semangat republikan dan semangat persatuan-kesatuan daerah-daerah pasca penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.

Munuju Garut Utara

Kira-kira ada pertanyaan yang muncul, apakah motivasinya dan siapakah yang pertamakali menggulirkan wacana Pemekaran Garut Utara yang akhirnya di sepakati oleh Pemerintah Daerah termasuk DPRD-nya... Urgensinya seperti apa?,
Garut saat ini lagi mendambakan Pemekaran Garut Selatan yang sampai saat ini hanya jadi Harapan kosong Belaka karena sudah hampir 20 Tahun lebih diperjuangkan dan belum menemukan titik Terang. kendala yang dihapadi para pemangku kebijakan di atas, selain moratorium dan fokus Pemindahan ibukota baru yang setidaknya mengganggu perjuangan pemekaran Garut Selatan.

pemekaran Garut Utara itu apakah hasil dari kajian para ahli atau baru sekesar aspirasi, karena menurut hemat penulis Pemda dan para stakeholders harus nya lebih mengutamakan pemekaran Garut selatan karena terkait efektifitas pelayanan. jangan sampai wacana Pemekaran Garut utara hanya sebatas dijadikan alat bergaining position segelintir elit daerah hanya untuk mengambil anggaran kajian-kajian semata.

lebih parahnya para pemangku kebijakan daerah seolah-olah merespon lebih cepat hanya untuk sekedar menarik simpaltik Sebagian elit untuk kepentingan politik saja tanpa mempertimbangkan kewenangannya. akhirnya aka menjadi sia-sia karena kesepakatan hasil paripurna tersebut bukan atas hasil kajian komprehensif para ahli.

terakhir penulis hanya ingin bertanya karena selain warga Garut yang asli dari utara, jika Gatut Utara di mekarkan Potensi PAD apa yang bisa menjadi andalan CDOB Garut Utara itu mandiri, jika sebatas mengandalkan DAU dan "kepentingan politik elit" saja boleh kah saya menolaknya. (Redaksi)

Tulisan ini Opini pribadi nara sumber

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.