PONTIANAK, JABARBICARA.COM-- Enam perupa perempuan Kalimantan yang terlibat dalam Festival Kembang Kertas Sejagat Mewangi Nusantara pada 26 September sampai 16 Oktober 2020 merupakan seniman yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Karya yang digelar dalam perhelatan ini adalah karya lukis yang menggambarkan keragaman budaya Indonesia dalam bentuk realis, surealis, abtrak dan dekoratif, yang mana sumber idenya diolah dari imajinasi dan perenungan seniman mengenai kehidupannya. Medianya menggunakan media cat dan kolase. Namun dari berbagai pemanfaatan media tersebut, yang menarik adalah sebuah penggambaran spirit baru perempuan dalam memaknai sebuah bunga yang tidak ditafsirkan secara sempit oleh pemikirannya.
Perupa perempuan Kalimantan bukan hanya menjabarkan realitas bunga secara biasa, namun mereka berbicara mengenai Fakta-Morgana yang disangka tidak ada namun sebenarnya tampak nyata yaitu fenomena kehidupan perempuan Indonesia dalam bingkai bunga.
There is a sense of peace that I hold in there
And I feel that.
"Karamunting, Queen of Bush" terinspirasi oleh keprihatinan pembukaan lahan hutan yg semakin meluas dan seolah tidak menghiraukan kekayaan alam hayati yang terancam kepunahan. Karamunting adalah tanaman berbunga cerah yang tumbuh liar di belukar Kalimantan. Karamunting secara tradisional memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, dari buah, bunga, daun, hingga batang dan akarnya. Jadi lukisan ini mengajak kita untuk menyadari bahwa hutan dan belukar Kalimantan (Indonesia) perlu diperlakukan dengan bijaksana agar kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya tidak punah sia sia.
Bunga itu bagaikan kehidupan, yang senantiasa selalu tumbuh dan berkembang, seperti nusantara yang kaya akan keberagamannya. Pesona keindahan yang memberikan ketenangan dan kedamaian, menebarkan kebajikan cinta kasih dan harum semerbak seluruh alam raya nusantara.
Ruwatan merupakan sebuah tradisi spiritual yang dimiliki masyarakat Indonbesia, khususnya masyarakat adat. Tradisi ini biasa dilaksanakan untuk menyingkirkan atau menanggulangi sangkala suatu wilayah atau seseorang. Berkaitan dengan ini, saya menghadirkan suatu kearifan lokal yang bersifat spiritual dalam sebuah karya seni, dengan konteks yang lebih spesifik, yaitu merespon carut marut yang tidak pernah selesai disuatu negeri.
Hidup dengan rutinitas yang itu-itu saja, dalam keadaan yang tidak berimbang puluhan tahun, dunia dan konsep budaya banyak berubah namun masih belum tuntas rasanya, menjalani banyak peran dalam satu badan. Siapa yang peduli rasa lelahnya? Aku melihat multiperan yang dipegang perempuan kadang juga dimanfaatkan. Siang itu, aku menyaksikan seorang wanita yang mencari nafkah, kemudian harus menyuguhkan kopi kepada tuan yang sedang ongkang-ongkang kaki menghisap rokok kreteknya di Kasur.
Dia seorang wanita yang harus menghidupi ketiga anaknya dengan beberapa luka lebam di badannya karena setiap pukulan lancing dari seorang pria yang katanya suami namun tidak mengambil peran apa-apa dihidupnya, kecuali sperma. Sama seperti bunga matahari yang indah namun harus terus merunduk mengiyakan haknya, marah dengan rutinitas yang tidak tau harus bertindak apa.
Bunga Terung dalam masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, terutama pada Dayak Iban, Dayak Taman, Dayak Kayaan dianggap sebagai symbol kepangkatan atau status sosial yang identic dengan kepahlawanan seseorang. Pemaknaan bunga terung sebenarnya adalah perjuangan manusia dalam perjalanan mencari arti hidup sesungguhnya, untuk suku dan kampung halamannya. Pencapaian manusia Dayak tidak dipandang dari kekayaan, namun dilihat dari sisi perjuangannya dan seberapa jauh dia dapat berguna masyarakat (sukunya).
Pada lukisan ini digambarkan bunga terung sebagai simbol perjuangan dalam menempuh bahtera kehidupan manusia menuju pada satu titik cahaya sesungguhnya, yaitu berguna bagi manusia lainnya. (Art/Jb)
Belum ada komentar.