Presiden tandatangani Perpres tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak


JAKARTA, JABARBICARA.COM -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden RI Nomor 101 tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak.

Dalam pertimbangannya, disebutkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia masih tinggi sehingga perlu optimalisasi peran pemerintah, apalagi peraturan perundangan yang berkaitan dengan penghapusan kekerasan terhadap anak belum optimal dalam memberikan pencegahan dan penanganan sehingga diperlukan strategi nasional.

"Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA) dimaksudkan sebagai acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak," demikian disebutkan dalam pasal 3 Perpres 101 tahun 2022 seperti dilihat di laman Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta, Senin (18/07/2022).

Dalam pasal 5 disebutkan arah kebijakan dan strategi penghapusan kekerasan terhadap anak terdiri atas:
a. penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi, dan penegakan hukum;
b. penguatan norma dan nilai anti kekerasan;
c. penciptaan lingkungan yang aman dari kekerasan;
d. peningkatan kualitas pengasuhan dan ketersediaan dukungan bagi orang tua/pengasuh;
e. pemberdayaan ekonomi keluarga rentan;
f. ketersediaan dan akses layanan terintegrasi; dan
g. pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri anak. Pada pasal 8 disebutkan pendanaan pelaksanaan Stranas PKTA bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
c. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah menyebut, berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018 menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Sementara 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan psikis langsung.

Selanjutnya 14 dari 100 anak laki-laki dan 13 dari 100 anak perempuan pernah mengalami kekerasan psikis tidak langsung melalui daring (cyberbullying) serta 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik.

Dapat disimpulkan bahwa 2 dari 3 anak perempuan dan anak laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Bahkan umumnya kekerasan yang dialami oleh anak cenderung diterima lebih dari 1 jenis kekerasan.

Berdasarkan laporan dari anak yang pernah mengalami kekerasan, pelaku kekerasan adalah orang terdekat, teman sebaya, dan orang dewasa yang dikenal. Ketidaksiapan atas penyediaan Layanan pelindungan Anak berdampak pada anak korban kekerasan sulit mendapatkan bantuan dan pendampingan yang tepat. Akibatnya, kekerasan masih sering tersembunyi atau tidak terlaporkan sehingga sulit untuk dicegah, ditangani secara efektif, dan diatasi dampak jangka panjangnya. Perpres tersebut ditetapkan pada 15 Juli 2022.

Sementara itu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Cianjur, Jawa Barat, mencatat sepanjang 2022 terjadi 7 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan dengan korban berusia di bawah umur.

Ketua Harian P2TP2A Cianjur, Lidya Umar saat dihubungi, Minggu, mengatakan dari tujuh kasus tersebut, enam diantaranya merupakan persetubuhan dan satu kasus sodomi. Sedangkan laporan terbaru terkait meninggalnya korban perempuan di bawah umur yang sempat diperkosa dan diberi minuman keras di Kecamatan Agrabinta, Cianjur.

"Sebagian besar pelakunya dikenal dekat oleh korban seperti pacar, ayah tiri sampai ada yang ayah kandung. Korban rata-rata di bawah umur dan mudah diperdaya pelaku karena sudah kenal dan dekat," katanya.

Untuk saat ini pihaknya banyak mendampingi keluarga dan korban, agar tidak takut atau malu melaporkan diri guna memberi efek jera terhadap pelaku yang sebagian besar melakukan aksinya berulang-ulang dengan ancaman."Kami akan terus memberikan pendampingan terhadap korban agar tidak trauma berlarut-larut, termasuk memberikan pendampingan kejiwaan," katanya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Cianjur, menilai dengan maraknya kasus yang menimpa anak di Cianjur, membuat Cianjur belum layak disebut kota/kabupaten layak anak, meski memiliki Perda nomor 5 tahun 2021 tentang Kabupaten Layak Anak.

"Pemkab seharusnya segera menerapkan Perda secara langsung dan utuh sesuai dengan tujuannya, bukan hanya tercatat diatas kerta, namun di lapangan tidak dipergunakan," kata Komisioner KPAI Cianjur, Ai Maryati.

Pihaknya juga meminta pemkab segera membentuk tim khusus dan daerah percontohan untuk daerah layak anak, berikut fasilitas penunjang, mulai dari fasilitas umum, pendidikan, informasi, internet, dan lainnya dapat disediakan sesuai kebutuhan anak.

"Cianjur belum menjadi daerah layak anak meski sudah memiliki perda namun anak di bawah umur masih rentan menjadi objek kekerasan, terutama kekerasan seksual. Ini harus menjadi tugas bersama untuk menekan angka kekerasan itu," katanya. (Ant/jabi) 


0 Komentar :

    Belum ada komentar.