'PSBB adalah Pembatasan Sosial, bukan Pelarangan Sosial, PSBB diberlakukan', Sejumlah Aktivis di Garut Angkat Bicara


GARUT, JABARBICARA.COM-- Dengan terbitnya Kepmenkes Nomor HK.o L.O7 I MENKES/28g I 2O2O  yang mengatur pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal 6 Mei di Wilayah Jawa Barat dan Peraturan Bupati Garut No 22 Tahun 2020 tentang  Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Corona Virus desease 19 (Covid -19), juga keputusan Bupati Garut No 443/Kep.406/Kesra/2020 tentang penetapan jangka waktu dan wilayah pelaksanaan PSBB, sejumlah aktivis di Garut Angkat Bicara. Selasa (05/05/2020) 

Pendiri LSM Barisan Anak Indonesia Satu Asep Imam Susanto, kepada media mengatakan, Keputusan Mentri Kesehatan  ini berisi pelaksanaan sebagian dari  isi UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, khusus mengenai PSBB saja, tidak mengenai materi yang lain. 

Dengan KEPMENKES PSBB ini Pemerintah Daerah, Pemkab, Pemkot dan Pemprov termasuk di dalamnya Jawa Barat dengan persetujuan Menteri Kesehatan memutuskan daerahnya menerapkan PSBB. Dengan pemberlakuan PSBB jawa barat maka Pemerintah Provinsi berwenang melakukan pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu. Hal itu tentunya harus dipantau bersama karena berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Asep Imam Susanto. 

Pelaksanan PSBB tentu tidak mudah bagi suatu daerah. Daerah-daerah mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya.

"Apakah untuk efektifitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu Pemprop Jabar dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI. Atau lèmbaga lain?" tanya Asep. "Hal ini tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 dan UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB," tambahnya. 

Pemprop Jabar atau Pemda Garut, lanjut Asep, paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah Pemda. 

"Polisi baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain jika Pemerintah Pusat memutuskan untuk melaksanakan “Karantina Wilayah” sebagaimana diatur Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018," papar Asep. 

Asep mengatakan, menurut kajian LSM BAIS , PSBB hampir sama dengan “lockdown” atau warga garut menyebut (cicing di imah wae). Suatu daerah dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu.

"Pemerintah memang tidak memilih menerapkan Karantina Wilayah karena mungkin kuatir dengan masalah ekonomi atau tidak mempunyai kemampuan ekonomi untuk menutupi semua kebutuhan warga dan ternak warga," jelas Asep. 

Selain itu, lanjut Asep, pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah. Kewajiban menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, katakanlah sembako, listrik dan air bersih di daerah yang dikenakan karantina wilayah itu sepenuhnya “menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”, bukan tanggung jawab Pemda.

“Bayangkan jika Jabar saja dikenakan Karantina Wilayah maka Pemerintah Pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 40 juta orang entah untuk berapa lama. Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang-kabut, terjadi berbagai kejahatan perampokan karena rakyat miskin kehabisan bahan makanan," ujar Asep Imam Susanto. "Terkait PSBB yang dilaksanakan sekarang paling  dalam bentuk peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Apakah hal tersebut bisa evektif menangani penyebaran Virus Corona ini?" tanya Asep. "Pertanyaan lainnya, adalah, apakah dengan kebijakan PSBB di daerah , penyebaran wabah virus corona dapat dikurangi atau dihentikan samasekali? Jawabannya tentu: wallahu ‘alam, hanya Allah Ta’ala saja yang lebih mengetahuinya, kita hanya berdo'a dan berikhtiar," tambah Asep. 

Hal senada di sampaikan  Ketua Karang Taruna Kecamatan Wanaraja yang juga aktivis Perlindungan Anak, Iif Firman. 

Iif mengatakan, dampak PSBB sebetulnya sudah terasa, khusus untuk anak anak sekolah diberlakukan kebijakan belajar dirumah. Kebijakan tersebut membuat sebagian anak rentan depresi sebagai akibat aktivitas belajar dirumah. 

"Selain rentan depresi, sebagian  anak malah mulai kecanduan permainan Gadget. Hal ini harus mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah harus peka dengan menyiapkan tenaga pendampingan dan  konsultasi untuk anak anak," kata Iif.

Iif berharap, pemerintah dalam  mengangani , meminimalisir , pencegahan, sosialisasi dan penanganan dampak   Covid 19, Pemerintah harus melibatkan semua pihak.

Khusus bagi para orang tua di rumah, Iip menyarankan agar lebih mengarahkan anak kepada kegiatan yang positif. 

"Idealnya orang tua di bulan Ramadhan ini minimal melakukan muroja'ah Alquran di rumah berkumpul bersama keluarga," kata Iif. 

Sementara, Aktivis Aliansi Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (Ampibi) Kabupaten Garut, Sutisna, kepada media mengatakan, PSBB merupakan Pembatasan Sosial bukan Pelarangan Sosial, Jadi bagi pihak yang dianggap melanggar, tidak dapat dipidanakan. 

"Kami meminta Pemerintah Daerah Garut, dalam menangani penyebaran Covid 19 melibatkan semua elemen masyarakat," tegasnya.

Menurut Sutisna, sebelum diberlakukan PSBB sebaiknya Pemkab Garut menyiapkan berbagai hal, termasuk penyaluran kebutuhan pokok masyarakat dan masker secara menyeluruh agar semua pihak mendapatkannya.

"Pemerintah juga harus menyediakan, mendistribusikan, baik masker yang standar kesehatan maupun bantuan sembako," tambahnya. (Ridwan F) 

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.