Rentetan Musibah Akhir Tahun, Peringatan Untuk Kembali PadaNya


Fina Ariyana, SE, Ak
(Pemerhati Politik dan Sosial)

Belum kering sisa luka yang tertoreh akibat bencana erupsi Semeru 4 Desember 2021 lalu, Indonesia kembali diuji dengan musibah gempa berkekuatan 7.4 skala Richter di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berpotensi terjadi tsunami. Tidak jauh dari lokasi gempa, Nusa Penida, Bali dan enam desa di sekitarnya diserang banjir bandang yang meluluh lantakkan apa saja yang dilewatinya. Kerugian materiil ditaksir sebesar 3,6 milliar rupiah. (detik.com, 14/12/21) Curah hujan ekstrim juga ditengarai menjadi penyebab banjir bandang di beberapa daerah lain selain Nusa Penida. Di Garut misalnya. Sebanyak 9 desa diterjang banjir bandang akhir November lalu, sehingga mengakibatkan 286 orang mengungsi dan 5 jembatan putus. (kompas.com, 28/11/21)

Rentetan bencana alam yang terjadi di akhir tahun 2021 ini membuat kita berpikir bahwa Allah swt sedang menguji hambaNya terutama korban bencana agar bersabar menghadapi ujian dan cobaan meski pahit sekalipun.
Kehilangan harta benda, rumah, mata pencaharian adalah ujian yang berat. Terlebih lagi harus kehilangan orang-orang yang dicintainya baik anak, pasangan atau sanak saudara tentu menyisakan pilu di benak para korban.

Bagi sesama manusia yang tidak terdampak bencana, mereka diuji rasa kemanusiaannya. Seberapa besar kepeduliaannya kepada para korban bencana. Di tengah permasalahan pribadi di era kapitalis terutama dalam segi ekonomi di tengah kondisi pandemi. Rakyat dituntut untuk terus mencukupi kehidupan diri sendiri dengan segenap tenaga dan sebagian besar waktunya. Ini tentu membuat semakin sedikit manusia-manusia yang memiliki rasa peduli. Sebab, memikirkan diri sendiri saja sudah terlalu banyak masalah. Apalagi memikirkan kesusahan orang lain. Sisi individualis manusia akan mengucap ini justru akan menambah beban masalah pribadi. Meski demikian, akan selalu ada relawan yang bekerja siang malam tanpa pamrih menolong korban bencana. 

Bagi negara, bencana yang datang silih berganti ini adalah bentuk teguran dari Allah swt pada negeri ini. Bencana alam yang terjadi adalah teguran bagi negeri yang terlalu longgar terhadap eksploitasi alam yang merajalela di hampir setiap jengkal tanah air. Penambangan batu bara yang tidak disertai tanggung jawab reklamasi, pembabatan hutan serapan air hujan yang tak diiringi reboisasi, dan hal lain yang menyebabkan tata lingkungan menjadi sangat ringkih diserang hujan ekstrim. Negara sudah semestinya mengevaluasi kebijakan terkait tata lingkungan yang mengakibatkan bencana alam tiap tahun yang selalu saja menyalahkan hujan lebat atau hujan ekstrim di akhir tahun. Padahal hujan adalah berkah. Aliran air hujan yang merupakan berkah dari langit tidak akan membawa bahaya bagi bumi jika manusia memberikan hak pada air hujan untuk mengalir hingga bermuara ke laut sesuai siklus alam.

Bencana lain yang tidak terkait dengan hujan adalah bentuk kasih sayang Allah pada ummat manusia untuk melihat kembali betapa kecilnya kekuatan manusia di mata Allah. Betapa lemahnya manusia diguncang dengan bencana yang baru disebut kiamat sughra. Manusia sudah semestinya bermuhasabah diri mengingat besarnya kelalaian diri terhadap aturan-aturan Allah swt, serta maksiat yang seringkali dilakukan secara terang-terangan. Hal itu membuat Allah swt memerintahkan gunung, bumi dan pasukannya memberi pelajaran bagi manusia. Pelajaran tersebut seharusnya sudah lebih dari cukup menggugah hati manusia dari segala keserakahan dan kepongahannya terhadap dunia. Kita seharusnya kembali padaNya memohon ampun atas segala dosa-dosa yang mendatangkan bencana dan mengevaluasi segala perbuatan agar sesuai dengan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.

Dalam konteks negara pula harus ditinjau betapa banyak urusan rakyat yang terbengkalai sehingga berakibat munculnya berbagai macam permasalahan. Urusan rakyat yang diatur dengan hukum buatan manusia akan mengakibatkan ketidakseimbangan. Sebab, manusia satu dengan yang lain memiliki standar, perasaan dan pemikiran yang berbeda. Banyak maksiat yang timbul karena perbedaan standar dan penafsiran manusia. Apa yang dilakukan Umar bin Khattab saat terjadi gempa di kota Madinah? Ia berkata, "Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”
Tidak lain adalah ajakannya untuk bertaubat kepada Allah atas maksiat yang dilakukan oleh siapapun warganya kala itu hingga mengundang bencana Allah swt.

Meninggalkan hukum Allah adalah maksiat yang tak disadari banyak orang termasuk negeri ini. Bencana di akhir tahun ini adalah teguran Allah swt agar hukum manusia hari ini disudahi dan saatnya diganti dengan hukum buatan Allah swt. Perlu diyakini betul bahwa hukum Allah swt adalah hukum yang pasti membawa keadilan dan rahmat bagi semesta alam baik manusia atau makhluk selainnya, baik bagi muslim maupun nonmuslim. Semoga Allah swt menyelamatkan kita dari azabNya yang pedih. Semoga Allah swt memberikan kesempatan pada negeri ini untuk menikmati berkah dan rahmat dari penerapan hukumNya yang agung. Allohumma Aamiin.

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.