Adzan Bagian dari Syariat Islam


Oleh : Nenah Nursaadah, Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Sosial, Pacet - Kab. Bandung.

JABARBICARA.COM -- Meski negeri ini mayoritas muslim dan dipimpin oleh pemimpin muslim, bahkan pejabat negaranya pun didominasi muslim, ternyata tidak menjamin umat Islam dapat hidup tenang untuk melaksanakan ajaranNya. Berulang kali suara adzan—panggilan untuk shalat—dipermasalahkan.

Muncul anggapan bahwa suara adzan mengganggu dan menimbulkan kebisingan jika dikumandangkan dengan volume tinggi. Oleh karena itu, pejabat terkait (merasa) begitu penting mengatur volume suara saat dikumandangkan.

Namun, mirisnya, ada pejabat yang menganalogikan suara adzan dengan suara gonggongan anjing, hal yang justru menimbulkan sejumlah protes dari umat Islam.

Jelas saja umat Islam begitu sakit hati. Bagaimana mungkin suara panggilan untuk menunaikan shalat dianalogikan dengan gonggongan anjing? Kita pun memahami dengan baik, suara adzan dikumandangkan dengan volume tinggi untuk mengingatkan umat Islam yang sedang melakukan berbagai aktivitas atau dalam kondisi istirahat untuk langsung beranjak melaksanakan shalat.

Panggilan Allah Taala
Syariat adzan datang dari Allah SWT., setelah perintah shalat. Allah mensyariatkan adzan di Madinah. Dari Abdullah bin Umar ra., Rasulullah SAW., bersabda, “Dahulu, saat kaum muslim datang ke Madinah, mereka berkumpul. Mereka memperkirakan waktu shalat tanpa ada yang menyeru. Hingga suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Ada yang mengatakan, "Gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara." Yang lain menyatakan, "Gunakan saja trompet seperti trompet Yahudi." Umar pun berkata, "Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?" Lalu Rasulullah SAW., bersabda, "Wahai Bilal, berdirilah dan serulah untuk salat." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Adzan berarti al-i’lan (pengumuman/notifikasi). Hukum adzan menurut kesepakatan ulama adalah fardu kifayah, yakni menjadi dosa apabila tidak ada satu orang pun di tengah masyarakat muslim yang mengumandangkannya saat waktu shalat tiba.

Hal ini dikuatkan dalam hadis yang diriwayatkan Malik bin al-Huwairis, “Jika waktu shalat telah tiba, salah satu dari kalian (umat Islam) hendaknya mengumandangkan adzan untuk kalian dan yang lain tua di antara kalian menjadi Imam (shalat).”

Pada masa kepemimpinan Islam, kumandang adzan tidak pernah dipermasalahkan. Kaum muslim dan nonmuslim pun hidup tenang secara berdampingan. Lantas, mengapa sekarang menjadi hal besar yang patut yang dipersoalkan?

Benarkah ini menunjukkan kepada kita terkait hadist Rasulullah SAW ? "Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut bicara." Lalu beliau ditanya, "Apakah al-ruwaibidhahitu ?" Beliau menjawab, "Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum." (H.R. Ahmad).

Hadist di atas menjadi peringatan bagi kita tentang bahaya dan dampak ketika berbicara tanpa landasan ilmu. Hendaknya umat Islam memilih pemimpin yang memiliki kualifikasi dan kemampuan, baik ilmu, amanah, dan kejujuran, di samping pertimbangan lainnya. Namun, pemimpin yang demikian hanya kita dapatkan jika sistem Islam tegak. Mustahil lahir pemimpin yang amanah dan bertakwa dari sistem yang mencampakkan aturan Islam.

Hadist di atas pun menunjukkan jalan keluar bagi umat Islam ketika menghadapi situasi kacau semacam itu, yakni dengan kembali pada Al-Qur’an dan Sunah, juga pandangan ulama.

Semoga Allah selalu mengarahkan kita pada jalan kebenaran, meskipun saat ini kita berhadapan dengan orang-orang yang membelokkan jalan kita dari kebenaran. Wallahu a'lam bish shawab. (**)

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi Jabarbicara.com

  • -

0 Komentar :

    Belum ada komentar.