Makin Banyak Kota Layak Anak Tetapi Kekerasan Terhadap Anak Tetap Mewabah


Oleh : Mimin Aminah 

Ibu rumah tangga, Ciparay - Kab. Bandung.

Korban penyekapan dan exploitasi anak di bawah umur berinisial NAT (15tahun), tidak mengetahui bahwa pekerjaan yang ditawarkan terlapor EMT adalah pekerja seks komersil (PSK), korban hanya dijanjikan penghasilan besar dan dijebak dengan alasan memiliki utang. Kasus ini sendiri dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan terlapor seorang perempuan berinisial EMT. "Kalau dari pemeriksaan awal terlihat motifnya menjanjikan sejumlah uang tetapi nyatanya kerjaan yang dijanjikan itu adalah pekerjaan untuk melakukan hubungan badan atau prostitusi dijual ke orang lain dengan harga tertentu" ujar Kabid Humas Polda Jaya, Kombes Endra Zulfan dalam keterangannya Sabtu (17/9 2022).

Menurut Zulfan, korban NAT pertama kali ditawari pekerjaan sebagai pemuas nafsu hidung belang pada tahun 2021 silam, kemudian korban tinggal di apartemen dan ditekan untuk terus menghasilkan pundi-pundi uang dengan melayani nafsu para hidung belang, namun hasil dari dari pekerjaan kotor itu sebagian besar diambil pelaku. Disamping itu, kata Zulfan korban NAT juga diancam oleh terlapor EMT dengan disebut memiliki utang sebesar Rp 35 juta, hal itulah yang membuat korban tidak bisa berhenti dari pekerjaannya dan korban dilakukan penyekapan di apartemen yang disewa terduga pelaku. (Beritasatu .com).

Sungguh ironis kasus kekerasan terhadap anak terjadi dan terulang lagi disaat Kota Layak Anak (KLA) makin banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah, faktanya kekerasan terhadap anak tak kunjung turun malah makin beragam modus dan makin banyak korban, meski sudah memiliki UU perlindungan anak, Indonesia masih saja menghadapi darurat kekerasan seksual terhadap anak padahal KLA sejatinya dimaksudkan untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, fakta berbagai kekerasan ini membuktikan bahwa predikat KLA tidak dapat menjamin terwujudnya perlindungan terhadap anak. Semua itu menunjukan kegagalan upaya mewujudkan perlindungan anak secara hakiki, solusi yang diadopsi seolah tak bergigi untuk mencegah kekerasan terhadap anak ini.

Hal yang wajar apabila solusi yang diadopsi tidak menyelesaikan masalah  mengingat aturan yang dipakai adalah aturan yang berasal dari akal manusia, sistem sekularisme liberalisme membuat manusia jauh dari aturan Allah SWT., dunia menjadi tujuan hidupnya, apapun keinginannya akan diupayakan meski menghalalkan segala cara, anak yang seharusnya dilindungi, justru mengalami eksploitasi atau menjadi sasaran kekerasan demi mendapatkan materi atau ambisi pribadi, persoalan anak tidak akan pernah terselesaikan selama solusi  yang dipakai adalah aturan manusia.

Berbeda dengan Islam, Islam memandang anak adalah amanah yang harus dijaga dan di dilindungi, mereka adalah calon pemimpin masa depan oleh karena itu mereka harus tumbuh dan berkembang optimal agar mereka menjadi generasi penerus yang cemerlang. Islam memiliki seperangkat aturan dan sistem yang menyelesaikan persoalan anak. Islam mewajibkan keluarga untuk menjaga dan melindungi anak-anaknya dan masyarakat memberikan lingkungan yang kondusif untuk mengantarkan anak menjadi generasi beriman dan bertakwa serta negara yang melindungi anak-anak sesuai aturan Allah, negara akan membina seluruh rakyatnya termasuk anak-anak dengan keimanan yang kuat, sehingga dengan keimanan ini akan mencegah individu melakukan kemaksiatan dan kejahatan, Islam juga memiliki sistem sanksi yang membuat jera bagi para pelaku dan mencegah yang lain melakukan kejahatan serupa sehingga hak anak dalam keamanan dan keselamatannya dapat terpenuhi dan hal ini bisa terlaksana apabila sistem yang diterapkan adalah sistem Islam secara Kaffah.

Wallahu alam bish shawab.

Isi Artikel diluar tanggungjawab Redaksi Jabarbicara.com


0 Komentar :

    Belum ada komentar.